Didik Raharyono Yakin Harimau Jawa Belum Punah Sejak 2006

Didik Raharyono Yakin Harimau Jawa Belum Punah Sejak 2006

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Sabtu, 23 Mar 2024 08:30 WIB
Didik Raharyono, Direktur Peduli Karnivor Jawa
Didik Raharyono, Direktur Peduli Karnivor Jawa (Foto: Istimewa/tangkapan layar)
Sukabumi -

Sebuah laporan penelitian membeberkan fakta mengejutkan soal eksistensi Harimau Jawa. Spesimen penelitian sendiri bersumber dari sehelai rambut yang ditemukan di Desa Cipendeuy, Kabupaten Sukabumi.

Namun hasil penelitian itu itu tidak terlalu mengejutkan bagi Didik Raharyono, Direktur Peduli Karnivor Jawa (PKJ), sebuah organisasi nirlaba yang dikenal banyak melakukan penelitian terhadap populasi karnivora-karnivora di Jawa. Bahkan sampel spesimen yang mereka peoleh pernah diminta oleh pihak BRIN.

Didik sudah lebih jauh di depan dari sekadar membuktikan ada dan tidaknya hewan tersebut. Saat ini dia menyusun sebuah rencana bagaimana masyarakat bisa menerima kehadiran hewan tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Biasa saja mas, karena rencana ke depannya Harimau Jawa setelah saya webinar di Kagama kemarin mengatakan bahwa pembuktian pencarian Harimau Jawa bagi saya sudah selesai. Fotonya di tahun 2018 kita presentasikan ke Pak Dirjen (KLHK), yang difoto warga itu dan berikutnya dipersiapan penerimaan kebudayaan bagaimana masyarakat Jawa saat ini untuk bisa menerima kehadiran warga yang dianggap karnivora," kata Didik melalui sambungan telepon dengan detikJabar, Jumat (22/3/2024).

Didik memberikan sejumlah referensi video hasil penelitian PKJ yang diunggah di kanal Youtube Peduli Karnivor Jawa. Dari deretan video, terlihat memang beberapa pembahasan soal Harimau Jawa. Mulai dari jejak, bukti hingga keterangan narasumber.

ADVERTISEMENT

"Saya meyakini Harimau Jawa belum punah sejak tahun 2006, ketika saya bertemu dengan saksi-saksi yang sangat penting menurut saya, di tahun 2006. Bahkan di Kompas saya pernah nulis tahun 2003 bagaimana pembuktian ilmiah yang menuntut foto sementara kita dengan masyarakat itu menemukan tanda kehadiran baik jejak, kotoran bahkan rambut," ujarnya.

Didik Raharyono, Direktur Peduli Karnivor JawaChannel Youtube Peduli Karnivor Jawa Foto: Istimewa/tangkapan layar

Didik diketahui tinggal di Kuningan, Jawa Barat. Ia memiliki latar belakang akademik di bidang Biologi jebolan Fakultas Biologi UGM, ia mulai menekuni penelitian Harimau Jawa sejak tahun 1997. Didik menyebut apa yang dituliskan dalam jurnal penelitian tersebut adalah benar adanya dan bersumber dari spesimen utuh tanpa awetan.

"Saya baca (jurnal) itu menurut saya selama masyarakat yang melihat itu benar dan kemudian diteliti itu benar ya memang benar mas. Yang dipakai sampel juga masih baru dan bukan awetan," tutur Didik.

"Saya sendiri di tahun 1997 awalnya berkutat di Harimau Jawa, tapi berkembang waktu akhirnya ke seluruh karnivor. Karena ternyata karnivor itu hewan yang ber-homerange (jelajah) itu di Jawa hutannya sudah terfragmentasi, terdesak, banyak yang kalah dengan manusianya," sambung dia.

Tidak sekadar melakukan penelitian yang bersumber dari masyarakat, Didik juga mengumpulkan spesimen-spesimen terkait eksistensi dari Harimau Jawa.

"Februari tahun 2023 kemarin BRIN bersurat ke PKJ, untuk beberapa sampel spesimen koleksi PKJ berupa kulit terduga Harimau Jawa dan 1 cuplikan feses. Kita kirimkan sampel-sampel itu, tapi belum tahu hasilnya. Yang sudah keluar hasilnya dari Sukabumi itu yang bersumber dari spesimen Harimau Jawa dan masih baru tidak melalui awetan," ungkap dia.

Saat melakukan penelitan, Didik sengaja mencari narasumber yang memiliki kekuatan informasi berdasar pada perilakunya. Tidak sembarang narasumber masuk ke dalam kategori Didik untuk diwawancarai.

"Di kanal Youtube saya menguatkan tentang kekuatan informasi masyarakat yang melihat, kesaksian masyarakat itu khusus karena saya punya metode tersendiri. Jadi masyarakat itu yang punya jam terbang tinggi masuk hutan, yang saya ambil informasinya itu. Kemudian dia bisa mengidentifikasi dengan detail dan jelas karena terkait dengan lama waktunya dia berinteraksi di dalam hutan," menjelaskan sedikit soal narasumber yang ia ambil sebagai bahan penelitian.

"Kemudian juga ada sebagian narasumber yang bahkan kriterianya tidak hanya tutul dan loreng terkait harga jual. Jadi yang loreng itu lebih mahal dari macan tutul, jadi jelas bisa membedakannya yang selalu dianggap masyarakat tidak bisa membedakan yang loreng dengan macan tutul. Itu masyarakat-masyarakat yang saya sampaikan itu dan 97 sebenarnya juga temuan-temuan sudah diseminar nasionalkan, di youtube saya ada," pungkasnya.

(sya/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads