Sosok KH Abdul Hamid pendiri pondok pesantren (Ponpes) Al Hamidiyah sampai saat ini masih tetap dikenang kuat. Selain gayanya yang sederhana, juga menjadi teladan bagi para santrinya.
Salah satu teladan yang masih diingat sampai saat ini, konon KH Abdul Hamid selama hidupnya hanya memiliki 3 pakaian. Hal tersebut diceritakan Cucu Pendiri Ponpes Al Hamidiyah, Kiai Ucu Saeful Aziz.
Ucu mengungkapkan jika saking sederhananya KH Abdul Hamid, setiap pakaianya bertambah 1, maka akan diberikan 1 untuk santrinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Entah kenapa sih belum tahu, cuman cerita orang tua yang dulu hidup di zaman itu, KH Abdul Hamid hanya punya 3 pakaian. Kalau lebih dikasih ke para santrinya," ucap Ucu, belum lama ini.
Bahkan, saat pakaiannya dicuci, KH Abdul Hamid rela menunggu pakaiannya kering sambil berendam di bak bagai kolam ikan untuk menunggu pakaiannya sudah tidak basah lagi.
"Mungkin menjadi salah satu syarat atau apa itu kurang tahu," katanya.
Kyai Abdul Hamid (Pa Ageung, Ajengan Pangkalan, Ki Ageung, Mama Ageung) pendiri Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Cicau Dusun Cigangsa Desa Pangkalan Kecamatan Langkaplancar, lahir pada tahun 1908 di Dusun Cimanjeti putra pertama dari 15 bersaudara dari pasangan KH. Abdul Ghani (Kuwu Pangkalan saat itu) yang masih memiliki garis keturunan dari Pamijahan Tasikmalaya dan Ibu Iti.
Ucu menceritakan, KH Abdul Hamid kecil usia 6 tahun dirawat oleh ibu Tarsijem yang merupakan kerabat ibu Iti. Usia 8 tahun sekitar tahun 1916 ia bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) selama 3 tahun di Kecamatan Langkaplancar.
"Usia 12 tahun pada 1920 ia mesantren ke Cianjur selama kurang lebih 10 tahun, kembali dari Cianjur pada usia 22 tahun sekitar 1930. Kemudian mesantren lagi di Pesantren Sumelap Tasikmalaya di bawah asuhan seniornya Kyai Udin," katanya.
Setelah perjalanan menuntut ilmu agama, kata Ucu, pada tahun 1931 Kyai Abdul Hamid bermukim di Cicau. Berselang 2 tahun kembali di Langkaplancar, tahun 1933 ia menikahi Nyai Raden Enok Umi Salamah putri Na'ib Raden Abdullah Gaos Cijulang, saat itu ia berusia 25 tahun.
"Dari pernikahannya ia dikaruniai 4 orang putra; Endang Abdul Hanan (meninggal saat masih kuliah di Jogjakarta), KH. Mukhtar Ghozali (alm), KH. Abdullah Yusuf (Icang), Kyai Asep Saefulloh Mujahid (alm)," katanya.
Ia menyebutkan KH Hamid sempat menikah lagi. Dari istri kedua Ibu Erat Cigugur dikaruniai 2 putri, mereka diantaranya ibu alm Siti Maemunah (Ai) dan alm Euis.
"Pada usia 35 tahun ia menikahi istri ke-3nya bernama ibu Upah/Ipah namun tidak dikaruniai keturunan," ucap dia.
Selama bermukim di Cicau, menurut Ucu, Kyai Abdul Hamid tiada henti menegakkan dakwah Islamiyyah dan memberantas berbagai bentuk kemusyrikan yang saat itu masih sangat kental dalam masyarakat. Kendati demikian, kawasan tersebut termasuk pusat sesembahan berhala yang terkenal dengan nama Panyembahan (Karantenan) mampu dihancurkan dengan berkah karomah Kyai Abdul Hamid.
Selain berdakwah, jejak perjuangan KH Hamid terus berlanjut hingga tingkat nasional. Pada tahun 1944 ia sempat bergabung dengan Partai Masyumi.
"Walau secara ideologis dan basis ajaran agama beliau sangat kental dengan panggilan masyhur saat itu sebagai kaum "Nahdloh" yang berarti Nahdlatul Ulama (NU) tulen," ungkapnya.
Setelah itu, Ucu juga menceritakan, jika tahun 1946 pasca Proklamasi Kemerdekaan RI ia membentuk laskar perjuangan yaitu Hizbullah dan Sabilillah yang berlatih selama kurang lebih 5 bulan di Pesantren Cicau (kini Al Hamidiyah) sebelum berangkat ke Bandung untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan NKRI.
"Usai mereka kembali dari Bandung pasukan Hizbullah dan Sabilillah memutuskan untuk kembali ke Langkaplancar, namun karena kondisi masyarakat sudah berubah dengan masuknya paham baru yaitu Darul Islam (DI) yang tidak sejalan dengan pemikiran dan pemahaman Kyai Abdul Hamid dan sebagian besar pasukan, maka Kyai Abdul Hamid bersama laskarnya memutuskan untuk tinggal di Gunung Kutu Desa Bojongkondang Kecamatan Langkaplancar sebagai tempat riyadhoh dan mengatur berbagai strategi," terangnya.
Karena Kyai Abdul Hamid menolak untuk bergabung dengan DI maka ia dituduh berpihak pada Belanda dan dimusuhi. Sementara pasukan Belanda sendiri terus berupaya mencari keberadaan Kyai Abdul Hamid.
"Karena itulah mereka membunuh siapa saja yang dianggap Kyai dengan harapan salah satunya adalah Kyai Abdul Hamid," katanya.
Melihat gelombang fitnah semakin menjadi-jadi, para sahabat Kyai Abdul Hamid menyarankan agar ia pindah ke Daerah Karang Gedang Ciamis.
"Atas usulan tersebut Kyai Abdul Hamid hijrah ke Karang Gedang Ciamis dan bermukim di sana selama sekira 7 bulan sampai akhirnya meninggal dibunuh gerombolan PKI bersama 3 santrinya; Ajengan Sa'aduddin, Kyai Zaenal Arifin dan Kyai Zaenal Mutaqin, mereka difitnah bergabung dengan Belanda lalu diculik dan dibawa ke daerah Cigembor Ciamis, di sana mereka dibunuh dengan kejam," ucapnya.
Menurutnya, Kyai Abdul Hamid wafat pada tahun 1949 dan dimakamkan di Dusun Karang Gedang Desa Linggasari Ciamis bersama ketiga santrinya.
"Sejak Kyai Abdul Hamid meninggalkan Pesantren Cicau (belum dinamakan Al Hamidiyah) terjadi fatrah sekitar 10 atau 11 tahun sampai masjid Cicau pun ditumbuhi rumput liar dan semak belukar (seperti seuseureuhan) dan ilalang," katanya.
Kemudian, Barulah sekitar tahun 1960 KH. Anwar Sanusi (Ajengan Ace) yang merupakan adik kandung dari Kyai Abdul Hamid bermukim di Cicau atas permintaan beberapa tokoh masyarakat saat itu untuk melanjutkan perjuangan mengurus dan mengasuh Pesantren peninggalan Kyai Abdul Hamid tersebut.
"Di bawah asuhan KH Anwar Sanusilah kemudian Pesantren Cicau dinamai Pesantren Al Hamidiyah dengan dinisbatkan dan bertafa'ul kepada sang kakak sebagai pendirinya," katanya.
Semenjak itulah Pesantren Al Hamidiyah mengalami kemajuan yang pesat hingga saat ini dengan berbagai lembaga pendidikan baik yang formal maupun non formal.
"Setelah KH. Anwar Sanusi wafat pada tahun 1998 kepengurusan Pesantren dilanjutkan oleh para putra dan putri KH. Anwar Sanusi secara kolektivitas di bawah Pimpinan Umum Drs. KH. Undang Abdul Hamid bin KH. Anwar Sanusi," katanya.
(dir/dir)