Catatan Krusial Walhi Jabar soal Pengelolaan Sampah Organik di Bandung Raya

Catatan Krusial Walhi Jabar soal Pengelolaan Sampah Organik di Bandung Raya

Bima Bagaskara, Rifat Alhamidi - detikJabar
Kamis, 22 Feb 2024 16:15 WIB
Kondisi TPA Sarimukti, Bandung Barat, Kamis (1/2/2024).
kondisi di TPPAS Sarimukti (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar).
Bandung -

Kebakaran TPA Sarimukti yang terjadi pada Agustus 2023 silam, memunculkan kesadaran bersama tentang pengelolaan sampah. Pemerintah dan warga, khususnya yang berada di wilayah Bandung Raya, akhirnya sepakat untuk mengolah secara mandiri sampah rumah tangganya, terutama sampah organik, dan tidak membuangnya ke TPA Sarimukti.

Kini, setelah berbulan-bulan kebijakan itu diterapkan, sorotan tajam dilontarkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat (Jabar). Walhi memandang, kebijakan tersebut sama sekali belum efektif diterapkan, terutama di wilayah urban seperti Kota Bandung.

Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar Haerudin Inas memaparkan, pengelolaan sampah organik, terutama di Kota Bandung, belum dibarengi dengan edukasi langsung ke masyarakat. Di sisi lain, pihaknya memandang Pemkot tak serius dan cenderung sekedar mengeluarkan kebijakan yang pragmatis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu kebijakan yang dicatat Walhi, yaitu Pemkot Bandung pernah membagikan ember untuk menampung sampah organik rumah tangga. Tapi kemudian, Walhi mencatat banyak masyarakat yang gagap dan tidak memahami bagaimana cara mengolah sampah organik tersebut.

"Menurut kami itu kebijakan yang telat, karena kami melihat di masyarakat gagap juga dalam teknis pengelolaannya. Ember untuk menampung sampah organik itu kemudian di hari kedua, ketiga, akhirnya mengeluarkan bau sampai muncul belatung. Akhirnya kami dengan banyak masyarakat mengeluh, ini menurut kami sebuah kegagalan karena tidak disiapkan secara kebijakan dan perencanaannya," katanya saat berbincang dengan detikJabar, Kamis (22/2/2024).

ADVERTISEMENT

Namun demikian, Walhi Jabar juga mencatat beberapa warga di Kota Bandung yang akhirnya bisa dengan mandiri mengolah sampah organik rumah tangganya masing-masing. Tapi kemudian, masalah baru pun timbul dan akhirnya menjadi dilema dalam upaya mengurangi timbunan sampah tersebut.

Yang paling simpel, kata Inas, sampah organik tidak praktis langsung menjadi kompos siap pakai ketika diolah dalam jangka waktu satu pekan. Materialnya akan tetap basah dan tidak langsung kering untuk digunakan, sehingga kondisi itu kerap dikeluhkan masyarakat lantaran menimbulkan bau yang tak sedap.

"Terus masalah lain, sebagian besar rumah warga di Kota Bandung ini kan padat penduduk. Mereka banyak yang tidak punya lahan terbuka yang secara teknis bisa dibuat untuk biopori sesuai arahan dari Pemkot Bandung. Ember yang disiapkan pemkot memang bisa jadi solusi jangka pendeknya. Tapi pertanyaannya, ada nggak pusat pengolahan sampah organik itu buat yang rumahnya ada di daerah padat penduduk itu?," ucap Inas.

Selanjutnya, Walhi mengkritik keseriusan Pemkot Bandung dalam hal penyediaan alat pengolahan sampah organik. Sebab menurut Inas, ketika masyarakat sudah mandiri mengolah sampah organiknya, Pemkot justru lepas tangan dalam hal menyediakan solusi lanjutan dari masalah pengelolaan sampah tersebut.

"Karena ketika masyarakat mampu mengelola sampah organik, lalu pusat pengelolaan sampah organiknya di Kota Bandung ini di mana? Selama ini kita lihat, belum ada pusat pengolahannya. Ini kan balik lagi soal masalah keseriusan pemerintah," ucapnya.

"Jadi, mengatasi permasalahan sampah organik tidak bisa disepelekan atau dianggap mudah. Apalagi berpikir bahwa permasalahan pengelolaan sampah organik dapat selesai dengan program yang disusun dan hanya bersifat pragmatis," pungkasnya.

Sorotan Tajam Pengelolaan Sampah di Sarimukti

Pengelolaan sampah di TPPAS Sarimukti juga tak luput dari sorotan para pemerhati lingkungan. Pasalnya pengelolaan sampah di TPPAS tersebut belum sesuai dengan ketentuan yang ada.

Padahal harusnya, Sarimukti berperan sebagai tempat mengolah sampah menjadi kompos, bukan sebagai tempat pembuangan akhir.

Hal tersebut diungkapkan anggota tim masyarakat peduli TPK Sarimukti, Wahyu Darmawan. Menurutnya ada beberapa fakta dan data persoalan mendasar yang terjadi di Sarimukti, salah satunya adalah peran dari TPPAS itu sendiri.

"Setelah kita cek lebih dari 4 tahun terakhir tidak pernah (aktivitas pengolahan kompos). Padahal izinnya adalah untuk menangani sampah organik justru yang anorganik dibiarkan masuk," kata Wahyu di Bandung, Kamis (22/2/2024).

"Ini Ilegal, justru untuk kirim sampah anorganik. Padahal izin legalnya adalah untuk organiknya," sambungnya.

Selain itu, menggunungnya tumpukan sampah juga membuat Sarimukti menghasilkan air lindi yang kemudian mencemari aliran sungai Citarum. Menurutnya jumlah pencemaran mencapai satu juta kubik.

"Dari 2019 kami sudah mencatat sudah lebih dari satu juta kubik ya limbah B3 (lindi) masuk ke Cirata (bagian DAS Citarum). Jadi dari situ nanti ngalirnya ke Cilimus masuk ke Cimeta masuk ke Cirata," paparnya.

Dampak dari pencemaran sendiri menurutnya akan membuat ekosistem yang ada di DAS Citarum mengalami mutasi genetik.

"Jadi mestinya hewan air itu ada yang jarinya ada 5 tinggal hanya dua bahkan tinggal satu, kemudian ikan pun ginjalnya sudah rusak ini berarti prosesnya sudah sampai sedemikian rupa dahsyat," jelas Wahyu.

Atas kondisi itu, Wahyu meminta Pemprov Jabar untuk turut serta mencari solusi atas kondisi TPPAS Sarimukti. Dia juga mendorong agar Pj Gubernur saat ini bisa mengumpulkan semua pihak terkait untuk memikirkan langkah apa saja yang akan diterapkan.

"Kami khawatir Pj Gubernur mengalami yang namanya katempuhan. Yang melakukan pihak lain, tapi yang bertanggung jawab yang bersangkutan," ujarnya.

Sebelumnya, TPPAS Sarimukti mengalami kebakaran hebat pada pertengahan 2003 lalu yang membuat pembuangan sampah dari Bandung Raya menjadi terhambat. Usai kebakaran, dilakukan perluasan wilayah di Sarimukti demi menampung sampah-sampah dari empat daerah.

KLHK juga pernah menjatuhkan sanksi ke TPPAS Sarimukti buntut dari pencemaran air lindi yang masuk ke Sungai Ciganas dan Sungai Cipanauan.

Sanksi itu tertulis lewat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.5953/MENLHK-PHLHK/PPSALHK/GKM.0/6/2023 tanggal 14 Juni 2023 tentang Penerapan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah kepada Tempat Pengolahan Kompos (TPK) Sarimukti Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat.

(ral/mso)


Hide Ads