Kenangan Pahit 19 Tahun Lalu Saat 157 Orang Tewas di Cimahi

Kenangan Pahit 19 Tahun Lalu Saat 157 Orang Tewas di Cimahi

Whisnu Pradana - detikJabar
Rabu, 21 Feb 2024 17:30 WIB
Prosesi Tabur Bunga di Lokasi Longsor Sampah TPA Leuwigajah, Cireundeu
Prosesi Tabur Bunga di Lokasi Longsor Sampah TPA Leuwigajah. (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar)
Cimahi -

Duka mendalam masih dirasakan masyarakat Kampung Adat Cireundeu Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi sepeninggal 157 orang yang tewas pada 2005 silam.

Tepat 21 Februari, peristiwa nahas longsor gunungan sampah di TPA Leuwigajah, merenggut nyawa ratusan orang yang kala itu tengah tertidur lelap. Gunungan sampah setinggi 60 meter dengan panjang 200 meter itu menimbun tubuh para pemulung.

Peristiwa memilukan itu menjadi cikal bakal lahirnya Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). 19 tahun berlalu, HPSN hanya rutin diperingati mereka yang masih berduka atas peristiwa tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti tahun-tahun sebelumnya, puluhan masyarakat Kampung Adat Cireundeu, setia menggelar peringatan tewasnya sanak saudara mereka. Doa dipanjatkan pada Sanghyang dan Yang Maha Kuasa.

Prosesi Tabur Bunga di Lokasi Longsor Sampah TPA Leuwigajah, CireundeuProsesi Tabur Bunga di Lokasi Longsor Sampah TPA Leuwigajah, Cireundeu Foto: Whisnu Pradana/detikJabar

Hujan deras yang mengguyur pada Rabu (21/2/2024), beruntung reda menjelang siang. Tanah dan rumput basah tak menghentikan langkah peserta upacara peringatan kedukaan itu menabur bunga, sebagai ritual persembahan bagi mereka yang telah tiada. Bunga ditabur dari bibir tebing tempat longsor terjadi, terbang tersapu angin.

ADVERTISEMENT

"Peringatan ini bukan hal yang baru, selalu direncanakan dan dilaksanakan setiap tahunnya," kata Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widi membuka perbincangan dengan detikJabar.

Duka tak mudah terobati, namun kehidupan terus berjalan. Abah Widi menyebut tragedi itu, tak mesti juga diratapi. Ratusan nyawa melayang itu, juga menjadi jalan lahan di sekitaran Kampung Adat Cireundeu, kembali asri dan memberi manfaat pada sekitarnya.

"Dulu Cireundeu itu kotor, polusi, lalat, bau. Tapi akhirnya di balik longsor ada hikmah bagi masyarakat Cireundeu. Lahan kembali subur lagi, punya nilai ekonomi. itu yang mesti kita jaga bersama termasuk pemerintah," kata Abah Widi.

Hal yang selalu disinggung, yakni pemerintah yang belum menyampaikan permintaan maaf secara resmi sejak kejadian tersebut. Apalagi rutin mengingat para korban lewat ritual tahunan yang dianggapnya hanya sekadar seremonial.

"Kalau abah lihat belum sekalipun perwakilan pemerintah (meminta maaf secara langsung). Hanya minta maaf jarak jauh. Makanya bencana waktu itu harus jadi contoh karena nggak pakai sopan santun dan etika terhadap alam, termasuk ke manusia," kata Abah Widi.

"Kita nggak mau terus mencari siapa yang salah. Tapi tragedi ini harus menjadi trauma bagi kita, karena korbannya nggak sedikit, yang ditemukan itu 157 orang, tapi yang belum ditemukan itu lebih banyak lagi," ucap Abah Widi.

Tata Kelola Sampah Pemerintah Masih Salah

Pemerintah, menurut Abah Widi, seperti enggan belajar dari masa lalu. Kesalahan tetap dilakukan, yakni soal pengelolaan pembuangan sampah yang mengadopsi hal sama seperti 2005 silam.

"Kalau salah konsep dan aturan maka akan terjadi bencana lagi. Dulu ada aturan, buang sampah ke sini pakai aturan kucing berak. Begitu kucing buang air besar itu langsung ditimbun. Tapi yang terjadi kan tidak, malah seperti anjing berak," kata Abah Widi.

Konsep anjing berak yang dilakukan pemerintah, kata Abah Widi, dalam arti kotoran yang dibuang kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa ada tindaklanjutnya lagi.

"Tapi kan yang terjadi justru anjing berak, jadi buang lalu lari, begitu buang akhirnya lari. Apa yang terjadi di Cireundeu jauh dari perjanjian. Sampah yang dibuang, itu dibiarkan, tidak ditimbun. Sampai akhirnya menggunung," kata Abah Widi.

Pun demikian dengan calon anggota dewan yang mencari suara demi melenggang sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2024 ini, tak ada yang menyinggung sama sekali soal masalah sampah dan lingkungan.

"Dewan yang datang ke Cireundeu itu kan punya tujuan, mecari suara. Bukan membawa hal yang penting seperti kepentingan masyarakat. Seingat abah juga nggak ada yang bawa konsep soal lingkungan hidup atau pengelolaan sampah," kata Abah Widi.

(yum/yum)


Hide Ads