Nostalgia Era Radio: Titip Salam di Kartu Atensi-Rekam Lagu Pakai Kaset

Lorong Waktu

Nostalgia Era Radio: Titip Salam di Kartu Atensi-Rekam Lagu Pakai Kaset

Faizal Amiruddin - detikJabar
Rabu, 21 Feb 2024 08:00 WIB
Radio mobil sempat dilarang
Ilustrasi radio (mentalfloss)
Tasikmalaya -

Masa sebelum abad milineal boleh jadi merupakan masa keemasan bagi keberadaan radio. Radio menjadi media informasi sekaligus hiburan populer bagi masyarakat.

Meski hingga kini eksistensi radio tetap bertahan, namun ada bagian-bagian yang hilang dari cara atau aktivitas masyarakat menikmati radio. Ada detail-detail yang kini tinggal kenangan dari cara masyarakat menikmati radio.

Salah satunya adalah keberadaan kartu atensi atau kartu kirim-kirim salam. Jauh sebelum penggunaan telepon -baik telepon rumah atau ponsel- memasyarakat seperti saat ini, kartu atensi menjadi media komunikasi antar pendengar yang mengasyikan. Ada kebahagiaan yang dirasakan pendengar mana kala kartu atensinya dibacakan. Kartu atensi sendiri biasanya berisi permintaan lagu dan titip salam untuk pendengar lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sisi lain kartu atensi pun menjadi cara stasiun radio memberi ruang interaksi bagi pendengarnya. Lebih dari itu, kartu atensi juga menjadi tambahan penghasilan bagi stasiun radio. Karena pendengar harus membeli kartu atensi tersebut.

"Ah wararaas (terkenang), dulu saya adalah penjual kartu atensi atau formulir itu. Tahun 80-an sampai 90-an," kata Aep Saefulloh (74) salah seorang pedagang yang mangkal di depan gedung olahraga Sukapura Dadaha Kota Tasikmalaya, Selasa (20/2/2024). Di lantai 2 GOR Sukapura itu dulunya merupakan stasiun Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) Tasikmalaya.

ADVERTISEMENT
Kartu atensi dan radio jadulKartu atensi dan radio jadul Foto: ist Arief Budiman X/Twitter

Kala itu di kiosnya Aep, selalu tersedia kartu atensi radio RSPD, yang dia jual kepada pendengar yang ingin meminta lagu atau kirim salam. Penjualan kartu atensi menjadi tambahan penghasilan lumayan bagi Aep. "Kalau tidak salah saya menjual Rp 100 per lembar, setor ke radionya Rp 75. Lumayan kalau hari Sabtu bisa habis 100 lembar. Kita siapkan pulpen saja, setelah terkumpul saya kirimkan ke atas (studio)," kata Aep.

Penjualan kartu atensi itu menurut Aep, lambat laun mulai menurun seiring memasyarakatnya penggunaan telepon. Aktivitas meminta lagu atau kirim salam mulai bergeser, pendengar lebih memilih menyampaikannya melalui telepon. Kerumunan pembeli kartu atensi di kios Aep mulai berkurang, beralih ke sarana telepon umum atau Wartel.

"Mulai ramai telepon, penjualan kartu atensi sepi. Kurang laku, karena lebih praktis pakai telepon, telepon koin atau di Wartel. Semakin ke sini, pendengar juga semakin berkurang," kata Aep.

Nunu Nazarudin mantan penyiar RSPD Tasikmalaya membenarkan kartu atensi menjadi media interaksi dengan pendengar, sebelum penggunaan telepon memasyarakat.
"Ada kalanya pendengar memenuhi studio untuk menyerahkan langsung kartu atensinya. Kartu atensi itu zaman sebelum telepon seperti sekarang," kata Nunu.

Dia menjelaskan kartu atensi itu memiliki format semacam formulir, yang memuat acara radio, permintaan lagu, pengirim dan isi ucapan bagi yang dikirimi salam.

"Template kartu atensi itu sama, untuk acara apa, lagu apa, dari siapa untuk siapa. Kan radio punya banyak acara, misalnya acara lagu pop Indonesia, dangdut dan lainnya," kata Nunu.

Tumpukan kartu atensi dari pendengar itu oleh penyiar kemudian disortir sesuai dengan siaran acara. Setelah itu disortir lagi untuk permintaan lagu yang sama.

"Misalnya ada 10 kartu atensi yang minta lagu Nike Ardila, kita bacakan dulu berurutan sambil menyiapkan lagu, kan dulu masih pakai kaset, belum MP3, jadi harus diputar disiapkan dulu, pas beres baca kartu atensi, lagu diputar," kata Nunu.

Tak jarang kartu atensi ini berisi curahan hati pengirimnya atau pernyataan cinta, dengan nama samaran pengirimnya yang lucu dan nyeleneh. Bahkan ada juga kartu atensi menjadi sarana untuk menagih utang.

"Ya macam-macamlah, yang curhat, yang nembak pacarnya, yang menagih utang. Nama pengirimnya juga macam-macam. Kita juga harus selektif, mana yang pantas dibacakan, mana yang harus dilewatkan," kata Nunu.

Kartu atensi pada akhirnya tergeser setelah pada akhirnya 90-an sampai awal 2000-an penggunaan telepon memasyarakat. Minta lagu dan kirim salam via telepon lebih diminati karena suara pendengar bisa langsung mengudara. "Kalau via telepon suara pendengar langsung mengudara, jadi bisa didengar langsung oleh yang dikirimi salam," kata Nunu.

Rekam Lagu Pakai Kaset-Jemur Baterai

Pernak-pernik lain yang hilang dari keberadaan radio di masa kini adalah merekam lagu dan mendengarkan dongeng. Rizaldi (45) warga Jalan Kebangsaan Kota Tasikmalaya mengaku terkenang masa-masa 90-an ketika dirinya sering merekam lagu dari radio. Dia yang merupakan musisi mengatakan sering kali merekam lagu hits baru dari radio.

"Zaman dulu nggak ada ceritanya download lagu gratisan dari internet, kita harus siapkan kaset kosong di tape compo. Tunggu lagu incaran kita diputar radio, langsung direkam," kata Rizaldi. Cara ini lebih hemat ketimbang harus membeli kaset baru.

Sementara bagi Ateng Jaelani (50) warga Singaparna Tasikmalaya mengaku terkenang dengan kebiasaan di masa remajanya mendengarkan dongeng Saur Sepuh atau Si Rawing yang diputar di radio.

"Sejak siang kita sudah persiapan menjemur batu batre (baterai), radionya merk Cawang punya kakek saya," kata Ateng.

Menjemur baterai adalah cara untuk mengembali energi atau daya listrik dari baterai yang sudah soak. Meski belum diketahui cara itu ilmiah atau tidak, yang jelas menjemur baterai adalah cara ampuh memanfaatkan baterai yang sudah lemah.

"Setelah waktu Ashar, kita sudah mandi sudah salat, karena kalau belum mandi belum salat akan diomeli orang tua. Tidak akan diizinkan mendengarkan dongeng di radio. Katanya mendengarkan dongeng itu "pangedulan" (aktivitas pemalas)," kata Ateng.

batu bateraibatu baterai Foto: Thinkstock

Sekitar satu jam setiap sore di masa itu, imajinasi Ateng melayang-layang merekontruksi setiap naskah dongeng yang dibacakan penyiar. Keseruan mendengarkan dongeng bahkan menjadi bahan obrolan di sekolah.

"Jadi kalau ketinggalan dongeng radio, kita akan penasaran, karena teman-teman di sekolah atau di tempat ngaji pasti akan menceritakan lagi. Terutama zaman dongeng Si Rawing, wah itu luar biasa," kata Ateng.

Ada satu bagian yang melekat di kenangan Ateng, yakni ucapan penyiar ketika durasi acara dongeng habis. "Euuhhh waktosna parantos seep pemiarsa, ah sebal sekali rasanya ketika mendengar ucapan penyiar itu," kata Ateng.

(yum/yum)


Hide Ads