Kemampuan pohon dalam menghasilkan oksigen (O2) terpengaruh dengan perubahan iklim yang terjadi. Alih-alih mengeluarkan oksigen secara efisien, pohon justru melepaskan lebih banyak karbon dioksida (CO2) karena fotorespirasi, suatu proses yang terjadi saat fotosintesis.
Mengutip dari detikInet, pohon dapat menyerap dan menyimpan CO2 untuk mengimbangi emisi karbon, tetapi perubahan iklim yang lebih panas dan kering menghambat mekanisme ini.
Hal itu disampaikan dalam hasil studi yang dipimpin Max Lloyd dari Pennsylvania State University. Studi tersebut menunjukkan pohon di iklim hangat cenderung mengeluarkan lebih banyak CO2 daripada pohon di iklim sejuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Studi ini mencatat peningkatan hingga dua kali lipat dalam tingkat fotorespirasi pada iklim hangat, terutama saat air menjadi langka. Temuan ini menunjukkan bahwa pohon menjadi kurang efisien dalam menghilangkan CO2 dari atmosfer, dan menyerap karbon yang diperlukan untuk mendinginkan planet saat iklim semakin panas.
"Kami menemukan bahwa pohon di iklim yang lebih hangat dan kering mengalami 'batuk' daripada 'bernapas'. Saat itu, mereka mengembalikan CO2 ke atmosfer jauh lebih banyak daripada pohon yang berada di iklim yang lebih dingin dan lebih basah," ucap Lloyd dikutip detikINET dari Tech Explorist, Senin (12/2/2024).
Laporan penelitian yang berjudul 'Isotopic Clumping in Wood as A Proxy for the Photorespiration in Tress' telah dipublikasikan di The Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS). Lloyd mengingatkan pohon akan menjadi tidak efektif dalam menghilangkan karbon dioksida dari atmosfer jika pemanasan iklim terus terjadi dan mengimbau untuk melakukan perubahan kebiasaan sekecil apapun.
"Kita (manusia) telah mengganggu siklus penting ini, karena tanaman yang melakukan fotosintesis merupakan penyedot CO2 terbesar dari atmosfer. Itu berperan besar dalam komposisi atmosfer, yang berarti perubahan kecil memiliki dampak yang besar," tulisnya
Departemen Energi Amerika Serikat dalam keterangan mereka menyebut pohon mampu menyerap sekitar 25 persen CO2 yang dihasilkan aktivitas manusia setiap tahunnya. Namun, Lloyd dan kawan-kawan menduga persentase ini kemungkinan menurun di masa depan, terutama jika air semakin langka.
Lloyd dan timnya menggunakan metode baru untuk mengukur fotorespirasi dengan melihat isotop dalam kayu dari berbagai pohon seluruh dunia. Mereka memanfaatkan sampel kayu dari koleksi University of California yang berasal dari tahun 1930-an dan 40-an. Metode ini memungkinkan peneliti memahami sejarah tingkat fotorespirasi pohon dan memprediksi efisiensi mereka dalam menyerap karbon di masa depan dan di masa lalu.
Umumnya, untuk mengukur tingkat fotorespirasi diperlukan penilaian yang real-time pada tanaman hidup atau spesimen mati yang terawat baik dan masih mempertahankan karbohidrat struktural.
"Database tersebut awalnya digunakan untuk melatih penjaga hutan untuk mengidentifikasi pohon dari tempat di seluruh dunia. jadi kami menggunakannya untuk merekonstruksi hutan ini untuk melihat seberapa baik mereka menyerap CO2," terangnya.
Seiring dengan peningkatan cepat tingkat CO2 di atmosfer yang mencapai level tertinggi dalam 3,6 juta tahun terakhir, pemahaman konteks sejarah menjadi penting, sebut Administrasi Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat dalam keterangan mereka.
Lloyd dan tim berencana untuk melanjutkan penelitian dengan mempelajari kayu fosil yang dapat memberikan wawasan tentang dampak perubahan fotorespirasi tanaman terhadap iklim selama puluhan juta tahun.
Artikel ini telah tayang di detikInet dengan judul Gawat, Perubahan Iklim Bikin Pohon Kesulitan Bernapas.
(sud/sud)