Profil 3 Pakar Hukum Tata Negara yang Isi Dokumenter Dirty Vote

Profil 3 Pakar Hukum Tata Negara yang Isi Dokumenter Dirty Vote

Mentari Nurmalia - detikJabar
Senin, 12 Feb 2024 17:15 WIB
Film Dirty Vote.
Tiga Pakar Hukum Tata Negara yang mengisi film dokumenter Dirty Vote. (Foto: Istimewa)
Bandung -

Saat ini linimasa tengah ramai membicarakan film dokumenter Dirty Vote. Dirilis pada 11 Februari 2024 jam 11 siang, dokumenter ini disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara yaitu Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar. Ketiganya mengungkap berbagai instrumen kekuasaan yang telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi.

Dalam dokumenter tersebut turut diceritakan pula terkait penggunaan infrastruktur yang kuat dan tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang demi mempertahankan status quo. Bentuk-bentuk kecurangan itu kemudian diuraikan analisa yang kuat oleh ketiga ahli hukum tata negara.

Hingga artikel ini terbit, Dirty Vote sudah ditonton oleh lebih dari 4,8 juta orang. Masa tenang pemilu pun kini menjadi panas, lantaran film dokumenter ini dianggap sebagai fitnah belaka oleh TKN Prabowo-Gibran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagian orang mungkin belum begitu mengenal ketiga pakar hukum di Dirty Vote. Lalu, sebenarnya siapakah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari? Pada artikel ini detikJabar akan memberikan ulasan singkat terkait profil dari masing-masingnya.

Profil Pakar Hukum Dirty Vote, Bivitri Susanti

Bivitri Susanti adalah seorang akademisi dan pakar hukum tata negara serta salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Perempuan kelahiran 5 Oktober 1974 ini telah menghasilkan berbagai penelitian dan produk, sebut saja penelitian tentang Bikameral, perpustakaan Daniel S. Lev, pelatihan perancangan peraturan perundang-undangan, hingga parlemen.net.

ADVERTISEMENT

Bersama rekan-rekannya di PSHK, Bivitri Susanti kemudian mendirikan sekolah hukum bernama Jentera. Tujuannya adalah agar bisa menjadi roda penggerak perubahan hukum. Jentera memulai masa perkuliahan dengan menerima mahasiswa melalui jalur pendaftaran dan beasiswa. Kurikulum di Jentera sendiri menitik beratkan pada pemahaman terhadap hukum-hukum dasar, baik pidana maupun perdata.

Sosok Bivitri Susanti rupanya juga tercatat pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018 lalu.

Selain itu, Bivitri Susanti pernah menerima Anugerah Konstitusi M. Yamin dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) sebagai Pemikir Muda Hukum Tata Negara pada 2018.

Berbicara terkait akademiknya, Bivitri Susanti memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1999. Ia lalu melanjutkan pendidikan dan meraih gelar Master of Laws di Universitas Warwick, Inggris pada 2002, dengan predikat "with distinction", dengan beasiswa The British Chevening Award. Setelah itu, saat ini dia tengah melanjutkan studi doktoral di University of Washington School of Law, Amerika Serikat.

Keberadaannya dikenal aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembaharuan hukum melalui perumusan konsep dan langkah-langkah konkrit pembaruan, serta dalam mempengaruhi langsung penentu kebijakan. Sebut saja dalam Koalisi Konstitusi Baru (1999-2002), penulisan Cetak Biru Pembaruan Peradilan, Tenaga Ahli untuk Tim Pembaruan Kejaksaan (2005-2007), Tenaga Ahli untuk Dewan Perwakilan Daerah (2007-2009), dan advokasi berbagai undang-undang.

Tak hanya itu saja, Bivitri Susanti aktif pula dalam berbagai upaya pembaharuan hukum melalui partisipasinya dalam penyusunan berbagai undang-undang dan kebijakan, hingga bekerja sebagai konsultan untuk berbagai organisasi internasional.

Profil Pakar Hukum Dirty Vote, Feri Amsari

Pakar hukum Dirty Vote selanjutnya adalah Feri Amsari. Pria kelahiran Padang, 2 Oktober 1980 ini merupakan pakar hukum tata negara, aktivis hukum, dosen, dan akademisi Indonesia dari Fakultas Hukum Universitas Andalas. Saat ini dia aktif sebagai peneliti senior dan mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas yang aktif sejak 2017 hingga 2023.

Pria lulusan William & Mary Law School, Amerika Serikat ini dikenal aktif menulis tentang hukum, politik, dan kenegaraan di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional. Tulisannya pun dimuat di berbagai surat kabar media bergengsi di Indonesia.

Saat masih berkuliah, tepatnya pada 2002, Feri Amsari pernah menjadi Juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah Mahasiswa Tingkat Universitas Andalas. Ia juga tercatat pernah menjadi Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa dan merangkap sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Andalas periode 2002 hingga 2003.

Feri Amsari juga pernah tergabung sebagai wartawan mahasiswa dan menjadi Dewan Redaksi Buletin Gema Justisia Fakultas Hukum Universitas Andalas. Ia lalu menjabat sebagai Ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik (UKM PHP) Universitas Andalas periode 2003 hingga 2004.

Pada 2004, Feri Amsari resmi meraih gelar Sarjana Hukum S1 Program Kekhususan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas dan meraih IPK 3,12. Selanjutnya dia meraih gelar Magister Hukum di kampus yang sama pada 2008 dengan judul tesis Perubahan Undang-Undang 1945 Melalui Penafsiran oleh Mahkamah Konstitusi dan lulus cumlaude dan mendapatkan IPK 3,9.

Sosok Feri Amsari juga kerap diundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan pembaruan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Dia bahkan pernah masuk dalam Tim Percepatan Reformasi Hukum Kemenko Polhukam.

Profil Pakar Hukum Dirty Vote, Zainal Arifin Mochtar

Satu lagi profil pakar hukum Dirty Vote yang perlu detikers ketahui yakni Zainal Arifin Mochtar. Dia merupakan seorang dosen, akademisi, pakar Hukum Tata Negara Indonesia, serta aktivis yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Pria kelahiran 8 Desember 1978 ini juga menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) FH UGM.

Sosok Zainal Arifin Mochtar turut dikenal sebagai akademisi yang sangat lantang mengkritik pemerintah, terutama terkait hal yang berhubungan dengan korupsi dan oligarki. Ia merupakan lulusan Fakultas Hukum UGM tahun 2003 silam. Setelah lulus dari UGM, dia lalu mengambil gelar master hukumnya di Northwestern University, Amerika Serikat pada 2006. Tak cukup sampai di situ, Zainal kemudian menamatkan S3 Ilmu Hukum di UGM pada 2012.

Dua tahun berselang, tepatnya pada 2014 ia pun menjadi dosen Hukum Tata Negara UGM dan aktif di berbagai kegiatan antikorupsi lewat lembaga Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM. Zainal Arifin Mochtar beberapa kali tampil di acara televisi nasional, bahkan sempat juga menjadi moderator dalam debat Capres dan Cawapres pada Pemilu 2014 lalu.

Sebagai seorang akademisi, Zainal dinilai vokal dalam mengkritik pemerintah, terutama terkait hal yang berhubungan dengan korupsi dan oligarki. Dia bahkan menjadi Anggota Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Zainal juga pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan dari tahun 2015 hingga 2017 serta Anggota Komisaris PT Pertamina EP dari tahun 2016-2019.

Pada 2022 lalu, Zainal Arifin Mochtar dilantik sebagai Anggota Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Selanjutnya pada 2023, dia dipilih menjadi Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan untuk periode 2023 hingga 2026.

Nah, itu dia profil ketiga pakar hukum di film dokumenter Dirty Vote yang hingga saat ini masih terus dibicarakan di linimasa. Apakah detikers sudah menontonnya?




(tya/tey)


Hide Ads