Alfiansyah Bustami atau lebih dikenal dengan sapaan Komeng, maju jadi calon anggota DPD RI dari Jawa Barat. Pelawak pesohor ini jadi perbincangan, karena fotonya pada kertas suara yang dianggap nyeleneh.
Jika calon anggota lainnya menggunakan foto berpenampilan formal dengan balutan jas dan dasi, Komeng justru menampilkan foto dengan wajah yang kocak, dengan ekspresi yang menarik perhatian. Komeng dalam fotonya juga memiringkan kepala dengan mata melotot.
Handoko Gani, Pakar Body Language pun ikut mengomentari potret jenaka Komeng. Sebagai pakar Body Language, ia mampu menafsirkan kode public image yang tergambar pada pose dan wajah seseorang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, Komeng mampu menggaet banyak suara dengan menggunakan foto tersebut. Komeng diyakini sengaja memasang foto tersebut, agar lebih mudah dipilih dan dikenali masyarakat dengan ciri khasnya.
"Saya yakin dia 100% sengaja memasang foto tersebut, supaya masyarakat connect. Dia sudah mengerti konsep public image. Sebenarnya foto (nyeleneh) ini untuk membuat diri kita tuh relevan dengan masyarakat, dengan artian sudah dikenali," kata Handoko saat dihubungi detikJabar, Kamis (15/2/2024).
Benar saja, dari real count KPU, Komeng unggul dari calon lainnya. Dilihat detikJabar di situs pemilu2024.kpu.go.id hari ini pukul 12.00 WIB, dari rekapitulasi 48.110 suara di 140.457 TPS (34,25%), Komeng mengantongi 8,51% atau 219.068 suara.
Handoko memberi gambaran, jika saja Komeng memilih untuk mengenakan foto yang formal dan terkesan serius, mungkin tak akan banyak orang yang memilihnya. Begitupun dengan pemilihan nama, yang mana Sang Komedian tersebut tetap menyertakan nama panggungnya, menjadi Alfiansyah Komeng.
"Bayangkan Komeng berpose serius atau siapapun publik figur seperti Cak Lontong misalnya, berpose serius. Pasti nggak akan ada yang milih. Itu lah public image, image yang dibentuk oleh kita supaya dikenal dengan kesan tertentu. Nah Komeng ingin menggunakan public image dia yang biasanya dan dikenali masyarakat. Ini tidak salah menggunakan imagenya dia," ujar Handoko.
"Nama juga, kalau dia nggak pakai nama Komeng juga saya nggak yakin orang kenal. Makanya ada beberapa artis yang minta ke pengadilan agar menggunakan nama panggung, supaya orang langsung connect dan relevan. Komeng dikenal publik dengan namanya, ciri khasnya, ini nyambung dengan apa yang orang lihat di TV. Coba aja kalau dia mengangkat tangan atau pose yang lain, mata ke atas kek, itu orang mungkin nggak connect," lanjutnya.
Seperti diketahui, Komeng populer dengan acara komedi televisi berjudul 'Spontan' (1996-2003) dengan jargon 'Uhuy!'. Dari sinilah, suara sengau, celotehan, hingga tingkah kocak dengan ekspresi wajah yang menghibur membuatnya semakin tersohor.
![]() |
Handoko menilai, tak semua publik figur mampu memiliki ciri khas seperti Komeng, yang tak hanya lucu tapi juga punya ciri khas spesifik pada wajah. Hal ini lah yang membuat Komeng mampu 'menang' dengan menampilkan karakter yang sudah dikenal publik, hanya dari sebuah foto.
"Misalnya saja Uya Kuya, saya nggak yakin orang banyak kenal dengan foto yang formal. Kecuali dia berpose seperti sedang hipnotis misalnya, baru menarik. Kemudian Mandra, dia identik dengan wajah yang ketus. Misalnya dia menunjukan foto lucu tapi bukan trademarknya dia atau malah melongo, itu masyarakat nggak akan connect juga," ucap Handoko.
"Begitu pun kalau pejabat yang tiba-tiba membentuk wajah atau citra konyol, itu salah besar. Image itu sesuatu yang dibentuk dan bisa diterima. Kalau pejabatnya tidak pernah melucu, ya masyarakat tidak akan percaya," tambahnya.
Viralnya Komeng Jadi Evaluasi Politik Indonesia
Dari kacamata Handoko, fenomena trademark publik figure yang unik dan mampu meraih banyak suara, mencerminkan suatu kelemahan. Menurutnya, ada hal yang salah sehingga masyarakat masih harus mengenali wakilnya malah dari hal-hal sepele seperti keunikan tertentu.
"Ya ini kelemahan proses demokrasi kita. Kalo kita nggak relate, nggak akan nyoblos orang itu. Untungnya bagi public image yang mereka punya pose dan itu jadi trademarknya dia. Dari sisi pemilih, publik yang mohon maaf, kita nggak tau siapa sih orang yang jadi wakil kita? Sistem ini tidak cukup memberi dasar info kuat," ujar Handoko.
"Saat di bilik suara, kita akan mencari nama atau foto yang pernah kita lihat, dengar, atau rasanya enak untuk dibaca. Contohnya memilih yang muka dan iklannya pernah dilihat, gelarnya SH, atau ada marga Bataknya. Bukan isu rasis, tapi sistem pemilu yang ada kurang cukup informasi, untuk memilih berdasar fakta ilmiah dan prestasinya," imbuh Handoko.
Maka inilah fenomena proses pencoblosan di Indonesia. Kata Handoko, masyarakat yang merasa terkoneksi dengan sosok yang ia pilih, maka akan merasa nyaman dan aman meskipun tidak mengenal siapa dia. Hanya menduga dan meyakini bahwa sosok itulah yang dirasa layak menjadi wakilnya.
Sebelumnya diberitakan, Komeng mendadak menyita perhatian warga di Pemilu 2024. Pasalnya, ia yang maju sebagai calon anggota DPD RI dari Jabar menggunakan foto yang nyeleneh di kertas suara.
Komeng mengaku sengaja menggunakan foto nyeleneh tersebut, agar beda dari yang lain. Meskipun katanya, fotonya bukan jadi salah satu cara mendapat banyak suara.
"Tujuan ke situ sih nggak ada. Memang saya pada dasarnya, kalau konsep ngelawak saja suka. Pengin sesuatu yang baru," tutur Komeng pada detikHot.
(aau/yum)