Sejumlah warga sejak lama tinggal di sebuah kampung terpencil di Kabupaten Ciamis. Namanya Kampung Rumah 8. Mereka bersyukur bisa hidup dengan damai di sana. Tapi bukan berarti tidak ada kesulitan yang dihadapi warga dalam kesehariannya.
Kampung Rumah 8 berada di Desa Bunter, Kecamatan Sukadana yang letaknya berada di tengah hutan. Akses menuju lokasi kampung pun sangat sulit dan ekstrem. Untuk menuju lokasi perlu sepeda motor khusus atau berjalan kaki dengan menempuh hingga setengah jam lebih dari Jalan Sukadana-Cisaga.
Ketua RT setempat Eli Yuliana mengaku, sudah sejak lama warga Kampung Rumah 8 mendambakan akses jalan yang baik. Namun, hingga kini belum ada realisasi, warga hanya bisa mengandalkan akses jalan yang melewati hutan dan juga terjal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eli mengaku, sudah mengajukan akses jalan ke Pemerintah Desa Bunter. Ada pun potensi jalan yang akan dibuat dengan memakai program JUT atau jalan usaha tani. Sehingga selain untuk akses warga juga bisa dipakai untuk usaha pertanian.
"Yang dibutuhkan warga di sini adalah akses jalan. Sudah diajukan melalui Program JUT. Jadi jalan tidak ke hutan lagi tapi lewat area persawahan. Kalau sekarang akses itu tidak bisa dilewati motor. Semoga bisa terealisasi. Informasinya baru akan dibuat jembatan dulu di tahun ini," ujar Eli.
Eli bercerita sulitnya warga Kampung Rumah 8 dalam menjalani kehidupan di tengah keterbatasan akses jalan. Seperti ketika ada warga yang sakit atau pun yang melahirkan.
"Repot kalau ada yang sakit atau mau melahirkan. Kemarin juga yang mau melahirkan digotong pakai sarung untuk ke bidan. Tapi tidak sempat, keburu brojol di jalan. Untungnya di sini ada indung beurang (paraji). Jadi kalau ada yang hamil, bidannya harus dijemput dibawa ke sini," ungkap Eli.
Kesulitan lainnya adalah akses pendidikan. Sekolah yang ada jaraknya cukup jauh, sehingga anak-anak harus diantarkan pada saat berangkat. Tapi pada saat pulang terkadang mereka harus berjalan kaki melewati hutan. Hal itu karena, orang tuanya tidak sempat jemput karena bekerja.
"Di sini ada dua anak yang sekolah. Setiap pagi di antar, kalau pulang kadang jalan kaki. Yang dikhawatirkan itu kan lewat hutan, banyak monyet dan juga kawanan babi hutan, takut diserang. Hewan itu juga sering datang ke permukiman, tapi selama tidak mengganggu mah aman," jelasnya.
Untuk akses listrik, sebelumnya warga Kampung Rumah 8 hanya mengandalkan lampu minyak. Tapi kini mereka patungan membeli kabel listrik sepanjang sekitar 1 kilometer. Sehingga 8 rumah tersebut kini terang benderang.
"Listrik Alhamdulillah ada, patungan beli kabel listrik 1 kilometer. Dari 8 rumah ini, meteran listrik hanya ada 4, jadi 1 meteran untuk dua rumah. Sedangkan untuk jaringan internet ada tapi tidak stabil, kadang hilang kadang bagus," ucapnya.
Di balik kesulitan itu, warga Kampung Rumah 8 tetap bersyukur. Warga merasa aman dengan suasana tenang jauh dari keramaian. Mereka pun tidak ada yang berniat untuk pindah dari kampung tersebut.
"Pada waktu pandemi kemarin, warga di sini aman-aman saja. Kan warganya juga sehari-hari bertani. Paling ke luar ketika ada keperluan mendesak," jelasnya.
Abah Saya (82), warga, mengaku sudah tinggal puluhan tahun di Kampung Rumah 8 dan tidak berniat untuk pindah. Meski sudah tua, Abah Saya masih kuat untuk ke kebun dan sawah bertani.
"Sudah betah di sini, tidak mau pindah. Kalau ke luar harus banyak uang. Kalau di sini tidak punya uang pun tetap cukup," katanya.
(mso/mso)










































