Perjalanan Paling Berbahaya Soekarno di Garut pada 1955

Jejak Soekarno di Garut

Perjalanan Paling Berbahaya Soekarno di Garut pada 1955

Hakim Ghani - detikJabar
Jumat, 09 Feb 2024 13:00 WIB
Kolase Soekarno dan Kartosoewirjo
Kolase Soekarno dan Kartosoewirjo (Foto: Istimewa/visualisasi Hakim Ghani)
Garut -

Dan bulan yang lalu, buat kesekian kalinya, saya mengunjungi Priangan Timur. Sepanjang jalan dari Cicalengka ke Garut, ke Tasikmalaya, ke Ciamis, adalah satu lautan bendera Merah Putih. Sepanjang jalan yang panjang itu, berpagar-berjejal-jejallah ratusan ribu manusia. Satu maha-demonstrasi pro Republik. Bergegar udara dengan pekikan 'Merdeka... Hidup Republik. Merdeka... Hidup Republik.

Begitulah ungkapan Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, saat mengisahkan perjalanannya mengunjungi daerah Priangan Timur, termasuk Garut, pada tanggal 14 Juni 1955. Bukan sekadar kata-kata, cerita ini dituangkan Bung Karno dalam pidato kenegaraan.

Kata-kata tersebut, adalah sebait pidato berjudul Tetap Terbanglah Rajawali, yang dibacakan Presiden Soekarno, dalam amanatnya pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1955 di Jakarta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Momen kunjungan Soekarno ke Garut kali ini, terabadikan dalam laporan Koran Provinsi Overijssel dan Zwolle yang tayang pada tanggal 15 Juni 1955 dengan judul 'Soekarno Mengunjungi Daerah yang Tidak Aman'. Berita tersebut mengisahkan perjalanan menegangkan Soekarno di Garut.

Saat itu, Soekarno berkunjung ke Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya, yang terkenal dengan aktivitas 'geng-nya'. Geng yang dimaksud ini, merupakan kelompok Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo yang memiliki basis di wilayah Priangan Timur.

ADVERTISEMENT

"Sesaat sebelum presiden mencapai Garoet, Kota Soetji (daerah Suci, saat ini di Kecamatan Karangpawitan), satu mil di luar Garoet, diserang oleh sekelompok orang yang menghancurkan dua puluh rumah. Menewaskan dua warga dan melukai empat orang," tulis Koran Provinsi Overijssel dan Zwolle tersebut.

Ilustrasi Sekarmadji Maridjan KartosoewirjoIlustrasi Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Foto: Edi Wahyono/detikcom

Maraknya aksi 'geng' di Priangan Timur membuat Bung Karno meradang. Di setiap tempat yang dikunjunginya pada momen tersebut, Bung Karno memberikan imbauan kepada para geng tersebut untuk menghentikan aksinya.

"Negara dan bendera kami dihormati dimana-mana. Di Beijing, Washington, Moskow, dan London. Mengapa hal tersebut tidak terjadi pada kelompok kita sendiri? kata Soekarno," katanya.

Perjalanan Bung Karno di Priangan Timur saat itu, merupakan salah satu kunjungan yang tidak aman. Dikisahkan koran tersebut, Bung Karno bahkan harus datang dengan pengawalan yang ekstra ketat. Termasuk mengerahkan personel lapis baja.

Selain berbicara masalah Darul Islam, koran itu juga menyebut Soekarno sempat mengumpulkan dana untuk pembangunan monumen nasional. "Dari Bandung, Soekarno melakukan perjalanan dan mengumpulkan uang satu setengah juta rupiah untuk sebuah monumen nasional," katanya.

Kendati demikian, terkait maraknya aksi Darul Islam di Garut kala itu, Bung Karno meyakini aksi mereka tidak didukung oleh mayoritas masyarakat. Sebab, masyarakat Priangan Timur, kata Bung Karno, mencintai Republik Indonesia.

Dikutip detikJabar dari buku berjudul IR Sukarno: Dibawah Bendera Revolusi karyanya sendiri, dalam pidato kenegaraan berjudul Tetap Terbanglah Rajawali yang dibacakan di hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1955 itu juga, Soekarno bercerita penerimaan rakyat Priangan terhadap eksistensi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan sahabatnya, SM Kartosoewirjo.

'Darul Islamnya Kartosuwiryo C.s.? Saya yakin pula bahwa sebagai suatu keseluruhan, rakyat Priangan tidak berdiri di belakang Kartosuwiryo itu. Saya ini termasuk golongannya pemimpin-pemimpin, yang mengenal rakyat Priangan itu dari dekat dan cinta kepada rakyat Priangan itu. Antara lain, karena rakyat Priangan cinta kemerdekaan. Malah pernah saya katakan di muka umum, bahwa saya kelak ingin mati di Parahiangan. Ingin dikubur di pangkuan bumi Parahiangan. Saya tahu dengan jelas dan tegas, bahwa rakyat Parahiangan sebagai satu keseluruhan cinta Proklamasi 17 Agustus 1945, cinta Sang Merah Putih, cinta Republik.'

Foto KartoSoewirjo dan keluargaFoto KartoSoewirjo dan keluarga Foto: Dok Fadli Zon

Sejarawan Garut, Warjita mengenang momen ini. Menurut Warjita, kunjungan Bung Karno ke Garut pada tahun 1955 itu, tak lain untuk menjaga keyakinan masyarakat terhadap Republik Indonesia. Bung Karno punya misi menentramkan masyarakat Priangan, di tengah gempuran Darul Islam.

"Untuk meyakinkan masyarakat Garut. Kala kata kita, tong kabawa ku sakaba-kaba (jangan ikut-ikutan). Walaupun awalnya teman seperjuangan (dengan Kartosuwiryo), tapi untuk republik Soekarno berkepentingan untuk menentramkan," kata Warjita.

Cerita Bung Karno dan Garut di tahun 1955 tidak hanya sekadar momen ini. Ada momen lainnya, yang tak kalah ikonik di tahun tersebut. Yakni, momen ketika produsen cokelat dari Garut, SilverQueen saat itu menjadi camilan di acara Konferensi Asia Afrika di Bandung, pada bulan April 1955 yang dipimpin oleh Soekarno.

Dalam buku berjudul 50 Great Business Ideas From Indonesia, karya M. Ma'ruf, konon saking lezatnya SilverQueen itu, Bung Karno hanya ingin memakan cokelat buatan pria berkebangsaan Burma (sekarang Myanmar), Ming Chee Chuang yang merupakan pemilik SilverQueen.

"Konon, saking lezatnya, Presiden Soekarno hanya mau memakan cokelat buatan Chuang. Cokelat racikan itu, sebenarnya sederhana. Berbahan kakao, gula, dan susu yang diaduk-aduk. Tidak ada yang istimewa dari cara Chuang membuat cokelat yang lezat. Kecuali, memainkan temperatur pada alat-alat pemanas cokelat. Hanya saja, konon dia memiliki indra perasa pada lidah yang sangat istimewa. Sehingga tahu betul meracik sebuah cokelat yang lezat," kata Ma'ruf.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads