Tawuran antar kelompok pelajar kerap terjadi di Kota dan Kabupaten Sukabumi. Bahkan baru-baru ini tawuran itu terjadi di kalangan pelajar SMP melawan alumni sekolah.
Aksi gagah-gagahan itu bukan hanya meresahkan, tapi juga membahayakan. Tawuran baik yang dapat dicegah oleh aparat kepolisian hingga menimbulkan korban.
Lalu bagaimana pakar pendidikan menilai fenomena tersebut?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi fenomena itu, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah (UMMI) Sukabumi Sistiana Windyariani menilai, tawuran merupakan persoalan klasik yang cenderung sulit untuk diselesaikan.
Sistiana mengibaratkan fenomena tawuran seperti penyakit kronis yang memprihatinkan karena tawuran bukan hanya sebatas kenakalan remaja tetapi mengarah pada kriminalitas seperti yang terjadi di Kecamatan Cireunghas, Kabupaten Sukabumi. Insiden itu membuat seorang pemuda berinisial R (20) luka dan kritis di rumah sakit.
"Kondisi tersebut tentu saja menimbulkan keprihatinan bagi kita semua karena pelajar adalah generasi muda calon penerus bangsa. Remaja merupakan manusia yang kaya akan potensi yang kelak dapat menjadi aset berharga bagi pembangunan bangsa," kata Sistiana kepada detikJabar, Rabu (7/2/2024).
Dia mengatakan, faktor pemicu tawuran terjadi bisa berkaitan dengan psikologis pelajar yang muncul melalui proses penemuan jati diri yang keliru. Mereka krisis identitas, lemahnya kontrol diri dan tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan sosial. Lingkungan sekolah, pergaulan dan keluarga juga berpengaruh pada perilaku pelajar.
"Pelajar yang melakukan tawuran biasanya tidak mampu melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang kompleks, seperti keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai perubahan di berbagai kehidupan lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam," ujarnya.
"Para remaja yang mengalami hal ini akan lebih tergesa-gesa dalam memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu apakah akibat yang akan ditimbulkannya. Hal inilah yang seringkali dilakukan remaja, sehingga tawuran dianggap sebagai sebuah solusi dari permasalahannya," sambungnya.
Dia menyarankan pemerintah melalui Dinas Pendidikan menetapkan berbagai kebijakan yang dapat mengakomodasi penanganan tawuran secara menyeluruh. Misalnya memberikan instruksi kepada seluruh sekolah khususnya SMP agar siswanya mengikuti kegiatan kesiswaan dengan sistem mentoring.
"Setiap guru wajib menjadi seorang figur yang baik, sabar yang dapat dicontoh oleh para pelajar. Seluruh guru, harus terus dihimbau untuk menjadi sosok teladan dan inspiratif, sehingga kehadirannya dianggap memiliki arti dan nilai yang baik bagi diri remaja," kata dia.
Guru BK, Wali Kelas termasuk guru mata pelajaran harus memberikan perhatian dan motivasi yang lebih untuk para remaja selama proses mencari jati diri. Kemudian, mereka juga harus memfasilitasi pelajar untuk berkegiatan sesuai dengan minat dan bakatnya.
"Logikanya, semakin sedikit waktu luang yang dimiliki pelajar, maka semakin berkurang waktunya untuk melakukan kegiatan yang kurang bermanfaat (seperti nongkrong atau jalan-jalan tanpa tujuan). Terakhir mengadakan sekolah keluarga, mengembalikan fungsi pendidikan kelurga sebagai dasar pendidikan anak, yang bisa dikerjasamakan dengan dinas-dinas terkait atau institusi pendidikan tinggi yang relevan dengan pendidikan anak," jelasnya.
Dosen FKIP Ibnu Hurri menambahkan, tawuran pelajar juga berhubungan dengan perkembangan teknologi dan informasi. Tak sedikit, pelajar yang tawuran ingin eksis di media sosial. Kemudian, dendam turun temurun juga menjadi tradisi di kalangan pelajar berpendidikan.
"Dendam turun temurun yang harus diselesaikan oleh para pelajar (salah satu faktor penyebab tawuran) masalah yang sangat sepele namun bisa menjadi pemicu besar terjadinya tawuran antar pelajar atau alasan ingin viral di medsos, alasan yang menurut saya sangat aneh sekali, mencari popularitas melalui kegiatan yang merugikan diri dan orang lain," kata Ibnu.
Fenomena keluarga dan lingkungan masyarakat juga dinilai menjadi indikator pemicu terjadinya tawuran pelajar. Alasannya masalah yang terjadi di rumah seperti perceraian orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, atau ketidakstabilan dalam lingkungan keluarga dan kurangnya pendidikan agama.
"Dalam mengatasi fenomena tawuran pelajar, perlu dilakukan pendekatan yang holistik, melibatkan kerja sama antara semua pihak (keluarga, masyarakat dan sekolah)," ujarnya.
Semua pihak, kata dia, harus dapat mengidentifikasi siswa yang paling rentan terlibat dalam tawuran. Dengan memanfaatkan metode identifikasi ini, dimungkinkan untuk mengembangkan kategori atau klasifikasi yang jelas kemudian dapat digunakan untuk membuat peta yang menggambarkan permasalahan yang dihadapi siswa.
"Selain itu, dukungan sosial keluarga yang cukup sangat penting bagi remaja untuk mencegah mereka mencari hiburan dari kelompok asing, termasuk teman sebayanya, dan untuk mencegah keterlibatan mereka dalam kelompok teman sebaya yang secara tidak sengaja dapat memicu konflik (tawuran)," tutup Ibnu.
(mso/mso)