Misteri Tewasnya Istri Konsulat Spanyol di Villa Dolce Garut

Lorong Waktu

Misteri Tewasnya Istri Konsulat Spanyol di Villa Dolce Garut

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Minggu, 04 Feb 2024 10:00 WIB
Dokumentasi Villa Dolce, Campbell MacFie dari situs berbahasa Belanda Javapost.nl.
Dokumentasi Villa Dolce, Campbell MacFie dari situs berbahasa Belanda Javapost.nl. Foto: Istimewa
Sukabumi -

Campbell MacFie, istri seorang konsulat Spanyol di Sydney Australia ditemukan terbunuh di salah satu kamar di Villa Dolce Garut. Kejadian ini mendapat sorotan dari sejumlah media internasional.

Sosok spesial Anita Rambonet Daponte, istri dari Walikota Sukabumi pertama George Francois Rambonnet hadir dalam kisah ini. Ia membantu mengurai kebuntuan berbahasa pada kasus ini. Ia ditugasi sebagai penerjemah. Perempuan berdarah Italia itu juga dikenal sebagai seorang pelukis.

Mengutip surat kabar Sydney Morning Herald terbitan Rabu 23 September 1925, MacFie diketahui melakukan reservasi kamar pada Kamis 3 September 1925 pagi hari. Kala itu pemilik hotel cemas, karena tamu barunya tidak kunjung keluar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Macfie terlihat terakhir kali sekitar pukul 09.30 WIB berdasarkan kesaksian seorang pelayan, namun hingga malam harinya wanita itu tak terlihat keluar dari kamar.

"Hingga Jumat malam, tidak terdengar kabar apa pun tentang Macfie, manajer hotel yang mengetuk pintunya pada Sabtu sore tidak mendapat jawaban. Saat membuka pintu, dia melihat pemandangan yang mengerikan," kutip detikJabar dari media terbitan Australia itu, Jumat (2/2/2024).

ADVERTISEMENT

Sydney Morning Herald juga menggambarkan keadaan mengerikan itu, jasad Macfie ditemukan di antara selimut dengan kondisi kelambu ditutup. Segala sesuatu di ruangan itu baik-baik saja, indikasi awal menunjukkan adanya bunuh diri.

"Tetapi pemeriksaan lebih lanjut, mengungkapkan banyak luka parah di tenggorokan dan lengan, menunjukkan bahwa bunuh diri tidak mungkin dilakukan. Namun senjata itu tidak ditemukan," tulis koran tersebut.

Rangga Suria Danuningrat, pegiat sejarah dari Sukabumi History mengutip informasi tambahan dari pemberitaan Bataviaasch nieuwsblad yang menggambarkan kondisi Macfie telah dibunuh secara brutal. Kabar itu tersebar di seluruh Hindia Belanda, bahkan sampai ke telinga warga Sukabumi kala itu.

"Maka dimulailah kisah kasus pembunuhan yang menggegerkan, tidak hanya di Garut tetapi juga seluruh Hindia Belanda untuk waktu yang lama termasuk pula beritanya sampai ke telinga penduduk Sukabumi saat itu," kata Rangga kepada detikJabar.

Rangga berkisah, Garut saat itu dikenal karena suasana kotanya yang sangat indah. Karena indahnya, bahkan orang-orang Belanda dan Eropa menjuluki kota Garut ini sebagai Swiss Kecil atau 'De Kleine Switzerland Van Java'. Mereka menjuluki kota Garut adalah kota paling indah sepanjang Asia.

"Peristiwa pembunuhan di Villa Dolce itu jelas berpontensi mencoreng image Kota Garut kala itu. Dan oleh karenanya, Polisi Hindia Belanda segera bergerak menyelidiki pembunuhan turis dari Australia tersebut. Semua yang berada di dalam hotel, baik karyawan maupun tamu-tamu menjadi target pertama penyelidikan polisi," tutur Rangga.

Motif perampokan saat itu diabaikan karena kondisi seluruh barang-barang berharga milik korban ditemukan dalam kondisi utuh. Korban bahkan masih memakai arlojinya saat diketemukan, di mana arloji adalah barang sangat mewah kala itu.

Kesan pertama perampokan bukanlah motif dari kejahatan itu juga diulas Sydney Morning Herald. Media itu mengulas jam tangan cantik, cincin jari, uang sekitar 600 gulden, dan buku cek tidak diganggu. Penyelidikan selanjutnya menunjukkan bahwa anting-anting telah hilang, juga sebuah keranjang kecil, yang dibeli Ny Macfie sebagai suvenir. Penyelidikan medis menetapkan bahwa pembunuhan itu terjadi pada Sabtu pagi, antara jam 15.00 WIB dan 18.00 WIB sore.

"Dari situ polisi mengabaikan pelakunya adalah kaum pribumi, baik pribumi yang ada didalam hotel atau diluar hotel. Menurut polisi, pribumi tidak mungkin berani melakukan pembunuhan orang kulit putih tanpa motif merampok," ujar Rangga.

"Fokus polisi kemudian mulai membidik orang kulit putih, atau setidaknya orang asing sebagai pelakunya. Apalagi kemudian muncul bukti-bukti baru di mana sebuah buku milik korban diketahui hilang. Selain itu diketemukan pula sebuah coretan puisi dengan inisial 'EN' di dalamnya. Polisi juga mencurigai salah seorang warga negara Australia lain di hotel itu yang bertingkah laku aneh," sambung Rangga.

Rangga juga mengupas sosok Macfie yang juga sebagai istri konsulat Spanyol di Sydney Australia. Hal itu menguatkan dugaan bahwa motif pembunuhan ini terkait dengan statusnya tersebut.

Dokumentasi Villa Dolce, Campbell MacFie dari situs berbahasa Belanda Javapost.nl.Dokumentasi Villa Dolce, Campbell MacFie dari situs berbahasa Belanda Javapost.nl. Foto: Istimewa

"Kesimpulan polisi tersebut dianggap sudah matang dan tinggal dilakukan investigasi lebih lanjut. Maka sesaat setelah pemakaman korban, kamar hotel sebagai tempat kejadian perkara segera dibersihkan. Kamar itu sudah sterial sepenuhnya termasuk kemungkinan hilangnya sidik jari," ucap Rangga.

Namun langkah yang awalnya diharapkan bisa membuat keguncangan atas peristiwa tersebut membaik malah mendapat sorotan tajam dari media saat itu. Bahkan dianggap sebagai tindakan ceroboh.

Situs berbahasa Belanda, javapost.nl yang mengangkat judul de moord te garoet pada 2014 lalu menulis saat itu media menyoroti tajam kasus itu.

"Pers menyebutnya memalukan. 'Gobbledygook', (bodoh) begitulah sebutannya. Karena semua surat kabar nasional memuat berita tersebut dan ada kekhawatiran akan dampak negatifnya terhadap pariwisata," kutip detikJabar dari situs tersebut.

Kondisi ini adalah cara agar situasi kembali normal karena sekali lagi, berita buruk terkait hotel ini bisa merusak citranya. Namun media mempunyai persepsi yang berbeda daripada polisi. Bahkan mereka menganggap kinerja polisi ceroboh dengan membuat kesimpulan yang terburu buru seperti itu, termasuk membersihkan TKP.

"Setelah media ramai memberitakan kecerobohon ini, pemerintah pusatpun akhirnya turun tangan. Jaksa Penuntut Umum, Mr Einthoven bersama dengan kepala reserse di Batavia yaitu komisaris BR van der Most diturunkan untuk menangaini kasus ini Setelah beberapa hari bekerja, mereka berdua membuat kesimpulan sebaliknya. Mereka menghapus kecurigaan bahwa pelakunya orang Eropa dan Australia dan mulai melihat indikasi pelakunya adalah orang pribumi," beber Rangga.

Kala itu salah satu pelayan hotel akhirnya bersaksi telah melihat rekannya pelayan lain melemparkan koper ke dalam sebuah sumur. Dua koper itu kemudian ditemukan di dasar sumur. Kondisi kedua koper itu telah kosong dan kemungkinan besar dibuang setelah diambil isinya.

Orang yang membuang koper tersebut diketahui bernama Rachman, mandor kereta api atau biasa disebut 'pelari' dari hotel tersebut.

"Rachman mengakui bahwa ialah yang membuka kamar hotel dan mengambil koper-koper korban. Namun ia menyangkal tuduhan telah melakukan pembunuhan. Rachman mengaku bahwa seorang temannya bernama Entjim yang merencanakan perampokan itu. Entjim beserta seorang blasteran Inggris India yang bernama Rueben, yang merupakan karyawan di hotel lain, menurut Rachman, Ruebenlah sebagai pelaku penusukan brutal tersebut," beber Rangga.

Pernyataan Rachman ini mendapat pembenaran dari seorang pekerja tuna susila bernama Nji Enoh yang malam itu disewa oleh Rachman untuk menemani tamu hotel. Temuan tersebut kemudian dikembangkan oleh polisi serta semua tersangka dibawa ke Batavia untuk diperiksa lebih lanjut, dan interogasi terhadap Entjim dan Rueben menguatkan pernyataan Rachman tersebut.

"Pisau dengan bekas darah korban kemudian ditemukan. Entjim yang awalnya bersikeras membantah keterlibatannya, kemudian menyerah serta mengakui aksinya dalam peristiwa pembunuhan itu. Entjim menyatakan bahwa Ruebenlah yang telah mengajaknya melakukan kejahatan tersebut dengan embel-embel uang," kata Rangga mengutip sejumlah sumber.

Namun, penyelidikan kasus pembunuhan dianggap lambat oleh media karena sudah lebih dari setengah tahun berlalu, polisi belum berhasil mengungkap motif sebenarnya dari pembunuhan tersebut. Dan, belum ada satupun tersangka dijatuhi hukuman, di mana status korban sebagai istri pejabat membuat kasus ini menjadi sorotan.

"Dampak berlarutnya dari kasus ini kemudian mulai terasa. The Indian Courant pada terbitan 4 April 1926, menulis bahwa dampak peristiwa itu adalah takutnya para calon pelancong datang ke Garut atau bahkan ke Hindia Belanda.
Pemerintah kolonial bergerak cepat dan sidang pengadilan pun digelar," ujar Rangga.

Menurut Rangga, sidang juga digelar seolah tergesa-gesa akibat dampak buruk yang terjadi. Majelis hakim Landraad atau pengadilan negeri yang terdiri dari seorang hakim ketua berdarah Eropa yang bernama FA Folkersma, yang didampingi beberapa hakim pribumi memimpin persidangan yang menyedot perhatian dunia.

Tersangka Rachman dijanjikan akan dibebaskan dari tuduhan asal bersedia menjadi saksi utama dan untuk mencegah para terdakwa saling menyangkal, lalu pengadilan dilakukan secara terpisah.

"Terdakwa Entjim kemudian disidang terlebih dahulu. Pada persidangan pertama, sekali lagi Entjim menyangkal semua tuduhan, namun lagi-lagi ia menyerah setelah ditunjukan semua bukti dan saksi. Dalam persidangan Entjim itu, terungkap kronologi pembunuhan," ungkap Rangga.

Singkatnya, Campbell Macfie melakukan reservasi di hari yang nahas itu, ia menampilkan kesan yang glamour dan kaya raya. Hal itu menarik perhatian Rueben yang diam-diam mengawasi Nyonya Campbell. Rueben saat itu segera memberi tahu Entjim dan Rachman bahwa ia ingin bertemu mereka nanti untuk membicarakan sesuatu yang penting dengan mereka.

"Saat bertemu, dalam kronologi yang diceritakan Entjim, Rueben yang merupakan blasteran Inggris India itu mengutarakan niatnya untuk membunuh dan merampok Nyonya Campbell. Entjim dijanjikan uang sejumlah 200 Gulden oleh Rueben," tutur Rangga.

Kehadiran Sang Pelukis, Istri Walikota Sukabumi

Persidangan Entjim berakhir vonis hukuman penjara seumur hidup atas pembunuhan Nyonya Campbell. Beberapa bulan kemudian persidangan Landraad dilanjutkan guna mengadili Rueben.

"Karena Rueben tidak mahir berbahasa Indonesia, dalam persidangan itu dihadirkan istri Wali Kota Sukabumi untuk menjadi penerjemah karena Rueben hanya bisa berbahasa Inggris," ucap Rangga.

Perempuan itu bernama Anita Rambonet Daponte istri dari Wali Kota Sukabumi pertama George Francois Rambonnet. Mengutip dari situs berbahasa Belanda Javapost.nl, dari sudut pandang linguistik, pertemuan-pertemuan itu pastilah menarik.

"Persidangan seperti ini dilakukan dalam bahasa Belanda, Melayu, Sunda dan sejenisnya, sehingga terdakwa dan saksi dapat didengarkan dalam bahasa lisan mereka sendiri. Terdakwa Rueben selalu menyatakan dirinya tidak bersalah," tulis situs tersebut.

Entjim, yang sekarang menjadi 'musuhnya' menurut Rueben, kala itu telah menciptakan segalanya untuk menjebaknya. Dia tidak tahu apa-apa, karena di sini pun bukti peran terdakwa sudah jelas, Rueben, seperti Entjim, juga divonis penjara seumur hidup.

"Anita yang juga merupakan seorang pelukis, dengan tenang menerjemahkan apa yang diucapkan Rueben di persidangan. Tentu saja Rueben ngotot bahwa ia tidak bersalah. Pria itu ganti menuduh Entjim sebagai otak pembunuhan itu. Akhirnya, seperti halnya Entjim, Rueben juga dijatuhi hukuman penjara seumur hidup," terang Rangga.

Pascavonis tersebut, masyarakat pariwisata Garut bisa sedikit tenang. Namun tetap saja ada yang mengganjal berkaitan motif pembunuhan tersebut. Apalagi yang diambil hanyalah 2 koper tanpa barang-barang berharga seperti perhiasan yang masih utuh tak tersentuh di dekat mayat korban.

"Jika alasan Rueben adalah upaya memperburuk citra Hotel Villa Dolce agar hotel tempatnya bekerja menjadi berjaya, itu juga tak bisa diterima akal karena Rueben hanyalah seorang karyawan biasa dan kondisi hotel tempat Rueben bekerja juga tidak akan diuntungkan jika citra Villa Dolce runtuh sehingga kasus ini menyisakan misteri yang berkepanjangan," pungkas Rangga.

(sya/sud)


Hide Ads