Gang RS Mata tak hanya jadi tempat bermukim bagi warga sekitarnya. Gang yang terletak di Kelurahan Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung ini pernah menyimpan cerita tentang sebuah tekad yang begitu tinggi dari seorang disabilitas sensorik netra melawan kemustahilan yang dialaminya.
Cerita itu dialami seorang anak asal Brebes, Jawa Tengah yang pernah menjalani pengobatan di RS Mata Cicendo. Saat pertama kali datang berobat, anak tersebut masih belia. Namun cobaan hidupnya saat itu sudah 'dewasa'.
Baca juga: Harapan yang Ikut Singgah di Gang RS Mata |
Sang anak beserta orang tuanya kemudian menyewa penginapan di rumah Tatang Suherman (57). Namun, Tatang sudah tidak mengingat lagi tahun berapa anak tersebut kemudian singgah di penginapan miliknya. Yang hanya ia bisa ingat, anak tersebut saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya lupa tahunnya, waktu itu masih kecil anaknya. Saya suka gendong, suka ngajak main. Sama orang tuanya juga udah akrab," kata Tatang mengingat kembali momen tersebut saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.
Ketika datang berobat ke RS Mata, anak bernama Tion Iswanto itu sayangnya terbilang terlambat untuk mendapat penanganan. Dia kemudian divonis dokter mengalami kebutaan, yang membuat sang anak kehilangan penglihatan untuk selamanya.
Tion, kata Tatang, saat itu memang masih berusia belia. Praktis, ia belum bisa meluapkan kesedihan saat divonis dokter mengalami kebutaan untuk selamanya. Namun tidak bagi orang tuanya yang merasakan kepedihan begitu mendalam.
Sebagai orang tua yang sama-sama punya anak berumuran sebaya dengan Tion, Tatang lalu mencoba ikut menguatkan keluarga mereka. Keajaiban pun akhirnya muncul ketika dokter menyarankan Tion supaya disekolahkan ke Wyata Guna di Kota Bandung yang saat itu menjadi pusat pendidikan terpadu bagi disabilitas sensorik netra.
"Jadi disaranin sekolahnya ke Wyata Guna, jangan pulang lagi ke Brebes. Istri akhirnya yang ngater-nganter ngurus sekolahnya," ucap Tatang.
Ketika disarakan oleh dokter, orang tua Tion awalnya terbilang bimbang. Bagaimana tidak, mereka harus terpisah jauh dengan sang anak yang notabene masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Tapi akhirnya, Tatang berhasil meyakinkan orang tua anak tersebut. Setelah dikuatkan, mereka mengambil keputusan berani dengan memasukkan Tion ke Wyata Guna supaya masa depannya masih bisa diarahkan.
Selama mengenyam pendidikan di Bandung, Tatang otomatis menjadi orang tua angkat bagi Tion. Yang tak pernah disangka olehnya, Tion justru menjelma menjadi anak berbakat dan bisa berprestasi di tengah keterbatasannya.
"Sekarang kan udah dewasa umurnya, Alhamdulillah udah sukses. Dia punya prestasi, sampe disekolahin ke Jepang dan sekarang jadi pendakwah dan pernah juara catur," ungkap Tatang.
Satu momen yang paling berkesan di diri Tatang kala mengajak Tion bermain ke Bandara Husein Sastranegara. Saat penglihatan Tion masih berfungsi meski tak 100 persen, anak itu kemudian diajak untuk melihat pesawat yang melintas di langit Kota Kembang.
Ternyata, momen ini merupakan momen yang tidak pernah dilupakan Tion sampai sekarang. Ketika bertemu dengan Tatang, Tion selalu bercerita kenangannya bisa melihat pesawat, yang sekaligus menjadi penglihatan terakhirnya sebelum mengalami kebutaan.
"Anaknya suka inget ke saya, pengen ketemu tapi sayanya sibuk terus. Kalau dia cerita, katanya inget pas digendong liat pesawat di Husein. Dia bilangnya saya mah enggak akan lupa sama waktu itu sama Pak Tatang."
Tatang dan Tion terakhir kali bertemu pada medio tahun 2020-an. Dia sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa dengan segudang prestasi yang membanggakan. Tion bahkan pernah ditawari untuk bekerja di salah satu bank. Namun, ia lebih memilih mengabdi di Wyata Guna sekaligus menjadi pendakwah yang mengajarkan ilmu agama.
Selama menceritakan kisah hidup Tion, Tatang terlihat begitu bangga setiap kali mengisahkan perjuangan hidup anak asal Brebes tersebut. Meski orang tuanya sempat dilanda keputusasaan karena sang anak harus mengalami beban yang berat, tapi kini, Tion akhirnya menjelma menjadi anak kebanggaan untuk orang tuanya.
"Saya kalau ada yang sukses begitu jadi ikut ngerasa bangga. Kalau sembuh memang enggak, tapi akhirnya dia bisa memiliki potensi lain yang berprestasi. Coba kalau dibawa balik ke rumahnya di Brebes, kemungkinan dia enggak bisa survive. Jadi ikut bangga lah intinya mah," pungkasnya.
(ral/orb)