Kurangnya askes terhadap pengetahuan layanan kesehatan, menjadi salah satu faktor penyebab kematian janin di Indonesia terbilang masih cukup tinggi. Tak hanya itu, pendeteksian yang terlambat, hingga pandemi COVID-19 yanh berlangsung hampir tiga tahun juga sempat menjadi penghalang bagi para ibu untuk memeriksakan janinnya ke fasilitas kesehatan.
Berangkat dari keprihatinan itu, Universitas Padjadjaran (Unpad) mengembangkan sebuah alat pendeteksi kondisi kesehatan janin yang dinamai Detect Me.
Pakar Kesehatan sekaligus Wakil Dekan II Fakultas Keperawatan Unpad Restuning Widiasih mengatakan, tidak seperti alat yang biasa digunakan di klinik, rumah sakit, dan faskes lainnya, Detect Me dibuat dengan ukuran cukup kecil sehingga mudah dibawa ke mana-mana alias portabel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penggunaannya juga relatif mudah karena alat ini dapat terhubung ke smartphone secara wireless (nirkabel). Alhasil, para ibu dapat langsung memantau denyut jantung dan pergerakan janin mereka dengan membuka aplikasi di smartphone," kata Restuning dalam keterangan tertulis yang diterima detikJabar, Sabtu (20/1/2024).
Tak hanya itu, alat ini juga sudah berbasis Internet of Things (IoT) dalam kinerja perangkat ini Restu dasarkan pada tingginya penetrasi penggunaan smartphone di Indonesia.
"Teknologi (smartphone) ini sebenarnya sudah dekat dengan masyarakat Indonesia. Jadi, terkait ada sinyal (atau) enggak, nanti (aksesnya) susah atau enggak, bagaimana (cara) mendeteksinya, rasanya itu sudah bukan masalah besar di Indonesia," ungkapnya.
Restu sapaan karib Restuning menuturkan, perangkat ini tidak hanya bermanfaat bagi para ibu hamil yang sulit mengakses layanan kesehatan saja, tetapi juga bagi mereka yang kehamilannya berisiko tinggi.
"Berhubung sebagian dari mereka tidak dirawat di rumah sakit, keberadaan Detect Me di rumah dapat membantu mereka memantau keadaan janin dalam kandungannya dengan cepat dan praktis," tuturnya.
Menurut Restu, terdapat lima tahapan yang perlu dilewati sebelum Detect Me dapat diproduksi dan digunakan oleh masyarakat umum. Saat ini, proses pengembangan alat tersebut masih berada pada tahap pertama, yaitu pengecekan kemampuan alat untuk membedakan denyut jantung ibu dan janin, serta perancangan aplikasi.
Bila tahap pertama sudah berhasil dilewati, proses pengembangan akan beralih ke tahap kedua di mana perangkat mulai disambungkan ke aplikasi smartphone secara wireless.
"Setelah itu, perangkat akan terus dimodifikasi hingga ukurannya menjadi makin kecil dan makin portabel. Jika pengembangannya sudah mencapai tahap final, perangkat akan melewati berbagai pengujian sebelum dapat diproduksi secara massal," jelasnya.
Restu membuat alat ini tidak sendirian. Dia bekerja sama dengan pakar-pakar dari berbagai institusi lainnya, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Telkom University, dan RSHS Bandung.
Detect Me masih membutuhkan waktu cukup panjang hingga muncul di pasaran. "Untuk ditemukannya, sampai ibaratnya di layanan kesehatan atau di market, mungkin membutuhkan waktu dua sampai tiga tahun lagi. Dua tahun lah mungkin, ya, karena prosesnya memang kita masih terus mencari yang betul-betul aman, betul-betul portabel, betul-betul mudah untuk digunakan," terangnya.
Detect Me diciptakan untuk membantu memecahkan masalah keterbatasan alat medis di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) di Indonesia.
Restu menyebut, sudah ada mitra industri yang bersedia bekerja sama dengan pihak peneliti untuk mendistribusikan Detect Me ke toko-toko kesehatan. Selain itu, tim peneliti juga merencanakan diseminasi alat tersebut kepada lembaga-lembaga pemerintahan, serta LSM yang berfokus pada bidang kesehatan ibu dan anak, agar alat itu dapat dengan mudah diakses masyarakat melalui faskes-fakses di sekitar mereka.
Dari perhitungannya saat ini, jika dipasarkan alat ini ada di kisaran harga Rp1 juta ke atas. Meski demikian, hal itu tidak menjadi penghalang bagi para ibu hamil untuk menggunakan alat tersebut di rumah. Atas kendala ini, Restu dan timnya mempertimbangkan solusi berupa sistem peminjaman bagi ibu yang kehamilannya berisiko tinggi.
"Kita juga sudah mempertimbangkan ke depannya, apakah alat ini harus dimiliki atau bisa dipinjamkan. Jadi, tidak selalu juga ibu-ibu tuh harus beli, kemudian mengeluarkan uang. Bisa juga, ini menjadi bagian dari fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia, di mana ibu-ibu yang berisiko tinggi hamilnya ataupun janinnya, itu dipinjamkan alat supaya ketika dia di rumah, dia tetap bisa memantau," pungkasnya.
(wip/tey)