Tepat pada Kamis (4/1/2024) lalu, seekor burung Elang Jawa betina dilepasliarkan di kawasan Gunung Gede Pangrango. Tujuannya agar Elang Jawa yang bernama Kalina itu dapat berkembangbiak dan menambah populasi Elang Jawa.
Terlepas dari kisah Bartels yang meneliti burung Elang Jawa, ada kisah cinta yang meliputi perjalanan Bartels. Pria yang lahir pada 24 Januari 1871 di Kota Bielefeld, Jerman ini menikahi seorang wanita bangsawan asal Belanda.
Sejarah mencatat, MEG Bartels menikah dengan Angeline Cardine Henriette Maurenbrecher. Wanita bangsawan itu merupakan seorang pelukis yang karyanya dipajang di National Museum of Natural History Leiden, Belanda bersamaan dengan dokumen dan hasil penelitian Bartels.
Cicit MEG Bartels, Mita M. Fatmita mengatakan, ada cerita kisah cinta antara MEG Bartels dengan Angeline yang diturunkan dari nenek moyangnya. Dia mengatakan, percintaan mereka sempat ditentang lantaran perbedaan derajat sosial.
"Dulu nggak direstui, nggak boleh sama orang tuanya uyut (Angeline), itu cerita yang saya dengar dari nenek moyang kan dia turunan bangsawan Belanda," kata Mita kepada detikJabar beberapa waktu lalu.
![]() |
Lebih lanjut, karena sudah terlanjur cinta namun terhalang restu orang tua, Angeline pun nekat untuk loncat ke dalam sebuah sumur. Tak disangka, sumur itu ternyata dangkal.
"Karena dia cinta terus nggak boleh sama orang tuanya, nyemplungin diri ke sumur. Sepertinya sumur itu dangkal, barangkali dia nyemplung ke sumur masih bisa diangkat," ujarnya.
Akhirnya, mereka pun mendapatkan restu untuk menikah. "Diperbolehkan menikah daripada bunuh diri beneran," kata Mita.
Dari pernikahan keduanya, mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Dr. Max Bartels Jr (1902-1943), Ernst Bartels (1904-1976), dan Hans Bartels (1906-1997). Dr. Max Bartels Jr menikah dengan seorang pribumi bernama Ipitsari A.
Dr. Max Bartels dan Ipitsari melahirkan dua orang anak. Namun salah satu anaknya meninggal dunia dan menyisakan Ieceu Mariati yang tak lain merupakan ibunya Mita M. Fatmita.
Kenangan Anak Bartels
Ieceu Mariati, wanita yang sudah berusia 87 tahun itu masih mengingat samar-samar sebelum ayahnya Max Bartels pergi ke Burma. Dia mengatakan, sehari sebelum ayahnya pergi, tentara Jepang datang ke rumahnya di Pasir Datar, Sukabumi.
"Saya lagi duduk di teras dan ada tentara datang ke rumah ketuk pintu. Di dalam ada papi dan mami lagi ngobrol," kata Ieceu.
Ieceu yang saat itu berusia 5 tahun tak tahu apa isi obrolan mereka. Namun, dikutip dalam laman resmi Gunung Gede Pangrango dijelaskan, kedatangan tentara Jepang pada tahun 1941 itu diduga untuk mengirim Max Bartels ke Burma untuk membangun jalan kereta api.
"Besok paginya baru berangkat. Papi naik delman dan bawa tas," ujarnya.
"Tidak (dipaksa) kan papi mah ilmuwan, jadi bukan orang brutal dan papu mungkin pegang janji. Pergi sendiri naik delman. Terakhir itu," sambungnya.
Itu menjadi kenangan terakhir Ieceu bersama ayahnya, Max Bartels. Setelahnya, Ieceu dan ibunya tak pernah lagi bertemu dengan Max Bartels. Hingga akhirnya sekitar tahun 1943, keluarganya menerima paneng atau sebuah tanda identitas seorang internir.
"Papi juga nulis surat, sudah menyerahkan diri kepada Allah. Cuma sayang kita nggak tahu dia sudah masuk Islam atau belum, peninggalannya surat itu aja," tambahnya.
Sekedar informasi, selain menemukan Elang Jawa, keluarga Bartels juga penemu 21 spesies, baik berupa burung, kelelawar, dan tikus. Tujuh di antaranya masih dalam Red List IUCN (daftar merah spesies terancam). (mso/mso)