Keseruan Mahasiswa Cianjur Belajar Tangkal Hoaks di Era AI

Keseruan Mahasiswa Cianjur Belajar Tangkal Hoaks di Era AI

Siti Fatimah - detikJabar
Selasa, 19 Des 2023 14:27 WIB
Keseruan detikJabar Goes to Campus di UNPI, Cianjur, Selasa (19/12/2023).
Keseruan detikJabar Goes to Campus di UNPI, Cianjur, Selasa (19/12/2023). Foto: Wisma Putra/detikJabar
Cianjur -

Ratusan mahasiswa yang berasal dari fakultas llmu komunikasi, teknik, manajemen, komunitas media online hingga siswa SMA sederajat tampak antusias mengikuti acara detikJabar Goes To Campus di Universitas Putra Indonesia (Unpi), Kabupaten Cianjur, Selasa (19/12/2023). Acara tersebut bertajuk 'Cianjur Gempur Hoaks di Era AI.'

Di sana mereka mendapatkan materi terkait macam-macam hoaks, cara menanggapi berita hoaks hingga ancaman baru informasi hoaks di era teknologi kecerdasan buatan (AI). Materi tersebut disampaikan oleh Asisten Redaktur detikJabar Yudha Maulana.

Pada sesi awal, mahasiswa disajikan dengan tayangan video saat Rektor Unpi Dr Astri Dwi Andriani memberikan sambutan yang diubah menggunakan teknologi AI. Sejurus, suara Rektor Unpi berubah menjadi berbahasa Korea yang asalnya berbahasa Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Video tersebut menjadi salah satu contoh hasil teknologi AI yang disajikan Yudha Maulana. Dia mengatakan, hanya butuh waktu kurang dari dua menit untuk mengedit video tersebut.

"Bisa dibayangkan begitu mudahnya memanipulasi video. Seserius itu teknologi AI," ujar Yudha usai memperlihatkan video tersebut.

ADVERTISEMENT

Sebelum menjelaskan mengenai kecerdasan buatan, Yudha menerangkan terlebih dahulu mengenai hoaks. Menurutnya, hoaks atau misinformasi adalah informasi yang salah. Seringkali orang yang menyebarkannya pun tak menyadari jika informasi yang disebarkannya salah.

"Hoaks biasanya satire atau buat lucu-lucuan. Misalnya seperti gambar Presiden Jokowi memberikan minyak goreng saat balapan MotoGP Indonesia. Sebenarnya sedang memberikan piala cuma saat itu sedang diterpa isu mahalnya minyak goreng," katanya.

Selain konten satire, hoaks juga biasanya menjadi konten tiruan yang seolah-olah berasal dari sumber asli. Contohnya, kata dia, seperti pesan berantai Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui WhatsApp yang menyatakan jika penerima pesan sebagai pemenang hadiah.

"Si konten tiruan ini kalau mau mengklaim hadiah harus meng-klik tautan. Kalau teman-teman menemukan yang seperti ini, teman-teman bisa melihat alamat situsnya. Kalau berasal dari sumber resmi pemerintah maka domainnya .go.id (dot go dot id) kalau akademiki ac.id, sekolah sch.id," ujarnya.

Dia menjelaskan, biasanya jika penerima pesan nekat mengklik tautan itu maka akan ada permintaan pengisian data pribadi. Data tersebut, kata dia, dapat disalahgunakan dengan tujuan negatif.

"Sebaiknya jangan diklik, itu fishing atau pencurian data digital," tuturnya.

Yudha mengatakan, hoaks juga disebut sebagai konten menyesatkan. Biasanya, kata dia, judul berita dalam media massa sering diedit dan mengandung kalimat-kalimat emosi, seruan hingga propaganda.

"Bisa menggunakan Mafindo (masyarakat anti fitnah Indonesia), jadi kalau kita tanya ke sana itu akan memberikan jawaban kalau info itu hoaks. Cara kedua, bisa mencari di google dengan kata kunci berita, jika tidak ada maka dipastikan hoaks," katanya.

Jenis hoaks lainnya disebut false connection. Yudha menjelaskan, jenis informasi hoaks ini biasanya identik dengan potongan-potongan video yang digabungkan. Padahal menurutnya, fakta merupakan satu keutuhan.

"Semua serba tidak nyambung, gambar, tanggal editan. Konten hoaks ini biasanya dia menggabungkan beberapa konten video dijahit. Fakta digabung dengan fakta itu bisa menjadi hoaks, fakta digabung dengan hoaks itu hoaks. Fakta itu berdiri sendiri dan utuh," jelasnya.

Lalu mengapa hoaks bisa tersebar luas?

Yudha mengatakan, alasan hoaks mudah tersebar karena adanya rasa keinginan manusia sebagai partisipan. Kemudian pengakuan atau eksistensi, misalnya ingin menjadi orang pertama yang menyebarkan informasi tanpa berhati-hati.

Ada juga yang menyebarkan hoaks demi keuntungan. Mereka disebut buzzer. Bahkan, penghasilan buzzer bisa mencapai dua digit.

"Ada penelitian harvard, mengenai profesi buzzer di Indonesia pada tahun 2019. Dia (pelaku) buzzer menyebar hoaks nggak peduli siapa yang menang dan kalah, yang jelas dia dibayar, dibayarnya dari Rp2 juta sampai Rp50 juta. Cukup lumayan tapi tidak hanya digunakan politik saja, beberapa lembaga juga menggunakan (buzzer) untuk memanipulasi citra," katanya.

Selain itu, hoaks menyebar karena menjadi alat provokasi atau propaganda dari dua kelompok yang bertikai. Sebuah survei menyebutkan potensi hoaks menyebar dibandingkan informasi fakta sebanyak 70 persen

"Fakta enam kali lebih lambat menyebar daripada hoaks. Klarifikasi atau cek fakta pun tak dibagikan penyebar hoaks. Dampak dari hoaks dalam konteks pemilu, hoaks bisa membunuh karakter dari kontestan Pemilu di suatu daerah dan menimbulkan ketidakpercayaan kepada penyelenggara dalam hal ini KPU atau Bawaslu," jelas Yudha.

Belum selesai dengan informasi bohong (hoaks) masyarakat Indonesia dihadapkan dengan penantang baru yaitu kecerdasan buatan (AI). Dia menyebut, kecerdasaran buatan itu diproses oleh mesin komputer.

"AI simulasi dari kecerdasan manusia yang diproses oleh mesin. Khususnya sistem komputer. Google maps juga salah satu bentuk dari AI jadi jangan berpikir AI itu sesuatu yang rumit," ucapnya.

"Dia (AI) bisa menghasilkan konten gambar, suara, video bahkan tulisan. AI itu simulasi dari kecerdasan manuasia. Kalau kita menemukan konten AI, kalau ada kejadian (menghebohkan) cek media massa karena mereka (media massa) pasti akan sibuk memberitakan. Kalau ada gambar heboh tapi tidak ada di media massa berarti hoaks," tutupnya.

(sud/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads