Keluarga pasien bayi 1,5 kg meninggal dunia akibat dugaan malpraktik di sebuah klinik di Tasikmalaya mengungkapkan temuan baru terkait kasus ini.
Beberapa saat setelah bayi malang itu dilahirkan, sempat dijadikan bahan konten. Dalam keadaan plasenta atau tali ari-ari belum dipotong, bayi itu direkam oleh tenaga kesehatan di klinik tersebut. Rekaman video memperlihatkan tali ari-ari yang cukup panjang itu dibentuk menyerupai hati atau lambang cinta.
"Di periode sekitar 1,5 jam setelah dilahirkan, nakes di klinik tersebut malah melakukan sesi pengambilan video dengan tali ari-ari bayi belum dipotong, lalu tali ari-ari disusun membentuk logo cinta dengan editan musik pengantar. Ini ironis karena dalam keadaan bayi BBLR (berat badan lahir rendah), bukannya segera ditangani malah dijadikan bahan konten," kata Taufiq Rahman, kuasa hukum Anisa dan Erlangga, orang tua bayi tersebut, Senin (11/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Taufiq mengatakan, video itu diambil tanpa seizin pihak keluarga. Pihak keluarga sendiri mengetahui adanya aksi tersebut setelah pihak klinik mengirimkan video itu kepada orang tua bayi. "Jadi jika pengambilan foto dilakukan pada pagi hari, video ini diambil tak lama setelah bayi dilahirkan," kata Taufiq.
Dia mengatakan, pihaknya dalam beberapa hari terakhir melakukan investigasi terkait masalah ini. "Karena Majelis Adhoc tak kunjung mengumumkan atau memberikan hasil investigasnya, padahal sudah 14 hari, maka kami memilih menyampaikan hasil investigasi kami kepada publik," kata Taufiq.
Dari hasil investigasi yang dilakukannya, diketahui bayi laki-laki itu lahir dengan bobot 1,7 kilogram. Kondisi bayi pada saat 2 jam pertama setelah dilahirkan dalam kondisi saturasi oksigen rendah atau berada di angka 89. Selain itu ditemukan juga retraksi di dada atau kondisi yang menunjukan kesulitan bernafas serta ada kebiruan di sekitar mulut dan area kuku.
"Di video yang kami dapatkan terlihat jelas bahwa bayi mengalami kesulitan bernafas atau retraksi di dada," kata Taufiq.
Jika merujuk standar operasional prosedur, kata Taufiq, maka seharusnya pihak klinik segera merujuk bayi itu ke rumah sakit. "SOP perawatan neonatus berisiko tinggi kewenangan perawatannya oleh dokter spesialis di fasilitas kesehatan lanjutan, bukan di klinik pratama. Harusnya dirawat di NICU," kata Taufiq.
Keputusan klinik memulangkan bayi itu juga menurut Taufiq melanggar SOP, karena pemulangan bayi dalam kondisi seperti itu idealnya harus menjalani perawatan minimal 3 hari.
"SOP pemulangan neonatus berisiko tinggi diantaranya menjalani cek laboratorium, stabilisasi suhu tubuh, pernafasan, berat badan dan nutrisi serta perawatan minimal 3 hari," kata Taufiq.
Atas temuan dan hasil investigasi tersebut, pihaknya mengaku, semakin yakin bahwa dalam perkara ini terjadi dugaan malpraktik sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan. "Kami juga sudah menyampaikan temuan kami ini kepada pihak kepolisian sebagai bahan masukan, kami meyakini telah terjadi malpraktik dalam kasus ini," kata Taufiq.
Selain mengadukan soal malpraktik, Taufiq juga mengatakan, pihaknya melaporkan pihak klinik dengan dugaan membuka atau menyebarkan data pribadi pasien. Dia memaparkan pelaporan ini berawal dari pihaknya yang berusaha meminta akses untuk melihat rekam medik yang menjadi hak pasien, namun ditolak oleh pihak klinik. Tapi saat menggelar audiensi dengan DPRD, pihak klinik justru menyebarkannya kepada para anggota DPRD.
"Ini lucu, ketika kami sebagai pasien meminta informasi rekam medik ditolak oleh klinik, tapi saat rapat di DPRD pihak klinik justru menyebarkannya kepada anggota DPRD dan pihak lain yang hadir. Makanya pelaporan kami yang kedua adalah tentang dugaan membuka dan menyebarkan data pribadi," kata Taufiq.
Sebelumnya Kepala Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya Uus Supangat mengatakan, proses investigasi yang dilakukan oleh Majelis Adhoc memang sudah selesai melakukan tugas. Namun masih ada tahapan yang sedang dilakukan oleh Dinas Kesehatan terkait hasil investigasi itu.
"Majelis Adhoc atau penegak disiplin sudah selesai, dokumennya sudah kami terima. Memang masa kerjanya 14 hari. Sekarang sedang berproses di tahap berikutnya, sedang kami lihat lagi hasil rekomendasinya," kata Uus, Senin (11/12/2023).
Dinas Kesehatan juga akan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait mengenai hasil rekomendasi Majelis Adhoc, sehingga sanksi atau langkah yang akan diambil bisa sesuai dengan aturan.
"Dinas kesehatan tinggal melakukan tahapan berikutnya. Langkah selanjutnya kita berkoordinasi dengan IBI (Ikatan Bidan Indonesia) berkenaan kode etik dan juga bila dipandang perlu berkoordinasi dengn OPD lain yang bersangkutan. Tahapan ini harus kita tempuh supaya masing-masing pihak bisa mendapatkan apa yang diharapkan, masing masing mendapatkan haknya," kata Uus.
Terkait materi hasil investigasi dan rekomendasi Majelis Adhoc, Uus mengaku belum bisa membeberkannya kepada publik, dengan alasan khawatir mengganggu proses yang sedang berjalan, termasuk proses hukum di kepolisian.
"Karena dari pihak keluarga sudah lapor ke polisi, kita juga harus hati-hati menyampaikan hasil dari majelis ini. Karena dikhawatirkan mengganggu proses yang sedang berjalan. Makanya kita selalu berkoordinasi jangan sampai terganggu," kata Uus.
Dia juga belum menjelaskan sanksi apa yang akan diberikan kepada klinik atau tenaga kesehatan dalam kasus ini. "Untuk sanksi masih berproses, kita harus komunikasi, kita kan tidak bisa serta merta menjudge, kita harus pertimbangkan betul jangan sampai ada kesalahpahaman. Kami itu Dinas Kesehatan hanya penegakan disiplin," kata Uus.
Uus menegaskan pihaknya sejauh ini sudah bekerja sesuai dengan aturan yang ada dalam penanganan konflik antara pasien dan fasilitas layanan kesehatan ini. "Kita akan independen dan profesional dan mencegah subjektifitas. Harap bersabar, ini sedang beproses, percayalah kepada kami, kami akan bekerja sesuai regulasi yang ada," tegas Uus.
(mso/mso)