Kota Bandung mendapat banyak warisan sejarah dari zaman kolonial hingga Indonesia berhasil merdeka. Museum Konferensi Asia Afrika jadi saksi bisu bagaimana Kota Bandung dianggap begitu spesial, hingga perhelatan penting antar negara diadakan di sini.
Pada 18-24 April 1955, Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika diselenggarakan di Bandung. Konferensi tersebut adalah sebuah pertemuan penting antara pemimpin dan perwakilan dari negara-negara Asia dan Afrika. Tujuannya untuk memperjuangkan kemerdekaan, dekolonisasi, serta kerja sama antarbangsa di kawasan tersebut.
Dilansir dari laman resmi Asian Africa Museum, berakhirnya Perang Dunia (PD) II tak menyelesaikan masalah. Bahkan negara-negara yang bertentangan akibat PD II semakin memanas. Negara jajahan yang mayoritas berasal dari Asia dan Afrika pun terkena imbasnya. Layaknya kasus kemerdekaan yang belum tuntas diberikan, tetapi PD II berakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awalnya, pada 25 April-2 Mei 1954. Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo, memenuhi undangan Perdana Menteri Ceylon (Sri Lanka), Sir John Kotelawala. Dalam undangan itu, Ali Sastroamidjojo bertemu dengan beberapa pemimpin negara Asia dan Afrika lainnya seperti Perdana Menteri U Nu (Birma), Jawaharlal Nehru (India), dan Mohammed Ali (Pakistan). Mereka saling mengutarakan perlunya forum di antara negara-negara Asia dan Afrika.
Konon, pemilihan acara tersebut dilaksanakan di Societeit Concordia (sekarang Gedung Merdeka), karena gedung ini kerap jadi perbincangan para pemimpin negara dan bangsa Asia-Afrika. Mereka tertarik untuk berkunjung ke Kota Bandung.
Her Suganda dalam bukunya yang berjudul Wisata Parijs van Java, menulis bangunan ini dirancang pada tahun 1926 oleh Van Galen Last dan C.P. Wolff Schoemaker. Keduanya adalah Guru Besar pada Technische Hoogeschool te Bandoeng (TH Bandoeng, sekarang Institut Teknologi Bandung - ITB).
Keduanya adalah arsitek berkebangsaan Belanda yang terkenal pada masa itu. Gedung Concordia seluas 7.500 meter persegi itu didesain kental dengan nuansa art deco. Lantainya terbuat dari marmer buatan Italia yang mengkilap, lengkap dengan ruangan tempat minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout.
Pada bagian penerangan dipakai lampu hias kristal yang tergantung gemerlapan. Kala itu memang gedung ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya para elit sosialita Eropa, terutama Belanda, yang tinggal di Bandung dan sekitarnya. Banyak di antara mereka adalah pengusaha kebun teh dan opsir Belanda.
Gedung Concordia kemudian secara berturut-turut dibangun kembali pada tahun 1920 dan 1928. Dalam buku Nostalgia Bragaweg Tempo Doeloe 1930-1950 oleh Sudarsono Katam, tertulis pada tahun 1940, arsitek Albert F. Aalbers ditunjuk untuk melakukan renovasi bangunan Societeit Concordia dan mengubah bentuk bangunan dengan unsur lengkung pada fasad dindingnya.
Kemudian, baru pada tahun 1954 gedung Societeit Concordia kembali dipugar untuk persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Terjadi perubahan besar pada jumlah dan tata letak ruang di bagian dalam gedung Concordia baik di bangunan yang dulunya berfungsi sebagai Societeit maupun Schouwburg.
Konferensi Asia Afrika 1955 yang merupakan tonggak terbesar keberhasilan politik luar negeri Indonesia, akhirnya digelar di Gedung Concordia, Bandung. Maka acara itu juga tak jarang disebut sebagai Konferensi Bandung.
Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan dari 29 negara Asia dan Afrika, yang mayoritas merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan kolonial. Dihelatnya konferensi ini sebagai wujud memperjuangkan prinsip-prinsip kemerdekaan nasional, perdamaian dunia, dan kerjasama internasional.
Presiden Soekarno menunjukkan pada dunia bahwa perwakilan 29 negara yang datang ke Bandung memiliki ragam bahasa, agama, ras dan ideologi negara yang berbeda. Hal itu tak menghalangi gelaran KAA. Inilah yang disebut sebagai kesatuan dalam perbedaan.
Sang Proklamator kemudian mengusulkan perubahan nama menjadi Gedung Merdeka. Disadur dari Koran Gereformeerd Gezinsblad edisi 16 April 1955, atau yang terbit dua hari sebelum pelaksanaan KAA, menuliskan soal Soekarno telah mengubah nama Gedung Concordia menjadi Merdeka.
Selain Gedung Merdeka, penyelenggaraan KAA dilakukan pula di Gedung Pensiun yang kemudian dinamakan Gedung Dwiwarna (sekarang Gedung Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jabar).
Pada saat yang sama, dilakukan pula perubahan nama jalan di depan Gedung Merdeka dari semula Jalan Raya Barat menjadi Jalan Asia-Afrika. Pada zaman penjajahan Belanda, jalan tersebut dinamakan Groote Postweg (Jalan Raya Pos).
Dalam koran tersebut juga tertulis sekitar 600 orang sibuk menyelesaikan renovasi Gedung Merdeka yang disiapkan untuk konferensi. Bahkan tertulis juga soal ritual penguburan kepala kerbau di gedung merdeka saat prosess renovasi untuk persiapan KAA. "Terkubur di bawah lantai adalah kepala kerbau yang dipenggal. Itu harus mencegah penyakit dan kecelakaan," tulis koran tersebut.
Sementara itu, Koran Volkskrant edisi 9 April 1955 menyebutkan 600 pekerja itu menggelar syukuran perubahan nama Gedung Concordia menjadi Merdeka. 600 pekerja itu bersujud menghadap kiblat dan memohon perlindungan untuk gelaran KAA.
Ada salah satu trivia dalam helatan megah ini. Colenak, jajanan dari Kota Bandung menjadi salah satu makanan hidangan. Diceritakan dalam buku Konferensi Asia Afrika di Indonesia - Seri II terbitan Pusat Data dan Analisa TEMPO, makanan colenak bahkan sampai menjadi makanan hidangan untuk para tamu Negara.
Kala itu utusan dari Gedung Merdeka datang ke Colenak Murdi Putra untuk membeli 100 pincuk colenak yang dibungkus daun pisang. Pada tahun 1955 kala itu harga colenak per pincuknya Rp 7,5 kemudian dibungkus daun pisang manggala. Colekan Aki Murdi di Kota Bandung memang terkenal sejak tahun 1930 hingga sekarang.
Hingga kemudian tempat bersejarah itu diusulkan menjadi sebuah museum oleh Menteri Luar Negeri, Mochtar Kusumaatmadja. Gagasan ini diwujudkan Dirjen Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri Joop Ave yang ditunjuk menjadi ketua harian panitia.
Museum Konferensi Asia-Afrika diresmikan Presiden Soeharto pada puncak peringatan Konferensi Asia-Afrika Ke-25 tanggal 24 April 1980 di Bandung. Museum ini memiliki berbagai artefak, foto, dokumen, dan benda-benda bersejarah terkait konferensi. Tidak hanya menampilkan sejarah Konferensi Bandung itu sendiri, tetapi juga menggambarkan konteks sosial, politik, dan budaya pada saat itu.
Tertulis pada fasad gedung, 'Museum Konperensi Asia Afrika'. Museum ini memiliki tujuan menyebarkan pengetahuan tentang peristiwa bersejarah kepada generasi muda dan masyarakat umum. Bangunan Museum KAA menempati bangunan sayap kiri Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika No.65, Braga, Kec. Sumur Bandung, Kota Bandung. Kedua bangunan itu merupakan bangunan tua yang dilindungi.
(aau/orb)