Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung belum lama ini menjelaskan bakal mengganti halte yang tidak terurus menjadi stop sign, atau rambu dilarang setop sementara terkait wacana Bus Rapid Transit (BRT) bakal dibangun halte baru yang representatif.
Wacana soal penggantian stop sign pun dikritisi oleh sejumlah anggota komisi di DPRD Kota Bandung. Mereka menanti-nanti aksi nyata yang bisa dirasakan warga Bandung dalam waktu dekat ini.
Anggota Komisi D DPRD Kota Bandung Yoel Yosaphat menyebut, pihaknya belum menerima detail ajuan anggaran halte menjadi stop sign. Selain itu, menurutnya fungsi stop sign kurang bisa dirasakan manfaatnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tetap ya harusnya ada (halte). Tapi halte ini tuh agak rumit sih, mereka bilangnya pengen ngajuin anggaran. Tapi kita (badan anggaran) melihat, emang halte ini bakal kepakai lagi? Orang sopirnya aja kejar setoran? Nanti nggak kepake lagi. Dishub ini dalam kondisi berat untuk memperbaiki kepadatan lalu lintas yang begitu macet di kota Bandung," ucap Yoel yang juga merupakan anggota Badan Anggaran DPRD.
Ia menilai, perlu ada strategi khusus untuk menyelesaikan permasalahan transportasi. Wacana dari pemerintah pusat memang boleh jadi alternatif, tapi bukan satu-satunya solusi. Kata dia, Pemkot Bandung sebetulnya bisa melakukan pembenahan secara bertahap, dimulai dari transportasi umum yang saat ini dimiliki.
"Apakah jumlah orang yang naik kendaraan umum bisa mengurangi kemacetan? Saya belum lihat datanya. Tapi bagaimana orang bisa pilih bus daripada ojol? Ojek online ini kan juga kendaraan pribadi. Jadi secara signifikan ngefek nggak sih? Kalau misalnya itu (transportasi umum) belum signifikan, berarti ada yang salah. Mungkin cara pengelolaannya, kenyamanan, keamanan, sehingga orang nggak mau pakai itu," ucap dia.
Menurutnya, jika Dishub mampu menerapkan standar yang sama pada semua angkutan umum yakni dirasa nyaman, murah, dan aman bagi warga Bandung, maka bisa dipastikan untuk penerapan ke depannya pun akan menjadi mudah.
"Atau bisa kalau dipakai anggaran, bisa dibuat sistem subsidi. Kota Bandung kan nggak sebesar Jakarta. Jadi perlu ada solusi untuk sistem transportasi. Memang tidak bisa langsung copy dari Jakarta. Tapi perbaikan itu mungkin dilakukan," ujarnya.
Suara serupa juga diungkapkan oleh Anggota Komisi B DPRD Kota Bandung, Christian Julianto Budiman. Ia mengaku sebetulnya menyetujui penggantian stop sign jika halte tak berfungsi optimal.
Tapi menurutnya, pembenahan transportasi harus segera dilakukan terutama pada bus seperti Trans Metro Bandung (TMB). Ia mengaku tak jarang melihat bus tersebut menaik turunkan penumpang di sembarang tempat.
"Kalau diganti stop sign ya saya setuju, tapi kan bukan masalah halte atau stop sign sih kalau menurut saya. Justru yang harus dibenahi adalah sistem transportasi publik secara keseluruhan. Ya kalau sistemnya masih nggak jelas, orang masih bisa naik turun dimanapun, ya nggak ada gunanya juga. Pakai stop sign atau halte ya sama aja," ucap Chris.
Ia pun memberi contoh beberapa bus di luar kota seperti Trans Jogja dan Trans Jakarta. Meski tak mudah, Chris pun berharap kota asalnya ini bisa memiliki sistem transportasi serupa.
Ia berharap, reformasi transportasi publik yang bisa dilakukan Pemkot Bandung, lebih dari sekedar memutuskan mengubah halte menjadi stop sign.
"Kemarin kan udah ada wacana tuh, angkot akan dilebur. Saya sih sangat mendukung. Jadi driver akan digaji, mereka tidak kehilangan pekerjaan, pemilik angkot pun tidak dirugikan. Driver nggak akan kejar-kejaran setoran, nggak akan ngetem, ya lebih nyaman. Saya sangat menanti-nanti pembahasan ini. Kita berharap lah tahun depan mudah-mudahan bisa ada realisasi," harapnya.
Respons Dishub soal Bus Kejar Setoran
Kepala Bidang Angkutan dan Pengujian Kendaraan Bermotor Dishub Kota Bandung, Asep Kurnia menampik soal bus TMB yang suka menaik turunkan penumpang sembarangan. Ia menjelaskan bahwa jika pihaknya bakal melakukan arahan agar hal serupa tak terjadi lagi.
"Tidak ada istilah setoran dalam pengoperasian sistem angkutan umum dengan menggunakan bus. Baik itu TMB atau TMP (Trans Metro Pasundan), karena sistem pengoperasiannya menggunakan sistem BTS atau Buy The Service, sehingga para awak atau pengemudi angkutan umum bus juga sudah mendapatkan gaji yg sesuai dengan UMK," kata Asep saat dihubungi Selasa (5/12/2023).
"Tapi kalau ada temuan seperti itu, kita akan melakukan pembinaan sopir TMB supaya menaik turunkan hanya di halte atau shelter, tidak di pinggir jalan. Mereka sudah digaji sesuai UMK," tambahnya.
Ia pun menambahkan, dalam waktu dekat ini Dishub Kota Bandung bakal berkolaborasi dengan Pemprov Jabar untuk melaksanakan pendataan angkutan umum dan persiapan BRT.
"BRT Bandung Raya saat ini sedang proses penyusunan DED oleh Tim Konsultan dari Dohwa Consultant. Kami sedang menyusun strategi konversi angkutan kota yang terdampak BRT. Konversi angkot ke bus itu betul, nanti sistemnya akan seperti Jaklingko di Jakarta dan sistemnya juga BTS (tidak kejar setoran)," lanjut Asep.
Meskipun begitu, wargi Bandung masih harus bersabar sebab wacana transportasi kota Bandung ini diperkirakan masih menunggu keputusan hingga tahun 2024.
(aau/sud)