KH Abdul Chalim resmi didaulat mendapat gelar pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun ini. Anugrah tersebut diberikan pada saat peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2023.
Abdul Chalim mendapat gelar tersebut bersama lima nama lainnya dari seluruh Indonesia. Oleh karena itu, penganugerahan gelar tersebut tidak diberikan secara sembarangan.
Lantas kenapa Abdul Chalim bisa mendapat gelar tersebut? Apa kontribusinya untuk bangsa?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, Abdul Chalim merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) asal Kabupaten Majalengka. Dari kacamata keluarga, Abdul Chalim merupakan sosok pejuang yang sederhana.
"Abah emang seorang pejuang. Dia tanpa lelah berjuang ke mana-mana. Dia sederhana orangnya," kata salah satu cucu Abdul Chalim, Ade Toyibah, belum lama ini.
Selama masih hidup, Abdul Chalim merupakan seorang 'petualang'. Di setiap tempat yang disinggahinya, Abdul Chalim kerap meninggalkan jejak. Salah satu jejaknya yang paling banyak adalah lembaga pendidikan.
Di tanah kelahirannya (Majalengka), Abdul Chalim mendirikan Pondok Pesantren Amanatul Ummah 02. Saat ini pondok tersebut diasuh oleh Prof KH Asep Saifuddin Chalim.
"Tahun 14 (1914) melakukan perjalanan ke Surabaya, di sana beberapa tahun. Terus pindah ke Semarang. Di Semarang juga perjuangannya banyak," ujar Ade.
"Di setiap tempat pasti mendirikan sekolah. Di Semarang mendirikan sekolah, di Cirebon mengadakan sekolah. Terakhir, karena memang orang-orang mengatakan 'Chalim, hanya kamu yang belum mendirikan pesantren, yang punya lembaga.' jadi akhirnya yang terakhir (mendirikan pesantren di Desa Leuwimunding) di kelahiran sendiri," sambungnya.
Ade menilai, kakeknya itu merupakan sosok yang pekerja keras. Apalagi pada saat masa penjajahan, Abdul Chalim adalah sosok yang gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, jiwa pejuang yang dimiliki oleh Abdul Chalim diwariskan kepada keturunannya.
"Pejuang itu harus ikhlas. Jangan setengah-setengah kalau berjuang. Berjuang, ya terus berjuang, jangan mudah menyerah, pantang mundur. Itu, pemuda (harus) seperti itu. Jadi anak-anaknya ya rata-rata pekerja keras. Karena dalam dirinya sudah terpatri. Pokoknya jangan gampang frustasi, jangan gampang menyerah," ucap dia.
Profil KH Abdul Chalim
Dilansir dari situs NU Online, KH Abdul Chalim lahir di Kecamatan Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat, tahun 1898. Ia adalah putra dari pasangan Mbah Kedung Wangsagama dan Nyai Suntamah.
Masa kecil Kiai Chalim belajar di Sekolah Raja (sekolah umum yang diikuti oleh kalangan tertentu pada masa penjajahan Belanda) selama dua tahun. Selanjutnya, Kiai Chalim melanjutkan pendidikan di Pesantren Barada Mirat Leuwimunding, Pesantren Trajaya, Pesantren Kedungwuni Kadipaten Majalengka, hingga Pesantren Masantren Cirebon.
Abdul Chalim Jadi Pengurus SI
Pada 1914, ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, KH Abdul Chalim menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah Hijaz selama dua tahun. Di sana ia sempat menimba ilmu dari ulama-ulama masyhur, seperti Abu Abdul Mu'thi, Syaikh Ahmad Dayyat, dan Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani yang lebih sohor dengan sebutan Imam Nawawi Banten.
Saat belajar di Hijaz, KH Abdul Chalim bertemu dengan berbagai ulama Nusantara dari berbagai daerah. Beberapa ulama ini kemudian menjadi teman sekaligus gurunya, salah satunya adalah KH Abdul Wahab Hasbullah atau yang lebih dikenal dengan Kiai Wahab Jombang. Saat itu, KH Abdul Chalim juga telah menjadi anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI) Hijaz dan merupakan anggota termuda di sana karena baru berumur enam belas tahun.
Seperti diketahui, SI adalah organisasi para ulama Nusantara yang berorientasi menentang kebijakan-kebijakan pemerintah penjajahan Kolonial Hindia-Belanda di Nusantara. Melalui SI pula, kebijakan-kebijakan pemerintah jajahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat merugikan rakyat ditentang secara konstitusional. Hingga pada gilirannya, para ulama pengurus SI kemudian menggabungkan diri ke Nahdlatul Ulama alias NU.
Kiprah Abdul Chalim di NU
Dalam sejarah NU saat berdirinya Komite Hijaz, Kiai Chalim menjadi komunikator kunci antara para alim ulama seluruh Jawa. Kiai Chalim juga membuat surat undangan serta mengantarkannya ke seluruh Kiai di Jawa untuk menghadiri rapat Komite Hijaz.
Dalam kepengurusan pertama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Chalim menjabat sebagai wakil katib. Berbagai momen penting NU selalu dihadiri oleh Kiai Chalim, termasuk turut gerilya dalam perang 10 November 1945 di Surabaya yang diawali oleh Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'Ari.
Kemudian, pada tahun 1958 Kiai Chalim menjadi pelopor pembentukan Pergunu, badan otonom NU yang menghimpun dan menaungi para guru, dosen, don ustadz. Abdul Chalim wafat pada 11 April 1972.
(mso/mso)