Tanjakan Spongebob tengah jadi buah bibir usai serangkaian insiden melibatkan kendaraan roda dua dan roda empat yang terekam kamera warga hingga viral di media sosial.
Tanjakan itu berlokasi di Kampung Bukanagara, Desa Pagerwangi, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Tanjakan ekstrem itu menjadi jalur alternatif wisatawan dan warga dari Lembang ke Kota Bandung.
Tak banyak yang tahu sejarah di balik terbangunnya jalan yang keberadaannya sangat vital itu. Ternyata ada peran dari seorang warga bernama Emak Rasih, yang mewakafkan sebagian tanahnya untuk pembuatan jalan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi dulu jalan ini hanya jalan setapak, kemudian warga ingin ada akses ke kantor desa. Nah akhirnya nenek saya (Emak Rasih) mewakafkan tanahnya sebagian untuk jalan ini," kata Sayogi (37), cucu Emak Rasih saat ditemui di kediamannya, Selasa (7/11/2023).
Berdasarkan cerita orangtuanya, Emak Rasih mewakafkan tanah untuk jalan itu sekitar 20 sampai 30 tahun yang lalu. Sayogi juga tak tahu pasti berapa panjang tanah yang diwakafkan namun ia hanya ingat lebarnya saja.
"Kalau panjangnya kurang tahu pasti, cuma lebarnya total 2,5 meter. Jadi awalnya minta 1 meter, yang kedua minta 1 meter lagi, terakhir minta 0,5 meter. Itu sesuai kesepakatan dengan warga dan sesepuh kampung di sini," ucap Sayogi.
Emak Rasih sendiri punya tanah di Kampung Bukanagara itu sekitar 100 tumbak atau setara 1.400 meter persegi. Di sebelahnya ada tanah adik dari Emak Rasih dengan luas yang tak jauh berbeda.
"Jadi memang ini tanahnya perkebunan, makanya dulu nggak ada jalan hanya jalan setapak. Sebagian sudah diwakafkan, terus ada juga yang sudah dijual," tutur Sayogi.
PBB Tanah Masih Dibayar Keluarga Emak Rasih
Namun ada satu hal yang dikeluhkan oleh pihak keluarga Emak Rasih. Berkaitan dengan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang puluhan tahun masih dibayar keluarga Emak Rasih.
Sayogi mengatakan hal itu baru terungkap sekitar 2 tahun lalu. Sebab sejak awal tanah diwakafkan, keluarga tak tahu bagaimana nasib sertifikat tanah tersebut.
"Jadi dari awal itu, kita nggak tahu kalau sertifikatnya masih satu, ikut ke induknya. Belum ada pemisahan sertifikat tanah, ini buat jalan, ini yang sudah dibeli, ini yang punya keluarga saya. Jadi masih satu, atas nama Emak Rasih," kata Sayogi.
Imbasnya, ia dan keluarga harus membayar PBB tanah tersebut secara utuh selama puluhan tahun. Hal itu membuat keluarga merasa keberatan dan minta segera ada penyelesaiannya.
"Jadi kita juga baru tahu, kenapa tanah keluarga yang sisa 80 tumbak, tapi bayar PBB lumayan mahal, sekitar Rp500 ribu per tahunnya. Ternyata, kita itu bayar PBB tanah utuh, jadi 100 tumbak. Jadi jalan sama tanah yang sudah dijual itu masih kita yang bayar," kata Sayogi.
Ia sudah pernah mendatangi Kantor Desa Pagerwangi untuk mengurus masalah tersebut. Namun sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.
"Kita sudah pernah datang, sudah mau urus soal itu. Cuma memang sampai sekarang belum ada penyelesaiannya. Inginnya ya segera dipisahkan sertifikatnya, jadi PBB itu nanti dibayarkannya sama pihak desa," kata Sayogi.
Sayogi mengaku, bahwa keluarga tak punya niatan lain selain memisahkan sertifikat tanah yang masih menjadi hak keluarga serta tanah yang sudah diwakafkan dan dijual.
"Keluarga nggak berani menuntut tanah yang buat jalan ini dibayar, cuma ingin PBB-nya saja jadi tanggungan pihak desa. Memang dari awal nenek sayainginnya membantu warga, biar jadi pahala mengalir buat nenek saya," kataSayogi.
Tanggapan Pihak Desa Pagerwangi
Sementara itu, Kepala Desa Pagerwangi Agus Ruhidayat mengakui, jika jalan tersebut merupakan wakaf dari salah seorang warga di Kampung Bukanagara beberapa tahun lalu.
"Jadi dulu ini hanya jalan setapak, warga minta dibuatkan akses jalan ke kantor desa. Kemudian ada warga yang mewakafkan jalannya," kata Agus.
Soal PBB tanah wakaf untuk jalan yang masih dibayar pihak keluarga, Agus mengatakan solusinya yakni memisahkan sertifikat milik pribadi dan jalan yang saat ini menjadi milik desa.
"Sebetulnya kalau PBB dibayar keluarga ya harusnya sertifikat bisa di-split, karena kan dari desa nggak tahu, mungkin harusnya diurus saja. Kalau datang ke desa pasti diurus. Nanti di PBB, ada pengukuran lagi berapa ke jalan dan ke keluarga," tutur Agus.
"Memang sebelumnya pernah datang, cuma kita nggak tahu yang keluar sertifikatnya yang mana. Apa masih yang dulu atau yang baru. Kalau masih yang dulu, berarti harus diurus lagi. Sampai sekarang tidak mengeluarkan untuk PBB, cuma statusnya milik desa," imbuh Agus.