Nasib Bocah 12 Tahun Pembunuh Teman Sebaya gegara Smash Voli

Nasib Bocah 12 Tahun Pembunuh Teman Sebaya gegara Smash Voli

Hakim Ghani - detikJabar
Selasa, 07 Nov 2023 14:15 WIB
Pembunuhan ilustrasi
Seorang anak berumur 12 tahun nekat menghabisi nyawa temannya sendiri yang masih berusia 13 tahun di Garut (Foto: Ilustrator Edi Wahyono)
Garut -

Seorang anak berumur 12 tahun nekat menghabisi nyawa temannya sendiri yang masih berusia 13 tahun di Garut. Aksi ini dilakukan gegara bocah itu menaruh dendam, usai wajahnya kena smash bola voli 3 kali oleh korban.

Kejadiannya berlangsung pada Senin, (30/10/2023) siang lalu di kawasan Kecamatan Leuwigoong, Garut. Saat itu, korban, pelaku dan seorang temannya yang lain bermain bola voli di lapangan kampung.

"Saat itu timbul rasa dendam dari anak (pelaku) karena wajahnya kena smash oleh korban," ucap Kasat Reskrim Polres Garut AKP Ari Rinaldo.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Singkat cerita, usai bermain voli ketiganya pergi ke Sungai Cimanuk dengan tujuan berenang. Namun, pelaku ternyata membawa pisau cutter dari rumah kerabatnya sebelum berenang.

Saat berenang itu, korban bernama Agum Gumelar turun lebih dahulu dan terseret arus sungai yang sedang deras. Di momen itu, pelaku kemudian menghampirinya dan berupaya menolong.

ADVERTISEMENT

"Pelaku menghampiri dan menolong, tapi saat bersamaan menyayatkan pisau cutter yang dibawa ke bagian leher dan tangan korban sebanyak tiga kali," ungkap Ari.

Korban kemudian hanyut tenggelam dan hilang. Agum kemudian ditemukan lima hari berselang di Kecamatan Cibiuk, dalam keadaan meninggal dunia dengan kondisi jasad yang mengenaskan.

Kapolres Garut AKBP Rohman Yonky Dilatha mengatakan, usai jasad korban ditemukan, pihaknya kemudian bergerak cepat mengamankan anak tersebut. Saat ini, anak akan menjalani proses hukum.

"Atas perbuatannya, ABH itu akan dikenakan Pasal 76C Jo Pasal 80 Ayat 3 UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dan atau Pasal 340 KUHP Subsider Pasal 338 KUHP. Ancaman hukumannya 15 tahun," ucap Yonky.

Meskipun begitu, polisi bertindak hati-hati dalam penanganan perkaranya. Meskipun diterapkan pasal sesuai undang-undang yang berlaku, tapi anak yang menjadi pelaku ini mendapatkan perlakuan yang khusus karena masih berusia di bawah umur.

"Perlakuan penanganannya, kami melaksanakan seperti aturan yang berlaku sesuai SPPA (Sistem Peradilan Perkara Anak). Kami tidak melakukan penahanan, melainkan dititip di LPKS. Saat dilakukan penyelidikan juga didampingi pihak terkait, dan kami tempatkan di ruang ramah anak," ungkap Yonky.

Kejadian ini membuat publik terkejut. Kasusnya bikin heboh, hingga menjadi perbincangan di mana-mana. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sampai turun tangan untuk ikut serta mengungkap kasusnya.

"Tentu kami melakukan pengawasan dan pendampingan. Sembari proses ini berjalan, hak-hak anak harus terpenuhi," ungkap Ketua KPAI Daerah Tasikmalaya Ato Rinanto.

Sementara Anggota Komisi V DPRD Jabar Enjang Tedi mengatakan, pihaknya meminta agar para ahli dilibatkan dalam penanganan kasusnya. Selain perhatian terhadap keluarga korban, anak yang menjadi pelaku juga harus mendapatkan perhatian.

"Harus dilakukan observasi mendalam dalam konseling terhadap pelaku. Menggali apa penyebab anak ini memiliki tingkat kebrutalan dan perilaku sadis terhadap teman sendiri, sebagai bahan evaluasi dan edukasi bagi anak lainnya," ungkap Enjang Tedi.

PSIKOLOG SOROTI MOTIF LAIN

Psikolog dari Wahana Bahagia Garut Riscka Fujiastuti mengungkapkan, dirinya menyoroti adanya dugaan motif lain di balik insiden tersebut.

"Biasanya ada motif lain. Selain dia belum bisa mengendalikan amarah, bisa jadi ada dendam atau emosi lain yang tersimpan terhadap korban. Yang mana, kondisi smash dijadikan pemicu atau trigger untuk melampiaskan amarah atau dendam yang sudah lama terpendam," kata Riscka kepada detikJabar, Selasa (7/11/2023).

Riscka menuturkan, dari sudut pandang psikologis, ada tiga jenis emosi yang menonjol pada periode remaja. Yakni emosi marah, takut dan cinta. Dalam hal ini, emosi marah yang lebih menonjol.

"Pada dasarnya, emosi marah lebih mudah timbul dibanding dengan yang lain pada kehidupan remaja. Di sisi lain, remaja belum memiliki emosi yang stabil, termasuk respons terhadap amarah," katanya.

Riscka menambahkan, kasus ini diharapkan bisa dijadikan pembelajaran oleh orang tua hingga pemangku kebijakan, agar tidak terjadi lagi di kemudian waktu.

"Orang tua tentu memiliki peran besar dalam membantu anak mengembangkan emosinya. Hubungan yang kuat dengan keluarga dan teman, sangat penting untuk perkembangan emosional anak," pungkas Riscka.

(yum/yum)


Hide Ads