Pemkot Bandung hingga saat ini masih kerja keras mencari solusi terbaik dan tercepat untuk menangani darurat sampah. Terhitung 26 Oktober 2023 lalu, darurat sampah masih berlangsung sampai 26 Desember 2023 sesuai Keputusan Wali Kota Bandung tentang Penetapan Situasi Darurat Pengelolaan Sampah.
Wakil Ketua II DPRD Kota Bandung Achmad Nugraha menilai, darurat sampah harusnya tidak terjadi. Achmad menyoroti langkah Pemkot Bandung yang terkesan lamban dan malah membalikkan kewajiban pada masyarakat.
"Saya berharap bahwa pemerintah tidak bisa menyalahkan masyarakat. Sampah saat ini tergelar di mana-mana, lautan sampah sulit diselesaikan, masyarakat tidak salah. Tapi ada sebuah kebijakan yang perlu ditindak lanjuti terkait Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), ini sebetulnya penyelesaian dari kota metropolis semacam kota Bandung. Kota besar yang harus selesai permasalahan sampahnya secara tepat," ucap Achmad, Sabtu (4/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melihat pemerintah telah salah melangkah. Keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung nomor 5 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung Tahun 2022-2042 seolah tak diindahkan.
Padahal, rancangan PLTSa yang berlokasi di Kelurahan Rancanumpang, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung ini sudah dirancang sejak lama akibat musibah longsornya TPA Leuwigajah.
"PLTSa dulu diusulkan karena persoalan Leuwigajah, kita sudah cari tempat dan mau bangun. Perda sudah ada tapi tidak dilaksanakan, ya ini sebuah pembangkangan terhadap peraturan. Katanya asapnya beracun dan lain-lain, Singapura saja ada insenerator? Sekarang fokusnya gimana agar sampah selesai. Kalau kami terutama dari Fraksi PDIP mendorong terus tapi kalau tidak ada tindak lanjut dari eksekutif ya mau apa? Sejauh ini eksekutif salah," ucapnya.
"Dulu pada saat Keppres kalo nggak salah, meminta para Kepala Daerah bekerja sama untuk insenerator. Baru lah kemudian muncul rencana Legok Nangka. Saya tanya, kan Bandung nggeus aya (kan Bandung sudah ada)? Naha (kenapa) ke Legok Nangka? Saya sudah bilang ke Gubernur supaya kita selesaikan sendiri tidak menyusahkan tempat lain, ini kan persoalan," lanjut Achmad tegas.
Menurutnya, pemerintah harus punya keinginan serius untuk segera menyelesaikan sampah di Kota Bandung. Katanya, rakyat tidak boleh dibebani sebab sudah menjalankan kewajiban seperti pajak retribusi. Sehingga pemerintah lah yang harus mampu memberi pelayanan dan perlindungan, termasuk soal sampah.
"Jangan sekedar menggampangkan masyarakat harus gotong royong, tapi kan masalahnya kenapa sekarang ada darurat sampah? Kan baheula harusnya nggeus (dulu harusnya sudah) beres, tapi kenapa ada pembiaran PLTSa?," tuturnya.
Soal adanya denda bagi masyarakat yang membuang sampah sembarangan, Achmad pun mengaku tak setuju. Seperti diketahui, pelaku buang sampah sembarangan bisa dikenakan sanksi tindak pidana ringan (tipiring) berkaca dari Perda nomor 9 tahun 2019 tentang tibumtranlinmas dan Perda nomor 9 tahun 2018 tentang pengelolaan sampah.
Bahkan termasuk pada langkah Pemkot Bandung yang sedang menggaungkan kembali kurang, pisahkan, dan manfaatkan sampah (Kang Pisman). Achmad mengkritisi hal ini sebab dianggapnya masih perlu waktu untuk membangun kesadaran. Pun katanya, metode ini tak akan relevan untuk kemajuan kota Bandung beberapa tahun ke depan, sejalan dengan adanya pembangunan.
"Jadi saya nggak setuju ada denda buang sampah sembarangan. Tapi kalau di sungai begitu baru nggak boleh. Darurat tuh siapa yang bikin darurat? Nggak bisa dong pemerintah terus menyalahkan pada kondisi saat ini," ucapnya.
"Terus kalau pemilahan sampah, perlu dilihat kesadaran itu sudah siap belum? Pemilahan itu boleh tapi komposting setelah ada kesadaran, seperti untuk berkebun. Kota besar di Bandung ini, sampah harus cepat diselesaikan dan tidak menunggu pemilahan dan sebagainya. Pemilahan itu ya masyarakat yang perlu untuk pertanian. Kota besar saya pikir lama kelamaan tidak ada perkebunan, Singapura coba lihat ada nggak?," ujar Achmad menambahkan.
Solusi jangka pendek menurut Achmad yakni kembali lagi pada TPA Sarimukti. Menurutnya, perlu ada perhitungan tepat kira-kira sampai kapan masyarakat bisa membuang sampah ke TPA di Kabupaten Bandung Barat (KBB) itu, serta kapan pembangunan PLTSa bisa rampung sampai beroperasional.
"Ya itu kan masih dibuka Sarimukti, kita ukur kira-kira Sarimukti sampai berapa tahun? PLTSa pembangunan berapa tahun? Kan begitu harusnya, sederhana tapi dibikin pusing karena tidak ada kemauan. Selalu cari alasan agar PLTSa tidak dibangun. DPRD sudah lakukan dorongan, tapi ada juga satu kepentingan-kepentingan lain, ada beberapa partai yang menolak juga," kata Achmad.
Ketua DPC PDIP Kota Bandung ini mengaku setuju jika masyarakat dituntut untuk disiplin, namun tidak untuk disalahkan. Bencana sampah yang terjadi berulang, menjadi tanda bahwa akar masalahnya belum betul-betul selesai.
Sekedar diketahui, mega proyek PLTSa ini bakal menghasilkan tenaga listrik di bawah 100 MW. Nilai investasinya tak main-main, yakni sebesar USD90 juta atau sekitar Rp850 miliar. Namun sayangnya, sejak dirancang pada tahun 2013 hingga kini tak kunjung terealisasi. Alasannya, Pemkot Bandung dan PT BRIL masih mengkaji ulang.
Jika penyelesaian sampah tak kunjung ada kepastian, Achmad mengatakan bisa jadi masyarakat tak tahan dan melakukan gugatan perwakilan kelompok karena kerugian akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup (class action).
"Perda PLTSa ini sudah bisa dipergunakan, aturannya pun bukan masalah revisi tapi PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL) kelihatannya sudah hopeless. Sekarang eksekutif ada pembiaran terhadap sampah yang seharusnya bisa diselesaikan. Saya tidak mengatakan mereka bisa kena sanksi ya, tapi bagaimana beban moral dari aturan, harus dilaksanakan ditindak lanjuti. Kita capek bikin aturan, sudah dibahas dan diketuk disepakati," kata Achmad.
"Denda buang sampah tadi itu boleh, tapi dengan catatan sistem sudah disiapkan. Kalau sampah sudah bersih tapi masih buang sampah sembarangan ya denda harus lebih besar, kalau 500 ribu ya leutik teuing. Ayeuna peranannya tidak ada tapi masyarakat dituntut, ya nggak bisa. Masyarakat bisa class action. Tapi saya tidak memprovokasi itu, tapi bisa terjadi," ucapnya.
(aau/mso)