Jembatan Kuning Bagbagan membentang sejauh kurang lebih 117,5 meter membelah Sungai Cimandiri, Kabupaten Sukabumi. Kondisi jembatan itu kini tidak terurus, banyak semak-semak hingga pohon liar tumbuh di ujung jembatan.
Ada kenangan dalam bingkai cerita yang masih tertancap kuat di ingatan Nanan Afon (43), warga Kampung Mariuk, Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi. Cerita almarhum kakeknya Abah Amir yang meninggal di usia 79 tahun di tahun 1991.
"Kakek saya adalah salah satu pekerja di jembatan gantung ini, beliau meninggal dunia saat saya kelas 4 SD ya sekitar 11 tahunan ya karena saya masuk SD itu usia 8 tahun," kata Nanan kepada detikJabar belum lama ini, mengawali cerita yang dikisahkan kakeknya dahulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui berdasarkan sejumlah literasi sejarah, Jembatan Kuning Bagbagan diresmikan tahun 1923 oleh Belanda. Amir muda, ikut bekerja tanpa mendapatkan upah dari mandor Belanda. Tidak hanya Amir, banyak warga dari daerah lain juga dipekerjakan oleh Belanda.
"Banyak warga sekitar dilibatkan. Warga sekitar, dari Gunung Buleud, Loji, beberapa lainnya dari daerah Jampang termasuk almarhum kakek. Mereka kerja paksa, di bawah tekanan penjajah," ujar Nanan.
Menurut penuturan dari sang kakek kala itu, banyak pekerja yang terenggut nyawanya karena kelelahan dan tidak kuat dengan siksaan dari Belanda. Jasad-jasad itu sebagian malah dikubur di dekat tiang pancang jembatan.
"Seolah-olah dibuat tumbal ya, bagaimana nggak kecapean ada yang sampai mikul kayu dari Gunung Buleud yang jaraknya antara 6 sampai 10 kilometer. Yang capek meninggal jasadnya dikubur di bawah tiang pancang jembatan jadi seperti dibuat tumbal," ungkap Nanan.
![]() |
Jembatan itu akhirnya diresmikan di tahun 1923 oleh Belanda, sebelumnya warga menyeberang menggunakan perahu dan rakit membelah Sungai Cimandiri untuk menuju ke Palabuhanratu. Jarak tempuh saat itu makin ringkas.
"Kalau kata kakek, dulu sebelum ada jembatan kuning warga nyebrang pakai perahu kalau mau ke Palabuhanratu. Namun, seiring waktu, kondisi jembatan gantung beralas aspal tipis itu mulai terasa tidak aman dilintasi, sampai akhirnya dibangun jembatan permanen di sampingnya," tuturnya.
"Saya lupa jembatan yang permanen dibangun tahun berapa ya, saat itu saya masih kelas 4 SD atau kelas berapa saya lupa itu masih proses pembangunan jembatan permanen, namun saya ingat dulu pegawai PU sering lempar uang kertas Rp 100 dari atas jembatan kuning. Saya dan teman-teman berenang di sungai sambil menangkap uang," kata Nanan.
Saat proses pembangunan jembatan permanen, jembatan gantung masih difungsikan. Banyak kendaraan roda empat berukuran kecil yang melintas di jembatan itu, sampai akhirnya jembatan itu dilarang untuk dilintasi hingga saat ini.
"Sekarang sudah tidak ada yang berani melintas, karena memang berbahaya dan licin. Sebagian dasar pijakan juga sudah banyak yang lepas. Akhirnya ya dibiarkan begitu saja enggak diurus. Banyak tanaman liar, ilalang," pungkasnya.
Lorong Waktu merupakan rubrik khusus dari detikJabar yang membahas mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau.
(iqk/iqk)