Tak banyak moda transportasi yang bisa jadi opsi warga Kabupaten Bandung Barat (KBB) menjalani aktivitas sehari-hari di medio tahun 80-an hingga tahun 2000-an.
Salah satu moda transportasi pilihan utama bagi warga terutama yang ada di wilayah selatan Bandung Barat dan beberapa daerah lain yang dilintasinya ialah bus Madona.
Bus perintis yang melayani rute daerah pinggiran Bandung Raya, mulai dari Sindangkerta, Cililin, Batujajar, Cimahi, lalu berujung di Kota Bandung. Keberadaannya dirasa sangat sentral bagi sebagian kalangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu pengguna setia bus Madona ialah Rina Wulandari (32). Wanita asal Cililin, KBB. Di tahun 2009 sampai 2013, ia selalu naik Madona dari rumahnya demi menuju kampus UPI, Setiabudi. Meskipun ia harus naik lagi angkutan kota.
"Kalau dari rumah mau ke kampus, ya memang harus naik Madona. Soalnya dari subuh juga sudah ada. Kalau kuliah jam 7 pagi, setengah 6 saya sudah berangkat. Naik Madona terus turun di Leuwipanjang, nanti dari situ naik angkot atau Damri sampai Setiabudi," kata Rina.
Seingatnya dulu, ongkos Madona dari Cililin ke Leuwipanjang tak lebih dari Rp10 ribu. Bus itu di masa kuliahnya, tersedia sampai sore sekitar pukul 17.00 maksimal pukul 18.00.
"Jadi kalau pulang kuliah sore, harus langsung pulang kalau nggak nanti ketinggalan bus. Kalau nggak pulang ya terpaksa nginap di kos-kosan teman. Perjuangan banget, dan pasti kangen naik Madona lagi," kata Rina.
Belum terlalu samar dari ingatannya, sejak dulu Madona berjalan tak terlalu kencang. Ia melaju pelan hingga kecepatan sedang demi menyisir calon penumpang di sepanjang jalan yang terlintasi.
"Kalau jalan nggak ngebut juga sebetulnya, ya santai. Makanya kalau buru-buru kadang bisa terlambat, tapi ya karen memang utama jadi dinikmati saja," ujar Rina.
Pengguna bus Madona lainnya, Euis Rukmini sepertinya punya pengalaman yang tak jauh seperti yang dialami Rina. Terlebih, bagi perempuan 83 tahun itu, Madona menemani masa-masa hidupnya bersama keluarga.
Euis mengawali ceritanya soal Madona dengan pertanyaan, Oh, bus Madona itu masih ada? Mungkin ia menganggap Madona, sudah kalah saing dengan transportasi lainnya seperti angkot dan kendaraan pribadi.
"Saya kira sudah nggak ada. Soalnya kan sekarang banyak angkot, mobil pribadi, motor. Tahun 2010-an ke sini kan sudah jarang sebetulnya yang pakai Madona," kata Euis.
Ia tak sepenuhnya salah, sebab Madona kini bertahan dari gempuran perubahan zaman dengan sisa tenaga yang ada. Meskipun bagi Euis, Madona menyimpan sebagian kenangan.
"Jadi dulu tahun 90-an kalau mau pulang ke Gununghalu, kampung halaman suami itu pakai Madona. Jadi pakainya itu Madona jurusan Cijenuk-Bandung," kata Euis.
Kala itu busnya cukup nyaman, meskipun tak ber-AC seperti bus-bus modern masa kini. Hanya saja, untuk ukuran bus ekonomi dengan tarif murah, sepertinya kursi empuk dengan lapis beludru sudah lumayan.
"Harganya yang pasti murah, lupa lagi berapa. Kalau dulu ya masih penuh. Kadang bareng dengan yang bawa sayur, kebanyakan ya dibawa ke dalam kalau di bagasi pasti rusak. Kecuali bawa dus atau karung, mungkin di bagasi. Kalau saya sama suami ya nggak bawa apa-apa," kata Euis.
Ia bersama suami dan enam orang anaknya biasanya pulang dari Cimahi ke Gununghalu hanya setahun sekali, tepat pada momen Idulfitri. Atau jika ada keperluan mendesak, ia memilih menyewa kendaraan meskipun saat itu masih sangat jarang.
"Kalau lagi santai ya pakai Madona. Kalau buru-buru, kebetulan ada tetangga punya mobil Carry, jadi disewa sehari. Kenangan banget pastinya, tapi sekarang kan sudah banyak yang punya kendaraan. Sepertinya yang naik Madona juga sudah sedikit," ucap Euis.
Begitulah faktanya, Madona kini mulai tersingkirkan. Tak banyak lagi orang yang memerlukan jasanya seperti di masa lampau. Madona menanti perubahan dan keajaiban supaya bisa kembali lagi ke masa jayanya.
(tey/tey)