Ii Suhendar tengah bersantai di atas motor yang terparkir di samping gedung Kantor Unit Bank Mandiri Jalan Braga, Bandung. Sore yang syahdu bagi Ii menjelang kerjaannya rampung.
Ya, Ii bertugas sebagai juru parkir (jukir) di kawasan tersebut. Ia mengenakan seragam oranye, celana hitam, dan berikat kepala khas Sunda. Bapak tiga anak berusia 54 tahun itu memiliki karakter kuat sebagai masyarakat Sunda. Ii tak pernah melepas ikat kepala khas Sunda selama bekerja.
Jukir yang akrab disapa Abah Ii itu begitu ramah. Sesekali orang yang melintas di Jalan Braga atau Viaduct menyapanya. Senyumnya selalu mengembang dan menganggukkan kepala kala disapa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di pinggangnya, berbagai kunci kendaraan roda empat menggantung. Abah Ii kerap memarkir kendaraan pejabat di kantor-kantor sekitar kawasan tersebut.
Sudah lebih dari 30 tahun Abah Ii menjadi seorang jukir di salah satu bank berplat merah. "Sejak usia 20 tahun di sini. Dulunya bukan Bank Mandiri, dulu itu Bank Dagang Negara. Hafal saya di sini mah," kata Abah Ii saat berbincang dengan detikJabar.
Ia lahir di Ciamis. Kemudian menyusul orang tuanya yang sudah lebih dulu berada di Bandung. Saat itu, Abah Ii baru lulus SMP. Beberapa tahun kemudian, tepat saat usianya 20 tahun, Abah Ii menggantikan pekerjaan pamannya sebagai jukir.
Abah Ii memang gandrung menonton wayang. Ia rajin mengikuti pertunjukan wayang golek, dari pertunjukan langsung hingga mendengar di radio. Selain itu, Abah Ii juga mengaku kerap belajar hidup dengan berpetualang, mengaji hingga mencari jati diri. Batinnya bergejolak untuk terus mencari jati dirinya selepas menikah pada tahun 1995.
Hingga akhirnya, kesadaran muncul dari hati nurani Abah Ii. Ia ingin merawat budaya khas Sunda melalui ikat kepala. Sekitar tahun 2010, Abah Ii memutuskan untuk mengenakan ikat kepala khas Sunda dalam kesehariannya.
"Saya terenyuh saat orang-orang Banten, atau daerah lainnya yang menggunakan identitas budayanya, seperti ikat kepala saat jualan atau apapun. Hati saya tergerak, saya akhirnya sadar untuk ikut juga merawat budaya," ucap Abah Ii sembari memegang ikat kepalanya.
"Ya pakai ikut terus, sudah 10 tahun lebih. Ya, saya terenyuh kenapa nggak dibudayakan juga pakai ikat khas Sunda, intinya itu," kata Abah Ii menambahkan.
Abah Ii merasa lebih percaya diri menggunakan ikat kepala khas Sunda. Ia juga mengajari anaknya untuk berbudaya sebagai masyarakat Sunda, baik dari tutur kata, etiket, dan lainnya.
"Tapi saya tidak ajari langsung. Kalau saya ajari langsung kesannya memaksakan ke anak. Kita mencontohkan," ucap Abah Ii.
Abah Ii juga resah kala identitas Sunda mulai terkikis. Misalnya, dari etiket bicara. "Ya ada sedihnya. Perlahan terkikis," ucapnya.
Bagi Abah Ii, ajaran Sunda mengajarkan banyak hal dalam hidupnya. Salah satunya mensyukuri hidup. Selain gandrung untuk merawat budaya, Abah Ii juga pernah belajar ilmu agama. Hal itulah yang membuatnya rendah hati dalam menata hidup.
"Tahu sendiri jadi jukir itu hasilnya tak seberapa. Tapi, kita harus menerima walau sekecil apapun. Kadang, saya juga cari sampingan untuk mencukupi kebutuhan hidup," ucap dia.
"Saya banyak mengambil pelajaran hidup dari menonton wayang. Setiap ceritanya itu kalau kita pahami memiliki makna. Ya, hidup harus punya prinsip, harus kita syukuri nikmat sekecil apapun yang kita dapatkan," ucap Abah Iip menutup perbincangan.
(sud/mso)