Keanekaragaman hayati di Pegunungan Sanggabuana, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang sangat kaya. Beberapa hewan langka yang terancam punah pun kerap ditemui di kawasan tersebut.
Direktur Eksekutif Sanggabuana Conservation Foundation (SCF) Solihin Fuadi mengatakan, selama hampir empat tahun, pihaknya mengeksplorasi hutan Sanggabuana, beberapa hewan langka yang beresiko punah sudah terdata.
"Dalam eksplorasi yang sudah dilakukan selama ini, sudah banyak satwa langka dan endemik yang berhasil terekam secara visual, maupun kamera trap yang kami pasang. Terakhir kami berhasil mengidentifikasi katak pohon mutiara yang unik dan langka di hutan Pegunungan Sanggabuana," ujar Solihin, kepada detikJabar, Rabu (13/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eksplorasi yang dilakukan SCF ini, dilakukan dalam rangka usulan perubahan fungsi kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana menjadi kawasan konservasi.
"Kami lakukan ini, dalam rangka menjaga atau mempertahankan kawasan hutan, dengan mengajukan perubahan status kawasan hutan Sanggabuana menjadi kawasan konservasi," kata dia.
Berikut beberapa hewan langka dan endemik yang berhasil ditemukan SCF di Pegunungan Sanggabuana:
1. Elang Jawa
Masyarakat Sunda menyebut burung elang jawa dengan nama manuk dadali. Burung pemangsa ini banyak ditemukan di langit pegunungan Sanggabuana. Burung Elang Jawa yang menjadi top predator di angkasa ini pertama teridentifikasi oleh tim ekspedisi pada Juli 2020.
Elang jawa yang bernama latin Nisaetus bartelsi ini, merupakan burung yang dijadikan lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Sebagai satwa endemik jawa, burung elang jawa hanya ditemukan di Pulau Jawa saja.
Dalam IUCN (Unternational Union for Conservation of Nature) Red List burung elang jawa masuk dalam kategori Endagered (EN). Sedangkan dalam CITES (the Convention on International Trade in Endagered Species of Wild Fauna and Flora) dikategorikan dalam Appendix 1, yaitu daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional.
"Javan Hawk Eagle ini juga masuk dalam daftar satwa dilindungi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi," ucap Solihin.
2. Macan Tutul Jawa
Karnivora besar yang masih tersisa di Pegunungan Sanggabuana adalah macan tutul jawa atau Panthera pardus melas. Selain macan tutul jawa dengan pola totol juga ditemukan macan kumbang yang juga merupakan macan tutul melanistik atau mengalami kelainan pigmen sehingga warna rambut atau badannya gelap hitam.
"Macan tutul jawa di Sanggabuana pertama kali teridentifikasi lewat video dan foto dari hasil kamera trap yang kami pasang pada bulan September 2021," ujarnya.
Solihin mengungkap, selain terekam kamera trap, beberapa kali macan tutul jawa di Pegunungan Sanggabuana juga terlibat konflik dengan manusia, seperti memangsa ternak masyarakat sekitar yang dikandangkan di pinggiran hutan Sanggabuana.
"Macan tutul jawa ini merupakan satwa endemik jawa dan merupakan satwa dilindungi dalam daftar tumbuhan dan satwa dilindungi dalam Permen KLHK nomor 106 tahun 2018. Dalam IUCNRedList, macan tutul jawa masuk dalam kategori Critically Endagered (CR) dan Appendix 1 Cites atau terancam kritis," ungap Solihin.
3. Alap-alap Capung atau Alap-alap Terkecil di Dunia
Alap-alap Capung merupakan raptor atau burung pemangsa, dan merupakan jenis terkecil dari keluarga Falconidae. Burung yang mempunyai nama ilmiah Microhierax fringillarius ini juga pernah teridentifikasi oleh SCF di Pegunungan Sanggabuana pada April 2021 lalu.
"Burung alap-alap capung merupakan burung berdarah panas, berukuran sepanjang 15 centimeter dengan berat sekitar 35-40 gram. Dalam IUCN Red List, pemakan serangga ini masuk dalam status Least Concern (LC) yang artinya daftar spesies yang tidak terancam punah, tetapi karena sering diperdagangkan, mungkin bisa terancam punah bila perdagangannya terus berlanjut tanpa adanya pengaturan," kata Solihin.
Di pegunungan Sanggabuana, alap-alap capung ini terekam kamera video sedang menyuapi anaknya makan, dan berburu capung. Selain tongkeret dan serangga lain, burung ini menjadikan capung sebagai makanannya, hingga dinamakan alap-alap capung.
4. Owa Jawa
Selain raptor, ada lima jenis primata yang berhasil teridentifikasi oleh SCF di Pegunungan Sanggabuana. Salah satunya adalah Silvery Gibbon atau owa jawa.
"Primata endemik jawa ini ditemukan hampir di sebagian besar punggungan Pegunungan Sanggabuana. Tiap pagi dan sore hari, nyanyian atau teriakan primata yang bernama ilmiah Hylobates moloch ini bisa didengar di beberapa lereng gunung," ungkapnya.
Owa jawa sendiri merupakan salah satu keluarga primata besar yang tidak mempunyai ekor. Primata ini memakan dedaunan dan buah-buahan yang ada di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana.
"Sampai sekarang belum ada data pasti berapa populasi owa jawa yang ada di Sanggabuana, selain owa jawa, juga ada primata lain seperti lutung jawa, surili, dan monyet ekor panjang di Pegunungan Sanggabuana," kata Solihin.
Owa Jawa sendiri merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup danKehutana Nomor 106 tahun 2018. Sedangkan DalamIUCNRedList,Owa Jawa masuk dalam kategoriEndagered (EN).
5. Kukang Jawa
Pegunungan Sanggabuana juga menjadi rumaj bagi primata unik yang sering dikaitkan dengan mitos, dan dianggap binatang pembawa sial atau binatang hantu.
"Masyarakat sunda menyebut hewan ini Oces. Oces atau Kukang Jawa sendiri merupakan satwa pemalu atau nocturnal, hewan bernama latin Nycticebus javanicus juga pernah kami temukan di Pegunungan Sanggabuana," ujar Solihin.
Kukang sendiri merupakan primata karnivora yang memakan serangga sebagai santapannya. Di alam liar, kukang terkadang menjadi makanan bagu karnivora besar serta burung pemangsa.
"Oleh masyarakat kadangkala kukang ditangkap untuk diperjualbelikan sebagai satwa peliharaan atau sarana untuk ritual mistis. Beberapa ekor kukang dari masyarakat juga berhasil kami selamatkan, kemudian diserahkan ke BBKSDA Jawa Barat untuk direhabilitasi dan dilepasliarkan ke alam," ucapnya.
Kukang jawa sendiri masuk dalam daftar satwa dilindungi dalam Permen KLHK nomor 106 Tahun 2018. Sedangkan dalam IUCNRedList kukang jawa masuk dalam kategori Critically Endagered (CR).
6. Katak Tanduk Jawa
Sepanjang perjalanan eksplorasinya SCF juga berhasil menemukan, herpetofauna unik di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana. Salah satunya adalah Katak Tanduk Jawa atau Javan Horned Frog.
Sesuai namanya, katak unik ini mempunyai perpanjangan dermal pada bagian mata yang menyerupai atau membentuk tanduk di atas matanya. Dengan adanya dua tanduk di atas mata inilah yang menjadikan katak ini diberi nama katak tanduk.
"Hewan ampibi ini kadang juga disebut dengan katak serasah. Selain mempunyai perpanjangan dermal diatas kedua matanya, katak tanduk jawa juga mempunyai perpanjangan dermal di bagian hidungnya hingga bagian hidungnya meruncing," terang Solihin.
Mengenai habitat katak tanduk jawa, Solihin menjelaskan, kerap ditemukan di dataran menengah sampai dataran tinggi.
"Di Sanggabuana, katak tanduk jawa ditemukan di dekat aliran sungai di ketinggian sekitar 600 mdpl. Selain senang berada di dekat aliran sungai, katak bertanduk ini sering bersembunyi dibalik serasah daun di dasar hutan," ucapnya.
Warna katak tanduk jawa, biasanya menyerupai serasah, sehingga mampu berkamuflase dengan baik untuk bersembunyi dari para predator.
7. Ular Naga Jawa
Secara mengejutkan di hutan Pegunungan Sanggabuana ternyata juga ditemukan melata yang selama ini dianggap sebagai hewan mitologi, yaitu ular naga jawa.
Ular Naga Jawa atau Xenodermus javanicus ditemukan oleh tim eksplorasi SCF, ketika sedang melakukan pendataan herpetofauna di sepanjang aliran sungai Cikoleangkak, di ketinggian sekitar 600 mdpl di dalam kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana.
"Ular unik ini ditemukan dengan panjang sekitar 50 centimeter, dan terekam kamera memangsa anak katak (cebong). Keunikan hewan melata ini adalah sisiknya lebih kasar dibanding ular lain, dan mempunyai hemipenial atau duri yang menonjol di bagian punggung dan dorsal," ujar Solihin.
Barisan Hemipenial yang berjajar rapi di bagian punggung dan mempunyai semacam dua tanduk di bagian kepala, membuat ular ini mirip dengan ular naga dalam cerita mitologi.
Dalam IUCN Red List, Ular Naga Jawa masuk dalam kategori Least Concern (LC). Keberadaan ular naga di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana ini menjadi salah satu indikator lingkungan.
"Ular naga jawa sangat rentan terhadap polusi dan perubahan lingkungan, keberadaan ular naga jawa, juga menjadi penanda bahwa ekosistem di sekitarnya masih baik, dan perlu dipertahankan," ujarnya.
8. Labi-labi
Pada akhir tahun 2022 tim SCF juga menemukan satwa langka di kawasan Pegunungan Sanggabuana, yaitu Labi-labi hutan.
Satwa ampibi bernama latin Dogania Subplana ini ditemukan dalam aliran sungai kecil di ketinggian sekitar 600 mdpl di tengah hutan Pegunungan Sanggabuana.
"Labi-labi Hutan juga sering disebut dengan bulus, hewan ini bersifat nocturnal atau aktif pada malam hari, kami menemukannya saat mendata herpetofauna. Pada siang hari biasanya bersembunyi di balik batu atau di kedalaman lumpur," ucap Solihin.
Labi-labi hutan merupakan sejenis kura-kura berukuran sekitat 25-40 centimeter. Perisai atau tempurungnya berbentuk jorong atau memanjang, pipih datar dan berwarna abu-abu kehitaman yang terlapisi kulit lunak.
Labi-labi hutan saat ini sudah mulai sulit ditemukan karena masifnya penangkapan oleh manusia. Dalam IUCNRedList, Labi-labi hutan masuk dalam kategori Least Concern (LC) atau beresiko rendah.
9. Katak Pohon Mutiara
Katak pohon mutiara juga baru saja ditemukan oleh tim SCF pada, Sabtu (8/9), hewan ampibi bernama latin Nyxtixalus Margaritifer itu, ditemukan pada malam hari.
"Kami menemukan katak pohon mutiara pada saat melakukan pendampingan assessment teman-teman mahasiswa Biologi," ucap Solihin.
Katak pohon mutiara sendiri memiliki ciri khas berwarna oranye kecokelatan dengan corak bintik terang layaknya mutiara di sekujur tubuhnya.
Hewan berukuran panjang 7 centimeter dengan lebar 3 centimeter ini, ditemukan di aliran sungai Curug Cikoleangkak, Pegununungan Sanggabuana di daun pohon. Hewan itu masuk dalam kategori Least Concern (LC) atau resiko rendah berdasarkan data assesment tahun 2017 di IUCNRedList.
Temuan satwa langka ini, kata Solihin, akan digunakan untuk edukasi dan usulan perubahan status kawasan hutan Sanggabuana menjadi kawasan konservasi.
"Temuan hewan langka akan kami gunakan sebagai edukasi di lapangan, untuk mengurangi potensi ancaman penurunan populasi akibat perubahan fungsi kawasan hutan, datanya juga kami gunakan sebagai usulan perubahan status Pegunungan Sanggabuana sebagai kawasan konservasi," pungkasnya.