Pemerintah Kabupaten Garut dan Korea Selatan bersepakat untuk mengangkat kisah Yang Chil Sung, atau Yang Chil Seong alias Komarudin ke layar lebar. Film berjudul Tanah Air Kedua dipilih untuk mengabadikan aksi heroik 'Oppa Korea' yang telah membantu Indonesia, khususnya masyarakat Garut ini.
Produksi film ini, ditandai dengan pertemuan yang dilakukan oleh Bupati Garut Rudy Gunawan dengan Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Lee Sang Deok di Jakarta, pada Jumat, (25/8) kemarin.
Dalam pertemuan itu, Pemkab Garut dan Korea Selatan membahas beberapa kerja sama di bidang investasi dan budaya. Salah satu yang dibahas, adalah pembuatan film tentang Yang Chil Sung. Menurut Bupati Garut Rudy Gunawan, Yang Chil Sung adalah seorang pemuda Korea Selatan yang turut membantu rakyat melawan penjajah di tahun 1940-an.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang Chil Sung ini memiliki nama lain Komarudin. Sudah menjadi muslim dan menikah dengan orang Wanaraja, Garut," ujar Rudy.
Proses pembuatan film dokumenter tentang Yang Chil Sung dengan judul Tanah Air Kedua ini, rencananya akan dilaksanakan mulai bulan Oktober 2023. Proses pengambilan gambarnya, akan dilaksanakan di Korea Selatan dan Garut. Pelaksanaannya, menurut Rudy, akan dilakukan oleh event organizer internasional.
"Pemerannya Kim Bum dari Korea Selatan dan istrinya akan diperankan Maudy Ayunda," ungkap Rudy.
Lantas, siapa sebenarnya Yang Chil Sung dan apa perannya untuk Indonesia, khususnya Garut sehingga dia dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat Kota Dodol?
Dalam sebuah artikel karya Sabila Dwi Yusrina, dari Akademi Bahasa Asing Nasional Jakarta tahun 2020, dengan judul Profile Yang Chil Seong: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia Asal Korea Selatan, dikisahkan jika Yang Chil Seong adalah seorang pemuda yang lahir di Wanjoo, Jeolla Utara pada 29 Mei 1919.
Di usianya yang menginjak 23 tahun, dia terpaksa dibawa Jepang ke Indonesia, untuk membantu tentara Jepang menjaga tawanan perang. "Tiba di Tanjung Priok, Jakarta pada 14 September 1942. Ada sekitar 1.400 tentara penjaga tawanan yang ditugaskan di Pulau Jawa," ungkap Sabila.
Yang Chil Sung kala itu kemudian menjadi penjaga tawanan perang di Kota Bandung. Di tengah gejolak hatinya yang iba dengan penderitaan orang Indonesia yang dijajah, Yang Chil Seong terpaksa melakoni pekerjaannya itu. Di momen itu, dia juga kemudian bertemu seorang wanita pribumi bernama Lience Wenas yang kerap berkunjung ke kamp tahanan untuk menjenguk kakaknya.
"Mereka kemudian menikah di tahun 1945," ujar Sabila.
Di tahun 1945, setelah Jepang dinyatakan kalah perang, Yang Chil Sung tak bisa kembali ke kampung halamannya. Dia, kemudian ikut dalam rombongan tentara dan penjaga tawanan Jepang yang berjumlah sekitar 40 orang, yang dikomandoi seorang perwira bernama Masahiro Aoki.
Dari sumber lain, di suatu momen di sekitaran tahun 1946, mereka dilaporkan terlibat peperangan dengan sebuah regu pasukan dari Garut, bernama Pasukan Pangeran Papak. Namun, dalam perang tersebut, mereka dilaporkan tidak terlalu melawan dan akhirnya ditawan oleh pasukan tersebut.
Aoki dan anak buahnya, termasuk Yang Chil Sung, kemudian dibawa ke Wanaraja, Garut dan ditahan di sana. Di antara para tawanan ini, adalah dua tentara Jepang Aoki dan Katsuo Tanagawa, serta Yang Chil Seong serta seorang temannya dari Korea Selatan Guk Jae Man.
Karena diperlakukan dengan baik oleh Pasukan Pangeran Papak yang dikomandoi Mayor Kosasih, Aoki saat itu menghadap ke pimpinan di sana. Dia menyatakan ingin menjadi bagian dari mereka, dan secara pribadi juga ingin memeluk agama Islam. Langkah yang dilakukan oleh Aoki, kemudian diikuti anak buahnya.
![]() |
Mereka, kemudian dibawa ke hadapan Raden Djajadiwangsa, seorang tokoh agama di Wanaraja oleh Mayor Kosasih dan diislamkan. Aoki, kemudian memiliki nama Abubakar, Hasegawa jadi Usman, Yang Chil Sung menjadi Komarudin, serta Guk Jae Man menjadi Soebardjo.
Setelah bergabung dengan Pasukan Pangeran Papak, mereka kemudian diberi peran sesuai keahlian masing-masing. Guk Jae Man menjadi pemimpin pasukan intelijen. Sementara Yang Chil Sung memimpin pergerakan pasukan 'penyerang', yang melakukan sabotase.
Bergabungnya para eks tentara Jepang dengan Pasukan Pangeran Papak ini, cukup membuat Belanda yang setelah tahun 1945 kembali datang ke Indonesia. Salah satu aksi yang paling fenomenal dari mereka, adalah aksi pengeboman jembatan Sungai Cinunuk, yang menghubungkan Wanaraja dengan Garut.
Aksi pengeboman yang dilakukan Yang Chil Sung ini dilaporkan terjadi, pada tahun 1947. Tujuannya, untuk melindungi masyarakat, karena saat itu pasukan menerima informasi jika Belanda akan menduduki Wanaraja dalam waktu dekat. Dengan aksi pengeboman itu, akhirnya Belanda batal datang.
Tapi sayang sekali. Aksi gemilang mereka, harus berakhir dengan cara yang tragis. Pada tahun 1948, Yang Chil Sung dan empat kawannya, yakni Aoki, Hasegawa, Jae Man dan Letnan Djoehana ditangkap Belanda di sekitaran Gunung Dora, perbatasan Garut-Tasikmalaya.
Mereka ditangkap malam hari, saat sedang berunding merumuskan strategi melawan Belanda di sebuah rumah di Gunung Dora. Beberapa sumber menyatakan, jika penyebab terendusnya persembunyian Yang Chil Sung ini, gara-gara seorang istri prajurit yang berkhianat dan memberikan informasi keberadaan Yang Chil Sung yang kala itu jadi buronan kelas kakap ke Belanda.
Mereka kemudian dibawa ke Belanda. Pada 26 Oktober 1948, atau sehari setelah mereka ditangkap, Guk Jae Man ditembak mati oleh Belanda setelah mencoba untuk melarikan diri. Sedangkan Aoki, Hasegawa dan Yang Chil Sung serta Letnan Djoehana diseret ke pengadilan.
Dalam persidangan yang dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 1949, Yang Chil Sung, Aoki dan Hasegawa dijatuhi hukuman mati. Sementara Letnan Djoehana dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di LP Cipinang. Vonis hukuman ini terabadikan dalam laporan koran Belanda Nederlandsche Dagbladpers yang terbit pada tanggal 21 Februari 1949.
"Darurat Militer Khusus. Di bawah kepemimpinan Letnan Kolonel W.Supheert, menjatuhkan hukuman mati kepada tiga orang Jepang di Garoet. Mereka adalah Aoki alias Abubakar, Hasegawa dan Yanagawa. Selanjutnya, Djuana WNI juga telah dijatuhi hukuman mati, karena melakukan aksi teroris sesuai tuntutan," katanya.
Ketiganya, kemudian dieksekusi mati. Namun, perihal kapan mereka meninggal dunia, masih menjadi perdebatan. detikJabar tempo hari sempat berkunjung ke makam Yang Chil Sung di Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut. Di batu nisan Yang Chil Sung, dinyatakan jika dia gugur tanggal 10 Agustus 1949.
Tapi, berdasarkan catatan sejarah yang terekam pada arsip koran Belanda, seperti dikutip detikJabar dari laman delpher.nl, Aoki, Hasegawa dan Yang Chil Sung ini ditembak mati Belanda pada 21 Mei 1949. Ada juga pers yang menyebut jika ketiganya dihukum mati pada tanggal 22 Mei 1949 dini hari. Tapi yang jelas, kala itu, mereka dieksekusi di hadapan rakyat di lapangan Kerkhof, atau yang kini dikenal sebagai Sarana Olahraga (SOR) Merdeka) Garut.
"Dini hari tanggal 22 Mei, hukuman mati dilaksanakan di Garut terhadap Aoki Jepang alias Abubakar, Hasegawa alias Uetman dan Yanagawa, alias Komaroedin. Yang pada saat itu telah dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Militer Khusus," tulis media Belanda, de Vrije Pers, terbit 25 Mei 1949.
Terlepas dari waktu kematian mereka, tapi berdasarkan penelusuran detikJabar, ada kisah menarik sebelum ajal menjemput Yang Chil Sung dan kawan-kawannya. Dimana, sehari sebelum eksekusi mati yang dilakukan oleh tentara Belanda kepadanya, Yang Chil Sung dan Aoki diketahui sempat meminta untuk dimakamkan secara Islam.
Selain itu, mereka juga meminta baju berwarna putih dan sarung warna merah saat dieksekusi Belanda. Sedangkan Sabila Dwi Yusrina menyebut, jika sebelum dieksekusi mati, Yang Chil Sung sempat ditawari untuk hidup oleh Belanda dengan dikirim ke negara asalnya, Korea Selatan.
Tapi, dikisahkan jika Yang Chil Sung kala itu berteriak 'Merdeka!' sebanyak dua kali, hingga akhirnya dieksekusi mati oleh Belanda. Jasad ketiganya, kemudian langsung dimakamkan di TPU Pasir Pogor, di Kecamatan Garut Kota.
Dalam rangka mengenang jasa ketiganya untuk masyarakat Garut, Pemerintah RI kemudian memindahkan makamnya ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Tenjolaya, di Kecamatan Tarogong Kidul. Namun, sama halnya dengan waktu kematian, pemindahan makam Yang Chil Seong ini juga masih menjadi teka-teki. Sebab, ada tiga versi waktu pemindahan makam yang kini beredar. Yakni pada tahun 1957, 1975 dan 1982.
Semula, sebenarnya tidak ada yang mengetahui jika Yang Chil Seong adalah seorang pemuda asal Korea Selatan. Sebab, dia dibawa oleh tentara Jepang, dan memiliki nama Janagawa atau Yanagawa Shichise. Adalah sejarawan asal Jepang, Ushumi Aiko yang berjasa mengungkapnya.
Sehingga, pada tahun 18 Agustus 1995, Pemerintah RI kemudian mengubah batu nisan di makam Yang Chil Sung, yang tadinya bertulis Yanagawa Shichise dan Komarudin, menjadi Yang Chil Sung dan Komarudin.
(tya/tey)