Mengenal 3 Pahlawan Wanita Jepara yang Dijadikan Tugu Perjuangan

ADVERTISEMENT

Mengenal 3 Pahlawan Wanita Jepara yang Dijadikan Tugu Perjuangan

ilham fikriansyah - detikEdu
Sabtu, 09 Nov 2024 14:30 WIB
RA Kartini
RA Kartini, salah satu pahlawan wanita dari Jepara. Foto: Arsip Nasional RI
Jakarta -

Jepara merupakan sebuah kota kecil yang terletak di Jawa Tengah. Meski bukan termasuk kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, tetapi Jepara memiliki tiga pahlawan wanita yang berkontribusi terhadap Tanah Air.

Salah satu pahlawan wanita tersebut adalah RA Kartini. Tentu, detikers sudah tak asing dengan sosok pahlawan wanita yang satu ini. Bahkan, masyarakat Indonesia turut memperingati Hari Kartini setiap tanggal 21 April.

Selain Kartini, ada dua pahlawan wanita lainnya asal Jepara, yaitu Ratu Kalinyamat dan Ratu Shima. Berkat perjuangan mereka dalam membela Tanah Air, dibangunlah Tugu Perjuangan Tiga Putri di Bundaran Ngabul, Jepara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ingin tahu seperti apa sosok ketiga pahlawan wanita Jepara tersebut? Simak pembahasannya dalam artikel ini.

Mengenal Sosok 3 Pahlawan Wanita Jepara

RA Kartini, Ratu Kalinyamat, dan Ratu Shima memiliki kisah perjuangannya masing-masing dalam membela Tanah Air. Simak kisah ketiga pahlawan wanita Jepara itu di bawah ini:

ADVERTISEMENT

1. RA Kartini

Raden Ajeng Kartini merupakan pahlawan wanita nasional yang terkenal. Lahir pada 21 April 1879 di Mayong, sebuah kota kecil yang masuk dalam wilayah Karesidenan Jepara.

Kartini mendapatkan gelar Raden Ajeng (RA) karena lahir di dalam lingkungan keluarga priayi dan bangsawan. Meski dari keluarga terpandang, hati Kartini tergerak untuk memperjuangkan hak-hak wanita lewat pemikiran kritisnya.

Mengutip buku Cerita Ulang Tokoh RA Kartini oleh Elvi Seila Suheila, Kartini menempuh pendidikan di sekolah dasar Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Kartini dikenal sebagai anak yang luwes, periang, dan pandai. Bahkan, ia fasih berbahasa Belanda karena rajin membaca buku.

Setelah lulus dari ELS dengan nilai yang baik, Karini berharap sang ayah bisa mengizinkannya untuk melanjutkan pendidikan di HBS. Namun sayang, di hadapan Bupati RM Sosroningrat, Kartini tak mendapat izin untuk melanjutkan sekolahnya.

Kartini kemudian menjalani pingitan dengan hanya berdiam diri di rumah. Ia dipaksa belajar menjadi putri bangsawan sejati yang taat pada sejumlah aturan. Lalu, Kartini juga diharuskan berbicara dengan suara halus dan lirih.

Meski hanya berdiam di rumah, Karini aktif mengirim surat dengan teman-temannya yang berada di Belanda. Kemudian, ia mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa, hingga akhirnya Kartini berusaha memajukan wanita pribumi.

Sebab, status sosial perempuan pribumi masih dipandang rendah dan tertinggal jauh. Poin utama yang menjadi perhatian bagi Kartini adalah masalah emansipasi wanita, dengan melihat perbandingan antara wanita Eropa dan pribumi kala itu.

Kartini juga menaruh perhatian terhadap masalah sosial. Menurutnya, wanita pribumi juga harus memperoleh persamaan kebebasan, otonomi, dan kesetaraan hukum.

Singkat cerita, RA Kartini dilamar oleh Raden Adipati Djojo Adiningrat. Namun, ada sejumlah syarat dari Kartini yang harus dipenuhi agar mau menikah, salah satunya diizinkan membuka sekolah dan mengajar putra-putri bangsawan di Rembang.

Adipati Djojo Adiningrat setuju dan akhirnya resmi menikahi RA Kartini. Dari pernikahan tersebut melahirkan seorang anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat.

Sayangnya, pasca melahirkan anak pertama kondisi kesehatan Kartini terus menurun dan dokter tak bisa berbuat banyak. Pada 17 September 1903, Kartini dinyatakan meninggal dunia pada usia 25 tahun.

Setelah Kartini wafat, Mr. JH Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan RA Kartini pada teman-temannya di Eropa. Kala itu, Abendanon menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.

Buku itu diberi judul 'Door Duisternis tot Licht' yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini diterbitkan pertama kali pada 1911, lalu dicetak sebanyak lima kali. Dalam cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi 'Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran', yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara.

Kemudian pada 1938, Armijn Pane yang merupakan seorang sastrawan Pujangga Baru menerbitkan buku dalam versi 'Habis Gelap Terbitlah Terang'. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan cara berpikir Kartini saat berkirim surat dengan teman-temannya.

Kumpulan surat milik RA Kartini berhasil menarik perhatian masyarakat berkat pemikirannya yang kritis. Hal itu juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh nasional lainnya, salah satunya WR Supratman yang menciptakan lagu 'Ibu Kita Kartini'.

2. Ratu Kalinyamat

Mengutip buku Ratu Kalinyamat: Sejarah atau Mitos oleh Bambang Sulistyanto, Ratu Kalinyamat merupakan putri Pangeran Trenggana dan cucu Raden Patah, yakni Sultan Demak pertama. Nama aslinya sendiri adalah Ratna Kencana.

Ratu Kalinyamat kemudian menikah dengan Pangeran Hadiri, putra Sultan Ibrahim dari Aceh yang bergelar Sultan Mughayat Syah. Sayang, pernikahan tersebut tidak berlangsung lama karena suaminya meninggal pada 1549 karena dibunuh oleh utusan Arya Penangsang.

Ratu Kalinyamat kemudian menggantikan posisi suaminya sebagai raja di Jepara. Semasa kepemimpinannya, Jepara makin berkembang pesat menjadi kekuatan baru di pantai utara Jawa. Di bawah kekuasaan Ratu Kalinyamat, Jepara juga memiliki armada laut yang kuat.

Ratu Kalinyamat juga ikut turun dalam peperangan. Pada 1573, ia diminta oleh Sultan Ali Mughayat Syah dari Aceh untuk menggempur Portugis di Malaka. Tak tanggung-tanggung, Ratu Kalinyamat mengirim sekitar 300 buah kapal dan 40 armada kapal berisi 5.000 prajurit.

Ratu Kalinyamat juga menjalin hubungan baik dengan sejumlah kerajaan di Jawa. Tujuannya untuk meningkatkan perdagangan di Jepara dengan daerah-daerah lainnya, seperti Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Johor, Maluku, hingga pasar internasional Malaka.

Ratu Kalinyamat diperkirakan memimpin Jepara selama 30 tahun, mulai 1549 hingga 1579. Selama dipimpin olehnya, Jepara berhasil mencapai kejayaannya di Nusantara.

3. Ratu Shima

Ratu Shima merupakan salah satu penguasa dari Kerajaan Kalingga. Ia berhasil mengubah Kerajaan Kalingga menjadi kekuatan besar dan meraih masa kejayaannya. Sebab, Ratu Shima menerapkan prinsip keadilan di dalam pemerintahannya.

Dalam buku Pasang Surut Runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha dan Bangkitnya Kerajaan Islam di Nusantara oleh Rizem Aizid, Ratu Shima merupakan putri dari Prabu Wasugeni. Ia resmi diangkat menjadi ratu kerajaan pada 674 M dengan menggantikan Prabu Kirathasingha yang merupakan suaminya karena meninggal dunia.

Semasa kekuasaannya, Ratu Shima dikenal sebagai pemimpin yang adil. Bahkan, ia hampir saja menjatuhkan hukuman mati untuk putra mahkota Kerajaan Kalingga. Hal itu karena putra mahkota berani menyentuh sebuah kantong berisi emas yang dimiliki oleh Ratu Shima.

Namun, hukuman mati tersebut berhasil dibatalkan karena Dewan Menteri Kerajaan Kalingga memohon agar sang putra mahkota tidak dihukum mati. Meski begitu, putra mahkota tetap dijatuhi hukuman dari Ratu Shima, yakni hukuman potong kaki karena bagian tersebut yang menyentuh kantong emas.

Meski terlihat kejam, tetapi gaya kepemimpinannya disukai oleh masyarakat karena adil dan sangat keras. Bahkan, ia menerapkan aturan kejam terhadap segala bentuk pencurian. Alhasil, masyarakat Kerajaan Kalingga menjadi lebih jujur dan selalu memihak terhadap kebenaran.

Itu dia sosok tiga pahlawan wanita Jepara yang membantu membela Tanah Air. Semoga kisah perjuangan mereka terus menjadi panutan bagi anak bangsa!




(ilf/fds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads