Ingatan Abidin (59) menengok jauh ke belakang. Sekitar 18 tahun lalu, tepatnya 21 Februari 2005, gunungan sampah mengepung kota kelahirannya, Bandung.
Lautan sampah di Kota Bandung disebabkan karena TPA Leuwigajah di Kota Cimahi yang meledak dan longsor. Akibatnya, TPA itu ditutup. Pembuangan sampah dari Bandung Raya yang bergantung ke sana pun mandek.
Baca juga: Bandung Terancam Jadi Lautan Sampah |
Sejak tahun 1982, Abidin sudah berprofesi sebagai pemulung dan pengurus sampah di TPS Turangga (Buahbatu). Namun, baru kali itu ia mengurus gunungan sampah yang membumbung semakin tinggi setiap harinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu Leuwigajah meletus, itu ngeri ya tumpukan sampahnya itu tinggi. Numpuk terus, sampai jalan meski nggak sampai ketutup sih jalannya alhamdulillah. Dari Pemkot minimal dua mobil masuk buat ngangkut, dulu juga belum ada gudang di dekatnya. Nah lahan kosong itu jadi tempat sampahnya, lebih luas dan muat banyak sampah. Nggak sampai nutup jalan," kenangnya saat ditemui TPS Turangga, Kamis (24/8/2023).
Abidin ingat betul, kala itu warga panik dan merasa terganggu karena tumpukan sampah makin tak terkendali. Bayangkan saja, lebih dari satu bulan sampah tak kunjung dibuang ke TPA. Antrean gerobak sampah pun terparkir lama di tepi-tepi jalan.
"Paling parah emang waktu 2005. Di mana-mana gampang nemuin tumpukan sampah, karena di TPS-nya udah tinggi banget, udah nggak mungkin nerima tumpukan sampah terus," ucap dia.
Abidin sempat dibuat ngeri beberapa waktu lalu. Ia khawatir pasca Lebaran kemarin sampah kota Bandung bakal tak terkendali lagi. Namun akhirnya ia lega setelah TPA Sarimukti kembali bisa dijadikan tempat pembuangan.
"Waktu kemarin dua minggu TPA Sarimukti ditutup (pasca Lebaran) itu sampah udah sampai ke jalan juga. Terus diangkut loader. Khawatirnya ini besok kayak gitu lagi. Akhirnya bu RW bilang sampahnya jangan ke sini dulu, warga juga ada yang protes kan mengganggu jalan. Jadi katanya mau jemput bola, jangan sampai begini numpuk. Mobil kosong, berangkat jemputin, kalau udah penuh baru ke sana," ujar Abidin.
Tapi sayang, Sarimukti kembali bergejolak. Sarimukti seolah tak mampu lagi menahan beban. Kini, TPA tersebut tengah dilanda kebakaran hebat. Berhektare-hektare lahan tumpukan sampah dilahap Si Jago Merah dan tak kunjung padam.
"Sekarang warganya udah tambah banyak, TPS banyak ditutup. Dulu tumpukan 2005 meluas sampai harus loader tiga hari tiap malam. Sekarang semoga nggak sampai kayak kemarin, nggak lah kata saya mah. Semoga bentar lagi padam. Ini tumpukan dari hari Selasa, semoga nggak sampai seminggu," harap dia.
Bayangan serupa juga lekat betul di pikiran Yeyet (60). Penjual kupat tahu dan lontong kari yang legendaris ini berdiri persis di sebelah TPS Cicendo. Ia masih ingat kala itu kiosnya jadi satu-satunya yang ada di situ. Keberadaan rumah makannya dikepung oleh berton-ton sampah.
"Dulu di sekitar sini nggak ada kios, itu sampai dua kontainer ngantri sampah numpuk di sana. Ngeganggu masyarakat juga sih. Jadi waktu itu ditutup dulu, lama sih kasusnya dua bulan darurat sampah. Numpuk sampai tinggi, meski memang dikondisikan supaya nggak berantakan, tapi penuh dan angkutan lambat gitu," kenang Yeyet.
Kala itu rumah makannya juga jadi sepi. Meskipun tempat makan ini terkenal dengan cita rasa dan aroma masakan yang mampu menutup bau sampahnya, tapi kala itu orang dibuat was-was makan disitu.
"Bau dan lalat itu pasti, sempet sepi karena jelas ngaruh ya. Tapi sebetulnya kalau sampah numpuk tapi nggak dioprek atau nggak ketambahan yang baru, itu nggak terlalu bau. Lalat-lalat itu akhirnya saya belikan obat supaya lalat itu datang tapi langsung mati, saya taruh di atap. Terus kita ekstra, pagi-pagi itu ada yang nyiapin terus dan ada yang nyapuin, bersih-bersih supaya nggak ada belatung sampah merembet," ucap Yeyet.
Dampak tumpukan sampah hingga kini belum ia rasakan. Ia pun hanya bisa berharap yang terbaik dan kebakaran TPA Sarimukti bisa terselesaikan agar TPS di dekatnya tak macet lagi.
"TPS macet itu sering, terutama tahun ini dari sebelum puasa sering numpuknya. Tapi ya gimana ini tempat saya dari dulu, da siapa juga yang mau ketempatan di deketnya ada sampah. Saya sudah disini dari mulai tempat sampahnya kecil sekarang tempat sampahnya udah besar banget," cerita dia.
"Belum nih (berdampak bau atau lalat), baru berapa hari. Saya juga belum dilarang buang ke sana. Masih boleh buang kesitu karena warga sekitar sini," imbuhnya.
Kang Pisman Belum Jadi Solusi
Bagi Abidin dan Yeyet, gunungan sampah pada 2005 dan tahun ini tak jauh berbeda. Program Pemkot Bandung soal Kang Pisman yang digalakan sejak tahun 2016 tak bisa jadi solusi nyata.
"Kang Pisman belum ada (tahun 2005), nah setelah ada pun nggak ada bedanya. Sama aja lah neng pokoknya mah. Terus terang orang mah maunya enaknya aja, males gitu siapa juga yang mau misah-misahin sampah. Padahal mah kalau udah bisa semuanya sukses gitu programnya," cerita Abidin.
"Pokoknya kita nunggu aja sampai normal lagi. Nggak ada himbauan Kang Pisman, dulu sempet sudah dikasih surat, sama RW dibikinin dua tempat sampah yang beda untuk organik anorganik. Tapi seminggu lagi udah balik kaya semula (dicampur lagi)," lanjutnya.
Sementara itu sebagai pengusaha rumah makan, Yeyet hanya mencoba memulai Kang Pisman secara perlahan. Ia mengaku belum menyelesaikan sampah dapur dari tempatnya.
Menurut dia, warga sekitar tidak mendapat sosialisasi secara langsung dan merasa kesulitan menerapkannya.
"Nggak ada diajarin secara langsung, ya kita belajar aja sendiri dari media kan banyak. Jadi saya pisahin biasanya sampah plastik bekas botol gitu sama sampah dapur. Pemerintah kalau pun sudah serius ini masyarakat masih kesusahan memilah sampahnya, penerapannya lieur (pusing)," ucapnya.
Kini, tumpukan sampah di TPS-TPS Kota Bandung seolah membayangi kita. Akankah tumpukan sampah itu kembali mengancam seperti puluhan tahun yang lalu?