Beberapa orang tua di Sukabumi mengeluhkan iuran atau sumbangan sekolah yang diduga pungutan liar (pungli) di salah satu sekolah dasar negeri (SDN) Kota Sukabumi. Salah satu orang tua siswa berinisial IA (43) menyampaikan hal tersebut.
Menurutnya, sekolah negeri seharusnya bebas dari pembayaran tambahan karena ditanggung oleh pemerintah. Namun pada kenyataannya, orang tua dibebankan uang iuran per bulan. Uang tersebut, kata IA, dikelola oleh Komite Sekolah.
"Permasalahannya adalah kan sekolah (negeri) itu gratis dari pemerinrtahnya, kenapa ada uang kas? Terus kalau ada guru yang pensiun atau keluar dari sekolah itu katanya ada uang kadeudeuh (hadiah), seikhlasnya, tapi ada angka minimal yang ditentukan," kata IA kepada detikJabar, Jumat (18/8/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi komite sekolah itu seolah-olah berperan penting dalam iuran itu. Kendalanya kan orang tua itu nggak mampu semua. Untung-untung kalau kita bisa maksain, pinjam sana-sini. Saya jujur sehari-hari jualan sayur di pasar, pabetot-betot (tarik-menarik) lah istilahnya," sambungnya.
Menurutnya, iuran tersebut selalu naik setiap kenaikan kelas. Pada tahun ini, ia harus merogoh kocek Rp20 ribu untuk uang kas per bulan. Ditambah ada pembelajaran tambahan (les) per siswa membayar Rp 40 ribu, lalu iuran gorden per siswa Rp 15 ribu.
"Jadi kalau dihitung-hitung sekolah negeri kayak sekolah swasta. Uang kas, uang kadeudeuh, dah banyak lagi. Jangan sampai seperti ini lah, kalau seragam itu setiap harinya beda (berganti-ganti) nggak kaya dulu dan itu harus beli. Kalau merah putih boleh (beli) dari luar. Kalau baju pramuka dan lain sebagainya itu harus dari sekolah kaya topi, kaos kaki harus dari sekolah," tuturnya.
IA meminta agar kebijakan itu dipertimbangkan lagi. "Ini sudah lama, kalau tidak diubah kasian orang tua tidak mampu semua," katanya.
"Harapannya ya ingin seperti biasa saja jangan banyak pungutan, katanya gratis dari pemerintah tapi kenapa banyak pungutan yang tidak jelas dengan dalin se-ridanya," sambungnya.
Orang tua lainnya berinisial AC (40) juga bersuara terkait iuran tersebut. Dia mengaku tak keberatan harus membayar iuran bulanan dan uang pembayaran pembelajaran tambahan bagi anaknya, namun dia juga merasa sepenanggungan dengan orang tua siswa lainnya.
"Kalau mengeluhkan (iuran) ya sama cuma kasian sama orang tua yang lain gitu. Kalau yang mampu sih nggak jadi masalah, cuma kasian yang nggak mampu tapi nggak bisa bersuara," kata AC.
AC mengatakan, jika memang iuran itu tidak bisa dihapuskan, Komite Sekolah dan kepala sekolah harus membuat kebijakan yang tidak memberatkan orang tua.
"Ya kalau nggak bisa dihapus dan memang membantu kebutuhan anak-anak terus kebutuhan tambahan untuk guru honorer nggak jadi masalah sebetulnya, tapi jangan memberatkan. Banyak sebetulnya yang keberatan, tapi tidak bisa lantang menyuarakan," ujarnya.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Komite Sekolah Ati Kusmiati menjelaskan, kebijakan iuran itu tak bersifat wajib. Menurutnya, iuran tersebut untuk mendukung berbagai macam kegiatan di sekolah yang tidak menggunakan dana BOS.
"Sebetulnya selama ini kita kan banyak kegiatan, faktor pendukung kegiatan tidak lepas dari pembiayaan dan selama ini kalau pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang tidak bisa dibiayai oleh dana BOS kan -mungkin kita ada kegiatan yang istilahnya iuran sukarela dari orang tua," kata Ati.
Menurutnya, penarikan iuran tersebut sudah disosialisasikan kepada para orang tua, termasuk tujuan penggunaan uang iuran tersebut. "Kita tidak memaksa harus ikut bayar, tanggal sekian harus ada, itu hanya bagi yang sukarela dan mau untuk menunjang kegiatan," ucapnya.
Ati membenarkan pihaknya sempat berencana akan menaikkan iuran per bulan. Namun karena mayoritas orang tua tidak sepakat, akhirnya besaran iuran pun kembali seperti semula.
"Memang ditentukan nominal, tapi nominal itu disepakati dulu, kembali kalau tidak sesuai ya tidak apa-apa. Disepakati oleh semua karena ada komite-komite. Adapun kemarin rencana kenaikan itu tidak kita laksanakan, kan kita juga sebelum naik (iuran) lihat dulu kemampuan dan kebutuhan, ketika kita tawarkan dan disepakati oleh semua akhirnya tidak ada kenaikan," ungkapnya.
Terkait ada penarikan uang untuk pembelajaran tambahan sepulang sekolah, dia mengklaim, pembelajaran tambahan itu merupakan permintaan orang tua dan bukan program sekolah. Iuran yang diminta pun akan diserahkan pada pengajar.
"Itu untuk siswa kelas 1-6 SDN. Kalau mereka tidak mau ya tidak apa-apa dan tidak dibeda-bedakan. Iurannya kepada guru sebagai jasa, mungkin seperti les di luar lah, jadi bukan untuk siapa-siapa, itu murni keinginan orang tua," tutupnya.
(orb/orb)