Bulan Agustus merupakan momen yang tepat untuk membahas cerita perjuangan bangsa Indonesia, kala itu para pejuang tengah mempersiapkan proklamasi kemerdekaan 78 tahun yang lalu.
Selain peristiwa penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, di Karawang juga terdapat kisah sejarah kelam pascakemerdekaan yang menarik untuk diulas.
Tepatnya di Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, berdiri sebuah monumen yang dari kejauhan nampak seperti piramida di tengah kampung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bangunan itu disebut dengan monumen Rawagede, monumen tersebut dibangun atas perjuangan tokoh setempat, yakni Sukarman, seorang sejarawan, sekaligus anak dari korban kekejaman tentara Belanda pada agresi militer tahun 1947.
Monumen dengan luas kurang lebih 400 meter persegi itu, berjarak 15,2 kilometer atau sekitar 29 menit waktu tempuh dari pusat kota Karawang itu, kini sudah nampak usang, terdapat beberapa orang remaja yang tengah berteduh sembari menumpang wifi di area bangunan tersebut, karena bangunan itu dibentengi pepohonan yang nampak asri. Sedangkan Pak Sukarman sendiri tengah sibuk membuka lembaran-lembaran buku di kursi yang berada di area aula pemakaman.
"Bangunan ini ada 4 bagian, dari depan disisakan sedikit untuk parkir sebelum masuk gerbang, bagian tengah merupakan monumen yang dikelilingi hiasan tanaman kiserut," ujar Sukarman, sembari menunjukkan bagian monumen, ketika ditemui pada Sabtu (12/8/2023).
Sedangkan bagian tengah bangunan tersebut merupakan aula tanpa dinding yang menghadap langsung ke permakaman di bagian belakang bagian area monumen.
"Ini aula, menghadap langsung ke arah pemakaman, di belakang benteng area dihiasi dengan relief yang menceritakan sejarah Rawagede, di kiri kanannya terdapat 2 pohon beringin yang besar dan kedua toilet," kata dia.
Sukarman menceritakan, permakaman tersebut diberi nama Permakaman Sampurna Raga, yang di dalamnya terdapat ratusan jenazah korban keganasan tentara Belanda.
"Kalau yang dimakamkan di sini ada 181 jenazah, kalau total korban 431 orang, korban ini merupakan masyarakat sipil dan pejuang yang jadi sasaran keganasan tentara Belanda pada 9 Desember 1947 lalu," ungkap Sukarman.
Kala itu, kata Sukarman, tentara Belanda kembali datang ke Indonesia mengikuti bersama Sekutu. Dengan maksud kembali menjajah bumi pertiwi, dengan agresi militer.
"Sekitar tahun 1947 itu, Belanda sudah berhasil menguasai Jawa Barat. Di sisi lain, sebagian besar pejuang Indonesia dan Tentara Republik Indonesia (TRI) mundur ke pedesaan dan bergabung dengan rakyat untuk membangun basis pertahanan melawan Belanda. Salah satu basis pertahanan itu, ya tempat ini," ucapnya.
Desa Rawagede yang saat ini bernama Desa Balongsari sendiri, kata Sukarman, merupakan desa strategis kala itu, yang dijadikan sebagai basis pertahanan dan gerilya.
"Desa ini merupakan desa yang strategis, dari segi akses juga mudah dijangkau oleh kendaraan, bahkan dahulu desa ini juga menjadi perlintasan kereta api," terang Sukarman.
Rawagede kala itu, berada tepat di tengah segitiga konsentrasi tentara Belanda, yang telah membangun markas di Rengasdengklok, Cikampek, dan Karawang.
"Selain letaknya di tengah, saat itu di sini juga sudah terbentuk pemerintahan pamongpraja, atau pemerintahan sipil waktu itu, pimpinannya adalah Camat Wangsadijaya, jadi itu sebabnya para pejuang dan TRI merasa aman bermarkas di sini," ungkapnya.
Sukarman menuturkan, di Rawagede terdapat kekuatan dari dukungan para pemuda berbagai kelompok, yang tergabung dalam Kesatuan Pertahanan Pamongpraja RI, markasnya dinamai Markas Gabungan Pejuang (MGP) Republiekein
"Desa ini dulunya juga menjadi incaran Belanda karena merupakan tempat MGP Republiekein, di sini terdapat pasukan bambu runcing, barisan benteng Republik Indonesia, Markas Pertempuran Hizbullah dan Sabilillah, Satuan Pemberontakan 88 (SP 88) dan beberapa TRI yang tidak ikut berpindah ke Yogyakarta," ujar dia.
Mengetahui adanya markas gabungan tersebut, kata Sukarman, Belanda kemudian berencana menyerang Rawagede. Rencana tersebut telah diketahui oleh Lurah Saukim, Kepala Desa Tunggakjati yang berpura-pura memihak kepada tentara Belanda.
"Lurah Saukim memberitahu orang-orang yang berada di MGP Republiekein ini melalui surat, bahwa pada tanggal 9 Desember 1947, Belanda akan menyerbu tempat ini secara besar-besaran, pasukan gabungan di sini pun bersiap menghadapi Belanda," kata Sukarman.
Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Alphons J. H. Wijnen pun datang dan mengepung Rawagede dengan posisi siap tempur sejak pukul 04.00 WIB 9 Desember 1947. Pasukan Belanda mengepung Rawagede dari arah timur, utara, dan selatan.
"Penduduk saat itu panik, mereka mendengar suara tembakan memberondong dari arah timur sehingga berhamburan menyelamatkan diri. banyak dari penduduk yang tertembak, bahkan sampai meninggal," kata dia.
Tentara Belanda membantai habis warga Rawagede pada subuh hari kala itu, khusunya para pria dewasa jadi sasaran tembak serdadu Belanda dari jarak tembak kurang lebih tiga meter.
"Belanda tidak hanya menembaki penduduk dengan senjata mereka, bahkan rumah penduduk yang ada lambang-lambang republik atau simbol kelaskaran pun dibakar Belanda," pungkasnya.
(yum/yum)