Irama musik mengalun begitu asyik di panggung hiburan peluncuran Album Kompilasi Musik Trotoar di Stadion Sidolig, Kota Bandung. Mereka musisi jalan yang manggung untuk mengisi acara.
Penonton pun bersorak. Kepala mengangguk mengikuti alunan musik, ada juga yang geleng-geleng. Di depan panggung, beberapa musisi jalanan lainnya menonton ikut bergoyang tipis-tipis.
Susana begitu cair. Di balik suasana asyik itu, ada asa yang diusung Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Bandung. Organisasi yang menaungi pengamen di Bandung dan otak di balik gagasan peluncuran album musik trotoar. KPJ mengharapkan agar pengamen bisa naik kelas.
Di samping panggung meriah itu, pria bersongkok khas Sunda dan berkemeja corak kotak-kotak tampak ramah ikut menganggukkan kepala. Sesekali, pria itu melayani obrolan rekannya yang berada di samping panggung.
Cepi Suhendar. Seniman asli Bandung yang kini menjabat Ketua KPJ Bandung. Kepeduliannya terhadap nasib musisi jalanan tak perlu diragukan lagi. Sebab, Cepi juga dibesarkan dari kerasnya jalanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria kelahiran Kelurahan Cibangkong, Kota Bandung itu, terpaksa harus menggantungkan hidupnya di jalanan pada tahun 1990-an. Bermodal gitar dan harmonika, Cepi mengadu nasibnya.
Cepi tumbuh dari kehidupan yang keras, cacian dan makian, pertarungan kekuasaan di jalanan, hingga dekat dengan kejahatan. Sebab, bagi Cepi, kehidupan di jalanan hanya punya tiga jalur, yakni kuburan, penjara, dan rumah sakit.
"Kenapa saya bilang kuburan, karena dekat dengan ancaman kematian kalau hidup di jalanan. Ya, banyak ancaman kalau hidup di jalanan," kata Cepi saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.
Kemudian, Cepi melanjutkan pandangannya soal kehidupan di jalanan. Ia menyebut penjara adalah tempat yang sangat berdampingan. Kala itu, pada era 90-an, menurut Cepi, hukum di Indonesia tak seperti sekarang. Narkoba dan barang haram lainnya beredar begitu deras.
"Kalau di penjara saya tidak pernah. Tapi ditahan di polsek pernah, sembilan hari saya ditahan. Itu karena saya berkelahi. Dulu itu ya gitu, sering bentrok karena sesuatu hal," ucap Cepi.
"Selain itu, di jalanan juga dekat dengan rumah sakit. Kalau ribut di jalanan, ujung-ujungnya ke rumah sakit. Mana bisa bayar kita, jadi kadang kabur setelah dirawat karena nggak bisa bayar," kata Cepi menambahkan.
Saat era itu, pria berusia 42 tahun itu mengaku hanya mendapat sekitar Rp 5 ribu per hari. Saat itu, nilai tukar Rupiah berbeda dengan hari ini. Penghasilannya hanya cukup untuk sehari-hari.
"Sekarang teman-teman bisa dapat Rp 75 ribu sampai Rp 100 ribu," ucap Cepi.
Tak Lupa Jalanan
![]() |
Setelah saban hari berteman debu dan kerasnya jalanan, Cepi terbesit untuk keluar dari zona itu. Tepat saat Pemilu terbuka pertama, yakni pada 2004, Cepi memilih untuk berwirausaha. Namun, tak jauh dari aktivitas seni.
Cepi kembali ke basic keilmuannya. Ia mulai bermain dengan logam, resin dan kayu. Ia mengolah logam hingga resin menjadi seni rupa yang bermanfaat.
"Berhenti di jalan 2004. Saya kerja. Terus usaha sendiri. Saya punya workshop bidang seni rupa, bikin kriya, handicraft. Hasilnya masuk ke bidang properti, semacam buat pintu air otomatis," kata Cepi.
"Jadi, si pintu air otomatis itu bisa mengatur drainase. Kemarin, katanya itu pesanan yang saya buat untuk di IKN," ucap Cepi menambahkan sembari tersenyum.
Meski sudah berdikari melalui seni kriyanya, Cepi tetap tak meninggalkan jalanan. Ia tetap aktif di KPJ, bahkan menjabat sebagai ketua. Cepi juga kerap mempekerjakan teman-temannya saat mendapatkan proyek pengerjaan seni kriya.
"Kadang 20 orang kita libatkan untuk kerja. Ada juga didikan saya yang buka sendiri untuk bikin papan selancar dan lainnya, itu yang di Bali. Ya, mereka harus bisa bergeser dari zona nyamannya untuk mengembangkan keahliannya," kata Cepi.
Pilihan hidupnya untuk tetap bergelut pada bidang seni membawanya pada kehidupan yang lebih baik. Cepi pun mampu menguliahkan anaknya. Pria tiga anak itu ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak.
Melalui KPJ, Cepi terus berupaya memberdayakan musisi jalanan. Tahun ini, KPJ menerbitkan Album Kompilasi Musik Trotoar. Album yang berisi karya-karya pengamen Bandung. Ada 10 musisi jalanan yang masuk dalam album itu, masing-masing musisi jalanan menyumbangkan satu lagu.
Cepi berharap album tersebut bisa mengerek kehidupan yang layak bagi musisi jalanan. Karena, lanjut dia, album tersebut bisa dinikmati oleh masyarakat luas melalui platform digital.
(sud/iqk)