Gorge Francois Rambonnet alias Si Rambo memegang pucuk kepemimpinan sebagai Wali Kota pertama di Sukabumi pada tahun 1926. Sejak awal menjabat, ia sudah dihadapkan dengan berbagai macam persoalan dari mulai tata ruang, gedung pemerintahan hingga anggaran. Bahkan, ia pernah terlibat skandal selama memimpin Kota Sukabumi.
Ketua Yayasan Dapuran Kipahare Irman Firmansyah mengatakan, Si Rambo terpilih sebagai Wali Kota dengan melalui proses panjang sejak satu tahun sebelum terpilih. Tak seperti saat ini, Kota Sukabumi dulunya dikenal kota yang kumuh, anggaran dari pemerintah Hindia Belanda pun masih sangat minim.
Tak hanya itu, Rambonnet juga merangkap jabatan sebagai sekretaris kota. Dengan jabatan ganda itu, ia tak mendapatkan rumah dinas karena kondisinya yang tidak layak dan masih ditempati oleh Mr. Stede, seorang veteran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat kondisi kota yang masih amburadul, akhirnya pada Mei 1926 Rambonnet mengirimkan telegram kepada seorang arsitek, Eugene Knaud. Dengan bantuan Knaud, Rambonnet mengambil beberapa tidak populer sehingga banyak menerima penentangan seperti menghentikan pekerjaan yang melenceng dari perencanaan, mengadukan orang-orang yang tidak produktif atau orang-orang yang bekerja asal-asalan.
"Penentangan lebih keras terjadi saat pengaspalan jalan-jalan kota yang berlangsung cukup lama, jalan-jalan tanah kemudian diperkeras dan diaspal sehingga menimbulkan banyak debu dan polusi. Penentangan juga terjadi di daerah-daerah kumuh yang dibongkar karena banyak bibit penyakit," kata Irman.
Rambonnet dan sang arsitek Knaud melanjutkan pembangunan kota dimulai dari masa peralihan afdeling dan gemeente awal. Beberapa gedung yang dibangun pada masanya yaitu Ruko Capitol.
Ruko tersebut diresmikan pada Juli 1930 oleh G.F Rambonnet dengan pengguntingan pita oleh Nini Rambonnet (anak pertama Rambonnet). Kemudian dilanjutkan dengan Kantor Pos tahun 1928, Holland Chinese School (HCS) tahun 1930 dan terakhir gedung Wali Kota (Balai Kota) yang selesai dibangun tahun 1933.
Sementara itu, bangunan komersil yang dibangun di antaranya Toko Tan (1930), Restoran Central (1932), bioskop, dan pertokoan lainnya. Termasuk layanan penyediaan air ledeng di Sukabumi yang bersumber dari mata air di Palasari Selabintana diresmikan pada 19 Mei 1927. Sedangkan untuk energi listrik, bersumber dari Ubrug untuk menggantikan lampu gas.
Beberapa kegiatan rutin warga juga diambil alih gemeente seperti jagal hewan disentralisir di rumah jagal (slachthuis) dengan tujuan agar kebersihan tempat pemotongan hewan terjaga dan dagingnya bisa dikontrol dengan baik. Pasar-pasar juga diambil alih dan membentuk passer gemeente dengan desain lebih modern menggunakan rangka plat yang diproduksi NV Braat.
Skandal G.F Rambonnet
Rambonnet menduduki jabatan Burgemeester Sukabumi sampai awal 1934. Pasca peresmian Gedung Gemeente (Balai Kota) rupanya Rambonnet tidak sempat mengisi gedung baru tersebut karena dipindahkan ke Buitenzorg (Bogor) dan menjabat sebagai wali kota.
Saat mengisi jabatan baru sebagai Wali Kota Bogor, Rambonnet tak bisa tenang karena diserang pemberitaan media Bataviaasch Nieuwsblaad yang membuka kebobrokan administrasinya saat menjabat Wali Kota Sukabumi.
"Dia dituduh melakukan maladministrasi dan penyimpangan keuangan. Akibatnya, Kejaksaan Umum dan Kantor Desentralisasi terlibat dalam penyelidikan. Laporan penyelidikan kedua lembaga tersebut hasilnya sangat buruk, sehingga membuatnya kian tersudutkan," ungkap Irman.
Manajemen yang dilakukan Rambonnet diduga amburadul sehingga banyak arsip yang hilang atau tidak tercatat. Pada akhir 1933, dalam konsultasi dengan Komite Dewan, mulailah dibuat pengenalan arsip dengan sistem kartu.
Sistem tersebut baru dijalankan oleh Rambonnet mulai 1 Januari 1934, sementara arsip-arsip sebelumnya tak terurus. Selain itu, Rambonnet juga didakwa melakukan penyalahgunaan uang gaji dan tunjangan cuti.
Nahasnya, pemerintah pusat membatalkan keputusan Dewan Kota Sukabumi pada 16 Maret 1932. Rambonnet diduga menerima sejumlah uang sebagai tunjangan saat ia merangkap jabatan sebagai wali kota dan sekretaris daerah.
"Hal ini berakibat besar karena Rambonnet harus mengembalikan sejumlah uang (uang pengganti) yang dia nikmati dalam masa kepemimpinan hampir delapan tahun, ditambah saat dia mengambil haknya ketika cuti ke luar negeri," ujarnya.
Baca juga: Potensi Gempa Megathrust Mengancam Sukabumi |
Irman mengatakan, kasus tersebut sudah muncul menjelang akhir masa jabatannya sekitar tahun 1929. Rambonnet pun sempat melakukan pembenahan namun terlambat.
Akibat permasalahan tersebut, wali kota pengganti Rambonnet yaitu Van Unen merasa kesulitan karena tidak ada data dan kearsipan pemerintah yang bisa ia gunakan sebagai rujukan. Irman mengatakan, Van Unen sempat mencoba membela Rambonnet selama masa penyelidikan namun ibarat nasi sudah menjadi bubur, isu tersebut sudah terlanjut menyebar dan Rambonnet harus mengajukan pailit kepada pemerintah Hindia Belanda.
(mso/mso)










































