Pengobatan untuk patah tulang dan gangguan kesehatan lain pada bagian tulang dan syaraf bisa ditempuh dengan dua cara, medis dan tradisional. Keduanya punya kelebihan dan target pasarnya masing-masing.
Salah satu daerah yang tenar dengan pengobatan tradisional seperti itu ada di Desa Citapen, Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Bahkan Citapen sampai dijuluki sebagai daerah 'bengkel tulang' oleh orang-orang.
Di sepanjang Jalan Raya Cililin-Cihampelas, berderet plang bertuliskan 'Pengobatan Tradisional Mengobati Patah Tulang, Keseleo, dan Urat' serupa plang praktik dokter umum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati banyak pilihan pelaku pengobatan tradisional yang bisa didatangi, namun sebagian orang merujuk ke beberapa nama yang memang sudah kadung tenar, salah satunya Haji Obay.
"Haji Obay itu praktik sejak tahun 70-an. Tapi kalau Haji Obaynya itu sudah meninggal sekitar empat tahun lalu," ujar Cecep Faisal, anak keempat Haji Obay saat berbincang dengan detikJabar, Sabtu (17/6/2023).
Sepeninggal sang ayah, kini Cecep memegang tanggungjawab melanjutkan praktik pengobatan tradisional yang telah dimulai sejak generasi awal oleh sang kakek, Mama Hamidi. Namun Cecep tak sendiri, ia tetap diawasi oleh sang ibu, Hj Enok Jamilah Kusmayati (73).
"Sekarang saya yang melanjutkan, setelah bapak saya meninggal tahun 2019. Kalau yang tanggungjawab itu sekarang masih sama ibu saya, Hj Enok Jamilah. Jadi dua-duanya praktik bareng sejak dulu. Kalau sekarang gantiannya sama saya," kata Cecep.
Haji Obay punya nama lengkap Obay Suhendi. Ia meninggal di usia 75 tahun. Cecep bercerita kalau ayahnya itu merupakan warga asli Desa Citapen. Sang ayah mendapatkan ilmu untuk mengobati patah tulang, syaraf, dan urat dari sang ayah, Mama Hamidi yang menjadi cikal bakal pengobatan tradisional di Citapen.
"Jadi memang diturunkan ilmunya dan ayah saya belajar dari kakek, Mama Hamidi setelah itu turun ke saya. Jadi memang kita sudah diajarkan (pengobatan patah tulang) itu sejak muda," ucap Cecep.
Selain karena pelajaran yang didapat dari sang ayah, Cecep mengaku kalau keterampilannya menangani kasus-kasus patah tulang dan cedera lainnya terasah oleh waktu, intensitas, dan pengalaman yang kian banyak.
"Ya pastinya belajar anatomi tubuh manusia dan juga belajar dari pengalaman yang membuat saya mengerti posisi tulang. Tapi utamanya ya karena sejak kecil sudah mendapatkan pengajaran dan mulai praktik sejak kelas 6 SD. Jadi saat SMP sudah dilepas untuk menjalani praktik sendiri," ujar Cecep.
Sekeras dan setekun apapun ia belajar, menurutnya keterampilannya saat ini masih belum bisa disandingkan dengan yang dimiliki oleh ayahnya apalagi kakeknya. Sebab ada beberapa fase khususnya soal tarekat yang masih belum dijalankannya.
"Jadi pengobatan oleh ayah dan kakek saya itu tidak terlepas dari doa juga. Nah kalau saya belum di fase itu. Jadi saya pernah lihat ayah saya mengobati pasien panggul lepas. Dulu itu hanya sekali pijat bisa langsung jalan lagi. Kalau sama saya mungkin butuh waktu lama bisa normal lagi," ujar Cecep.
Namun ia dan saudara-saudaranya tetap berusaha keras melanjutkan praktik pengobatan yang diwariskan pendahulunya. Cecep tak sendiri, ia menjalankan tempat praktik itu dengan puluhan orang mulai dari adik, paman, serta keponakan-keponakannya yang lain.
"Jadi semua sudah punya keterampilan memijat. Tapi kalau yang terapi patah tulang itu masih sama saya, ibu, terus paman. Jadi ada beberapa orang yang gantian shift setiap harinya, dari jam 7 pagi sampai jam 9 malam," tutur Cecep.
(iqk/iqk)