Mengenal Tradisi Ngabungbang di Muara Sukawayana Sukabumi

Mengenal Tradisi Ngabungbang di Muara Sukawayana Sukabumi

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Jumat, 16 Jun 2023 07:30 WIB
Muara Sukawayana, pada waktu-waktu tertentu kerap didatangi para pelaku spiritual dari berbagai daerah.
Muara Sukawayana, pada waktu-waktu tertentu kerap didatangi para pelaku spiritual dari berbagai daerah. (Foto: Syahdan Alamsyah/detikJabar)
Sukabumi -

Di Kabupaten Sukabumi, ada sebagian orang masih menjalankan ritual Ngabungbang yang dilakukan di setiap awal bulan Rabiul Awal atau disebut juga bulan Mulud dalam penanggalan Hijriah. Ritual Ngabungbang ini dilaksanakan di muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak.

Ngabungbang adalah sebuah tradisi yang dijalankan sejak bertahun-tahun silam. Bagi mereka yang percaya dan meyakini tradisi itu digunakan sebagai ajang olah lelaku batin. Keterangan diperoleh ada makna dibalik kalimat Ngabungbang.

"Ngabungbang berasal dari dua kata nga dan bungbang. Nga berarti menyatukan lalu Bungbang artinya membuang atau membersihkan. Intinya menyucikan diri, menyatukan cipta rasa dan karsa," kata Achmad (40) salah seorang warga Bogor pelaku spiritual, kepada detikJabar saat ditemui di Muara Sukawayana, Kamis (15/6/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Achmad menceritakan, tradisi Ngabungbang dilakukan setiap malam 14 Mulud. Namun menurutnya di hari-hari biasapun banyak para pelaku spiritual yang datang untuk sekadar bermalam di muara Sukawayana.

"Kalau pas malam 14 Mulud itu dari mana-mana datang, dari pejabat sampai para artis. Tidak hanya di Muara tapi juga di pertengahan sungai ramai orang berdesakan, selain menyucikan diri ada juga yang sengaja membawa barang pusaka untuk dimandikan, untuk menyegarkan pusaka yang dimiliki," ujar Achmad.

ADVERTISEMENT

Menurut Achmad, tradisi Ngabungbang tidak melihat latar belakang keyakinan. Semua orang bisa ikut dengan maksud dan tujuan masing-masing. "Ini kan tradisi, bukan merujuk pada salah satu keyakinan atau agama tertentu," imbuhnya.

Heni Adom, warga Ridogalih, Kecamatan Cikakak mengaku kerap mengikuti tradisi ngabungbang. Ia sengaja ikut hanya dengan tujuan melihat keramaian sekaligus mencoba mandi di sungai tengah malam.

"Kalau kata orang tua dulu, tradisi ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Pajajaran, tradisi itu dilestarikan hingga saat ini. Sungai Sukawayana sendiri berada di Gunung Tangkil, di kawasan Cagar Alam Sukawayana. Batas kerajaan Pajajaran itu bagi yang percaya ada di Sungai Sukawayana," ungkap Adom.

Hal serupa pernah diungkap Kades Cikakak Dede Mulyadi dalam sebuah perbingan denga dengan detikJabar. Ia mengatakan di tepian Gunung Tangkil, di bawah Cagar Alam Sukawayana terdapat aliran Sungai Cisukawayana dimana lokasi itu selalu diadakan tradisi ngabumbang setiap tanggal 14 Maulid di penanggalan Hijriyah.

"Tradisi itu sudah ada sejak berdirinya Desa Cikakak di tahun 1880, itu berdasarkan sejarah desa ya. Jadi runutan sejarahnya sudah lama, dilakukan tiap tanggal 14 mulud, kalau tahun ini sekitar dua minggu yang lalu di bulan Oktober," kata Dede Kamis (27/10/2022) lalu.

Dede menjelaskan bagi kalangan spiritual tradisi ngabumbang adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dilakukan di kawasan tersebut.

"Bagi yang meyakini, tradisi itu dianggap sebagai sarana pembersihan diri baik lahir maupun batin. Itu dilakukan dengan mandi bersama di aliran Sungai Cikakak (Sukawayana), saat kemarin itu mulai dari siang, sore hingga malam," ungkapnya.




(sya/tya)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads