Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang bermula dari pengiriman tenaga migran ke luar negeri, akhir-akhir ini merebak di Jawa Barat. Polda Jabar pun mencatat 56 persen tenaga kerja yang kerap dijuluki pahlawan devisa itu berstatus ilegal saat diberangkatkan untuk mengadu nasib negeri orang.
Dalam keterangannya, Kabid Humas Polda Jabar Kombes Ibrahim Tompo mencatat hingga sekarang sudah ada sekitar 1.045.517 warga Jawa Barat di 23 kabupaten/kota yang berstatus sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Lebih dari setengahnya, tepatnya 56 persen, ternyata berstatus sebagai pekerja migran.
"Dari data yang ada secara umum, kurang lebih sekitar 56 persen ini ilegal. Sehingga ini menjadi atensi kita untuk melakukan pengungkapan," katanya, Minggu (11/6/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibrahim pun merinci lima daerah di Jabar yang warganya menjadi penyumbang terbanyak tenaga migran di luar negeri. Mulai dari Cianjur, Subang, Sukabumi, Indramayu dan Bogor, tercatat sebagai 5 daerah tertinggi di Jawa Barat yang warganya banyak berstatus sebagai TKI.
"Provinsi Jawa Barat sendiri termasuk 10 besar dengan jumlah tenaga migran di Indonesia. Jadi lima wilayah tadi menjadi yang paling besar daerah yang cukup rawan terjadinya tindak pidana perdagangan orang," ucapnya.
Ibrahim mengungkap, sesuai atensi Presiden Joko Widodo, Polda Jabar telah membentuk Satgas TPPO untuk menangani kasus tersebut. Namun jauh sebelum satgas ini dibentuk, kata Ibrahim, Polda sudah beberapa kali menangani kasus pekerja migran bermasalah di luar negeri.
Misalnya pada 2020, Polda Jabar mencatat sudah menangani 26 kasus TPPO. Dalam pengungkapan tersebut, ada 28 perempuan dewasa dan 3 anak yang menjadi korban, ditambah 28 lelaki dewasa yang berhasil dipulangkan dari luar negeri.
Kemudian pada 2021, Polda Jabar mencatat telah menangani 24 kasus TPPO. Di kasus ini, 23 perempuan dewasa menjadi korban, 12 orang anak di bawah umur dan 3 orang laki-laki dewasa. Selanjutnya pada 2022, Polda mencatat 31 kasus sudah ditangani. Korbannya mencapai 27 orang perempuan dewas dan 11 anak di bawah umur.
Sedangkan hingga akhir 2023, Polda Jabar mencatat laporan kasus TPPO meningkat secara drastis. Ibrahim mengungkap, hingga 9 Juni 2023, sedikitnya sudah ada 37 kasus dengan 82 orang menjadi korban dan berhasil dipulangkan kembali ke Jawa Barat.
"Kemudian dari 37 kasus tersebut, sebanyak 59 jadi tersangkanya. Dari 37 laporan polisi yang ada, ini ada 3 di antaranya yang menggunakan perusahaan. Namun perusahaan ini merupakan perusahaan yang tidak terdaftar sebagai penyedia tenaga kerja atau penyalur tenaga kerja. Nah selebihnya yang lain adalah melalui perorangan," ujarnya.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Yani Sudarto menambahkan, ada 3 modus yang biasanya dilakukan para pelaku TPPO. Mulai dari modus konvensional dengan mendatangi langsung calon pekerja migran, memberikan tawaran di media sosial dan modus melalui perusahaan yang ujungnya malah tidak sesuai komitmen dari awal kesepakatan kerja.
"Untuk modus konvensional ini biasanya para perekrut langsung datang ke sasaran. Ini bisa jadi mereka juga mantan PMI yang pulang ke Indonesia, dia membawa saudara atau tetangganya," katanya.
"Untuk modus melalui media sosial, agar diwaspadai oleh seluruh masyarakat bahwa media sosial yang menawarkan lapangan pekerjaan di luar negeri atau sebagainya itu dicek kembali kredibilitasnya. Apakah itu perusahaan abal-abal atau memang resmi dari pemerintah. Kemudian modus melalui perusahaan yang resmi, tetapi penempatannya itu tidak sesuai dengan komitmen awal," tuturnya menambahkan.
"Secara teknis, mereka biasanya membawa, memberangkatkan korban ke luar negeri tanpa prosedur kemudian melakukan bujuk rayu, tipu muslihat, dan dijerat dengan utang. Biasanya dikasih uang dulu, dan itu dihitung nanti, biayanya berapa, dan nanti akan dipotong ketika mereka menerima gaji. Kemudian menempatkan sebagai asisten rumah tangga, dan pekerja di restoran, di hotel, dan sebagainya. Tapi kenyataannya pada sampai di tempat tujuan, dia dieksploitasi secara seksual.Kemudian ada juga yang eksploitasi kepada mereka yang di bawah umur.
"Untuk modus melalui media sosial, agar diwaspadai oleh seluruh masyarakat bahwa media sosial yang menawarkan lapangan pekerjaan di luar negeri atau sebagainya itu dicek kembali kredibilitasnya. Apakah itu perusahaan abal-abal atau memang resmi dari pemerintah. Kemudian modus melalui perusahaan yang resmi, tetapi penempatannya itu tidak sesuai dengan komitmen awal," tuturnya menambahkan.
Adapun negara tujuan yang paling banyak memberangkatkan tenaga migran ilegal adalah negara di Timur Tengah. Dari hasil pengungkapan tersebut, puluhan orang telah dijerat dengan UU No 21 Tahun 2007 tentang TPPO dan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
(ral/mso)