Taksi online yang menjemput penumpang di Stasiun Cimekar, Bandung dihadang oknum ojek pangkalan (opang), Kamis (18/5) lalu. Penghadangan ini terjadi karena ada larangan angkutan online menarik penumpang di kawasan tersebut.
Kejadian itu bukan pertama kali terjadi di Kota Bandung, melainkan terus berulang. Sebelumnya, taksi online yang melintas di kawasan Pasirimpun, Kecamatan Antapani juga dihadang oleh oknum opang. Alhasil, ratusan driver ojek online mendatangi pangkalan opang yang ada di Pasirimpun.
Pakar Transportasi Sony Sulaksono menilai, dari runtutan kejadian itu terjadi potret aroganisme yang dilakukan oleh oknum opang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di sini terjadi satu potret aroganisme, jika dilihat dari segi sosial ini bentuk premanisme, enggak bisa kita memaksa orang naik taksi online dan ini hak penumpang, penumpang berhak memilih enggak boleh dipaksa-paksa," kata Sony dihubungi detikJabar via sambungan telepon, Senin (22/5/2023).
Sony menyebut, pemerintah harus hadir menyikapi permasalahan ini. Menurut Sony, tidak ada keseriusan pemerintah mengatur regulasi antara angkutan online dan konvensional.
"Ini masalah sosial, pemerintah harus hadir dan saya melihat pemerintah tidak hadir dengan serius. Masalah ojek pangkalan bukan masalah kuat-kuatan, memang ada pemaksaan orang harus gunakan jasa mereka," ungkapnya.
"Ini gak bener, pemerintah bukan gak tahu, sangat tahu, pertanyaannya? Mengapa mendiamkan permasalahan ini, kalau diajak dialog pasti akan temukan titik temu, ini semua cenderung peran pemerintah," tambahnya.
Dalam aturan, Sony menuturkan, tidak ada zona merah bagi angkutan online.
"Sikap seperti itu bentuk premanisme, enggak ada yang namanya zona merah, semua wilayah itu Negara Kesatuan Republik Indonesia, enggak boleh dikuasai, enggak boleh seperti itu," tegasnya.
Seperti diketahui, penumpang lebih memilih angkutan online karena praktis dan ongkosnya dapat diketahui. Jika angkutan online tidak boleh masuk ke kawasan stasiun, ojek pangkalan juga harus transparansi soal tarif ongkos bagi penumpang.
"Kalau memang taksi online tidak boleh masuk di kawasan tertentu jelas salah. Tapi kalau kondisi sosial seperti itu, gak apa-apa, online gak boleh masuk tapi tarif ojek pangkalannya harus diset enggak boleh seenaknya. Misalnya kasusnya di Stasiun Cimekar radius 2-3 KM maksimum Rp 10 ribu, setelah itu mangga. Oke, online enggak masuk tapi ojek pangkalan jangan semena-mena. Kesepakatan juga harus win-win solution, untuk siapa? Untuk penumpang," jelasnya.
Sony menilai, regulasi aturan angkutan online ini belum jelas. Harus ada ketegasan dari pemerintah karena yang akan dirugikan adalah penumpang.
"Ini daerah abu-abu dan pemerintah juga ambigu untuk membuat regulasi itu. Jadi selalu mengatakan kalau ada kendaraan nyangkut penumpang dia harus plat kuning, bla-bla-bla danseterusnya," tuturnya.
Jika perlu, Sony menyebut Presiden Joko Widodo atau melalui Menko-nya hadir untuk membenahi permasalahan ini.
"Harusnya pemerintah berani dengan tegas bahwa angkutan online boleh jadi angkutan ukum dengan radius berapa kilo meter. Kementerian juga gak berani ngambil sikap seperti itu, di sini peran presiden atau Menko untuk bisa memposisikan," ujarnya.
"Saya lebih ke pemerintah, kenapa kejadian berulang karena tidak ada ketegasan dari pemerintah," pungkasnya.
(wip/tey)