Kiprah de Groot dan Radio Jadi Alat Juang Kemerdekaan RI

Kiprah de Groot dan Radio Jadi Alat Juang Kemerdekaan RI

Whisnu Pradana - detikJabar
Senin, 08 Mei 2023 08:00 WIB
Warga beraktivitas diantara reruntuhan bangunan Stasiun Radio Malabar di Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (30/10/2019). Stasiun Radio Malabar merupakan Stasiun Radio terbesar pada jamannya yang dibumihanguskan pada 1947 agar tidak dikuasai lagi oleh Belanda. Saat ini reruntuhan tersebut menjadi salah satu destinasi wisata sejarah bagi warga yang berkunjung ke Gunung Puntang. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.
RERUNTUHAN STASIUN RADIO MALABAR (Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)
Bandung -

Kawasan Gunung Puntang, di Kabupaten Bandung memegang peranan penting bagi perkembangan komunikasi dan radio dunia. Hal itu terjadi 100 tahun lalu, saat masa kolonialisme Belanda di tanah air.

Di lokasi itu, berdiri pemancar radio bernama Malabar. Pendirinya ialah Dr. Ir. Cornelius Johannes de Groot, seorang pria berkebangsaan Belanda yang datang ke Tanah Air.

"Sayang, jejak sejarah dari bangunan radio tersebut sudah hancur sebagai bagian dari upaya strategi bumi hangus di masa perjuangan kemerdekaan di masa lalu," ujar Tomi T. Prakoso, dosen Ilmu Komunikasi di STBA Yapari-ABA Bandung kepada detikJabar, Minggu (7/5/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diawali dari peresmian dan penggunaannya bermulai pada tanggal 5 Mei 1923. Ukurannya sangat besar, bahkan dapat dikatakan gigantik, karena pemancarnya berupa satu gedung besar yang terletak di Gunung Puntang.

"Sementara ketika kemampuannya berkembang dari telegrafi (morse) ke telefoni (komunikasi dengan suara), penerimanya kemudian didirikan secara khusus di Rancaekek," ujar Tomi yang juga merupakan anggota Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari).

ADVERTISEMENT

Warga beraktivitas diantara reruntuhan bangunan Stasiun Radio Malabar di Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (30/10/2019). Stasiun Radio Malabar merupakan Stasiun Radio terbesar pada jamannya yang dibumihanguskan pada 1947 agar tidak dikuasai lagi oleh Belanda. Saat ini reruntuhan tersebut menjadi salah satu destinasi wisata sejarah bagi warga yang berkunjung ke Gunung Puntang. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc.Warga beraktivitas diantara reruntuhan bangunan Stasiun Radio Malabar di Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (30/10/2019). Stasiun Radio Malabar merupakan Stasiun Radio terbesar pada jamannya yang dibumihanguskan pada 1947 agar tidak dikuasai lagi oleh Belanda. Saat ini reruntuhan tersebut menjadi salah satu destinasi wisata sejarah bagi warga yang berkunjung ke Gunung Puntang. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Ia melanjutkan antenanya berupa bentangan kabel sepanjang 2 kilometer yang dipasang di antara celah yang ada di antara gunung Haruman dan gunung Puntang. Dibutuhkan daya listrik ribuan kilowatt yang diperoleh dari sebuah pembangkit listrik.

"Jarak pancaran yang harus ditempuh dari lokasi itu ke Belanda kurang lebih 12 ribu kilometer," tuturnya.

Ketika penjajahan Jepang dimulai, semua berpikir agar aset yang ditinggalkan oleh Belanda tidak dipakai oleh Jepang. Sebuah pemancar radio tentu memiliki nilai strategis bagi upaya penjajahan.

Apalagi ketika itu Jepang melakukan propaganda bahwa perang Asia Timur Raya dikobarkan Jepang sebagai upaya untuk membebaskan seluruh Asia dari penjajahan Barat.

"Termasuk propaganda yang dilakukan di Indonesia yang menyatakan bahwa Jepang adalah "saudara tua" Indonesia. Gerakan para pejuang kemerdekaan di Bandung selatan menghancurkan bangunan Radio Malabar dengan dinamit," kata Tomi.

Kiprah de Groot di Pemancar Radio Malabar

Tomi mengatakan de Groot datang ke Indonesia pada akhir tahun 1916 dan dipromosikan sebagai kepala Radio Service, tepat setelah selesai melakukan studinya dengan judul De Invloed van Het Tropisch Klimaat op de Radioverbinding (The Influence of Tropical Climate on the Radio).

Ketika itu Pemerintah Belanda sudah menginstruksikan pendirian Radio Malabar, yang akhirnya pada tahun 1918 selesai berdiri. Segera ia ditempatkan di Radio Malabar dan melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika saatnya pengiriman telegrafi berhasil dilakukan, kabar itu sampai hingga Belanda yang mengapresiasi usahanya.

Hingga akhirnya Pemerintah Belanda membeli dua pemancar dengan merek Telefunken. Satu untuk ditempatkan di Radio Malabar, dan satu lagi adalah untuk stasiun radio di Kootwijk, Belanda. Namun, ketika itu di Radio Malabar sudah ada pemancar yang dibeli oleh uang pribadi de Groot yang menggunakan teknologi Spark dengan merek Arc Poulsen.

Meskipun akhirnya pemancar Telefunken itu sudah diterima di Radio Malabar, de Groot tetap menggunakan Arc Poulsen-nya. Sementara itu di Radio Kootwijk yang digunakan adalah pemancar Telefunken yang instalasi dan pengelolaannya dilakukan oleh Dr. N. Koomans. Keduanya akhirnya memastikan bahwa mereka sudah dapat saling mengirim dan menerima telegrafi.

Ketika itulah digagas peresmian Radio Malabar. Suatu hal yang tidak diduga oleh khalayak ketika itu adalah ketika Radio Malabar diresmikan pada 5 Mei 1923 oleh Gubernur Jendral Dirk Fock, yang salah satu agenda acaranya adalah berupa demo pengiriman pesan ke Belanda. Demo tersebut ternyata gagal.

Pesan tidak dapat terkirim, dan tentu sama sekali tidak ada balasan dari Belanda. Kejadian ini mendapat liputan media cetak ketika itu dan menghasilkan cercaan publik terhadap de Groot.

Sebuah komisi penyelidikan terhadap kejadian tersebut dibentuk, tapi berakhir dengan pemahaman terhadap penyebabnya dan de Groot tidak mendapatkan sanksi.

Menurut de Groot hal tersebut terjadi karena sehari sebelumnya terjadi hujan badai yang mengacaukan instalasi antenna Berg yang panjangnya kurang lebih 2 kilometer itu. Analisis lain mengatakan upaya komunikasi itu dilakukan pada siang hari.

Siang hari adalah saat ketika lapisan ionosfir tidak kondusif untuk melakukan komunikasi jarak jauh melalui radio. Namun, Radio Malabar tetap diresmikan tanggal 5 Mei 1923. Situasi membaik karena keesokan malamnya pesan berhasil dikirim ke Ratu Belanda dan langsung mendapatkan balasannya.

Dari Transfer Pengetahuan ke Kemerdekaan

Hal yang menarik, kata Tomi, de Groot bukan hanya menerapkan sebuah teknologi. Ia juga melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika itu dibutuhkan sejumlah komponen yang harus diimpor dari luar negeri. Untuk mendatangkannya diperlukan waktu berbulan-bulan.

"Pesanan sering tidak sampai karena kapal pengangkutnya mengalami pembajakan di laut. Akhirnya diputuskan beberapa komponen dibuat sendiri, sehingga di Radio Malabar diadakan workshop pembuatan sejumlah komponen radio," kata Tomi.

"Ketika itu dijalankan konon sering terdengar suara ledakan karena digunakannya gas tertentu," tambahnya.

Pada workshop tersebut tercatat ada sejumlah warga pribumi yang terlibat. Posisi mereka adalah sebagai pekerja pada Radio Malabar. Hal itu membuat pengetahuan tentang keradioan yang tadinya hanya eksklusif milik warga Belanda akhirnya menyebar ke warga pribumi.

"Workshop yang tadinya khusus diperuntukkan bagi perbaikan Radio Malabar akhirnya menjadi tempat transfer pengetahuan tentang pembuatan komponen radio," ujar Tomi.

Dengan santernya berita bahwa ketika itu sudah bisa mengirim pesan ke luar negeri melalui Radio Malabar, adanya kemampuan sejumlah individu yang dapat mengotak-atik pemancar dan penerima radio, lalu dimungkinkannya impor radio penerima (receiver) yang lebih portabel berkat kemajuan teknologi saat itu maka mulai berdiri semacam komunitas penggemar radio.

"Ketika itu keberadaan radio masih sangat jarang, baik radio penerima, apalagi pemancar radio. Kepemilikannya menjadikan suatu gengsi tertentu. Namun, keadaan ini berubah ketika Jepang memulai penjajahannya. Radio dalam bentuk apapun juga dilarang, disita, dan dimusnahkan," tutur Tomi.

Tidak sedikit yang ditangkap lalu dihukum penggal karena dituduh Jepang sebagai mata-mata. Ketika itu konon meskipun dengan ancaman larangan dari Jepang, sejumlah orang tetap aktif menggunakan radio.

"Mereka yang berjiwa amatir radio membentuk semacam gerakan bawah tanah dalam rangka perjuangan. Pada sejarah kemerdekaan Indonesia tercatat bahwa sejumlah pemuda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak mereka berdua untuk merumuskan kemerdekaan Indonesia," ujar Tomi.

Gedung pemancar Radio di CililinGedung pemancar Radio di Cililin Foto: KITLV repro @potolawas

Ternyata itu diawali dengan informasi yang berasal dari Radio. Konon radio itu adalah yang dimiliki Chairil Anwar (penyair Indonesia) dan Des Alwi yang ketika itu adalah salah satu barang bekas yang mereka perjualbelikan.

Melalui radio itu terdengar kabar bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Kabar tersebut disampaikan ke Sutan Syahrir yang ternyata adalah paman dari Chairil Anwar. Bila tidak ada kabar dari radio itu, maka Jepang mungkin akan lebih lama menancapkan kuku penjajahannya, meski Jepang sendiri sudah menyerah pada Sekutu ketika itu.

(yum/yum)


Hide Ads