Salah satunya gedung telekomunikasi atau pemancar bernama Gedung Bedrief, di Kampung Radio, Desa Cililin, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Sebuah bangunan berusia 100 tahun lebih yang saat ini diajukan menjadi bangunan cagar budaya.
Dulu, kampung tempat gedung itu berdiri bernama Kampung Jati. Namun seiring berjalannya waktu, keberadaan gedung telekomunikasi yang kelak menjadi gedung radio, turut mengubah penyebutan dan penamaan Kampung Jati menjadi Kampung Radio.
Tak sulit sebetulnya menemukan gedung tersebut, dari arah Cimahi maupun Kota Bandung, tinggal mengarahkan kendaraan ke arah Batujajar sampai ke Cililin. Sebelum Alun-alun Cililin, belok kiri ke arah SMA Negeri 1 Cililin. Dari situ, gedung radio hanya berjarak sekitar 250 meter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Gedung yang dibangun dengan bahan baku batu-batu belah yang disusun dengan semen dan kapur. Tak dipulas dengan semen, sehingga tekstur batu-batu berwarna hitam dan abu masih terlihat jelas.
Di sekelilingnya kini sudah berderet rumah-rumah warga, cukup menyamarkan keberadaan gedung tersebut karena saat ini kondisinya lebih mirip bangunan terbengkalai yang tak pernah dijamah.
DetikJabar sempat masuk ke dalamnya. Membuka sebuah pintu berwarna hijau, bagian dalam gedung itu agak bikin kaget karena kosong. Hanya ada beberapa unit mesin pencacah kopi, mobil, motor, dan toren air.
![]() |
Usia bangunannya sudah ratusan tahun, namun seperti kebanyakan bangunan peninggalan Belanda, semuanya masih bertahan dengan baik. Sayangnya tak semua beroperasi dengan baik, ada yang teronggok begitu saja.
Sejarah Pembangunan
Gedung pemancar radio Cililin memiliki panjang bangunan sekitar 20 meter, dengan lebar sekitar 12 meter, dan ketinggian tak kurang dari 10 meter. Ada delapan pilar di dalamnya, berfungsi sebagai penyangga rangka besi di bagian atapnya.
Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) KBB, Tubagus Adhi mengatakan gedung radio dirancang oleh seorang insinyur berkebangsaan Jerman bernama Raymond Sircke Hessilken, atas titah pemerintah kerajaan Belanda.
"Dari beberapa data, pusat telekomunikasi Cililin itu didirikan sekitar tahun 1908. Insinyur yang diutusnya itu dari Jerman, namanya Raymond Sircke Hessilken," ujar Adhi kepada detikJabar.
Pembangunan gedung tersebut berdiri di atas tanah-tanah pribumi yang dibebaskan oleh Belanda. Seolah tak melupakan keberadaan mereka di Hindia-Belanda (Indonesia saat itu), pembebasan lahan itu juga dilakukan secara paksa.
"Selesai dibangun tahun 1914. Tulisan sejarahnya itu tanah yang dibebaskan dari orang-orang Cililin dulu, hampir 17 hektare," kata Adhi.
Mengulas sedikit sejarahnya, Cililin dulu berfungsi sebagai garis pertahanan Belanda. Sementara Cimahi sebagai kota garnisun atau basis militer tentara Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).
"Kalau dicermati, banyak benteng-benteng pertahanan Belanda itu adanya di Bandung Barat. Nah untuk pusatnya itu di Bandung. Belanda sadar kalau komunikasi melalui radio itu sangat penting untuk mengetahui pergerakan musuh," kata Adhi.
Mengutip laman Telkom University, gedung tersebut kemudian terus dimaksimalkan fungsinya hingga diubah menjadi Radio Nirom atau Nederland Indishe Radio Ommelanden .
![]() |
Ketika itu Gedung Telepoonken Cililin atau gedung radio Nirom dipegang dan dioperasikan Sukinta, yang merupakan petugas pegawai Teknik di Telepoonken pindahan dari Manokwari.
Sinyal radio komunikasi dari Stasiun Radio Nirom merupakan sinyal yang pertama sampai ke Belanda. Gelombang radio ini diterima oleh stasiun sementara yang ada di Blaricummermeent, Belanda, pada tahun 1919. Posisi antenanya berada di puncak Gunung Rangkong agar bisa menjangkau banyak tempat.
"Jadi memang di tahun 1924, Telepoonken ini diubah menjadi pemancar Radio Nirom. Makanya di situ ada transistor, pemancar. Belanda juga mempertimbangkan bentang alam Cililin seperti parabola alami, sehingga sinyal radio bisa dipancarkan dengan lebih baik," kata Adhi.
Stasiun radio Cililin ini lebih dulu beroperasi dibandingkan Stasiun Radio Malabar di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Sebab, stasiun radio di kaki Gunung Puntang itu baru beroperasi pada 1923.
"Dulu katanya kan ada kabel-kabel yang menjulang ke atas, cuma sampai sekarang belum bisa kita buktikan. Sekarang ada yang jadi kandang ayam, nah itu sebetulnya radio transistor," tambahnya.
(ors/yum)