Sejumlah pesohor mulai muncul guna meramaikan ranah politik di tanah air. Dapil Jawa Barat juga terdapat beberapa nama pesohor yang siap maju. Lantas bagaimana kualitas mereka di panggung politik?
Sejauh ini sudah ada beberapa nama pesohor yang maju dari dapil Jabar. Ada nama Alfiansyah alias Komeng dan Jihan Fahira yang maju untuk calon anggota DPD.
Selain itu ada nama Faisal Harris. Suami Jennifer Dunn ini mencalonkan untuk maju sebagai Caleg DPR RI Dapil Jabar 1 Bandung Cimahi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara dari kursi Calon Wali Kota Bandung ada nama Muhammad Farhan, mantan presenter kondang yang saat ini masih jadi Anggota Komisi I DPR RI.
Melihat kecenderungan ini, banyak yang mempertanyakan kualitas publik figur di kancah politik. Menurut Pengamat Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan, popularitas menjadi suatu keniscayaan dalam pemilihan politik. Popularitas dan akseptabilitas jadi salah satu modal kuat dalam pemilihan langsung.
"Salah satu modal dalam pemilihan langsung itu kan popularitas. Jadi orang-orang yang dikenal publik dalam aspek apapun itu punya peluang untuk maju dalam pemilihan dan bahkan memenangkan pemilihan. Salah satu figur yang banyak dikenal publik itukan memang selebritis, tetapi yang perlu diingat selain popularitas ada juga soal yang kita sebut akseptabilitas atau kedisukaan. Kalau populer tapi tidak disukai publik ya nggak akan dipilih juga," kata Firman dihubungi detikJabar Senin (1/5/2023).
Dalam pengamatannya, kursi legislatif di daerah Jabar cenderung diisi oleh nama-nama dari kalangan artis. Meskipun mereka tak punya kiprah politik yang jelas, namun popularitas tetap mendulang banyak suara di tanah Sunda.
Hal ini disebabkan karena warga Jabar tak punya akses untuk melihat prestasi politik nama-nama wakil rakyat tersebut. Keterbatasan informasi ini lah yang membuat ada kecenderungan nama-nama artis yang jadi pemenang di Dapil ini.
"Kalau sisi pemilih, case Jawa Barat itu memang menarik. Contohnya pemilu Pileg atau Aleg tahun 2019 yang paling banyak berlatar belakang artis itu setahu saya dari dapil Jawa Barat. Ada nama Teh Desy Ratnasari, Rachel Maryam, Primus Yustisio, Nico Siahaan, Kang Farhan, Nurul Arifin, dan beberapa nama lain yang seingat hitungan saya ada sembilan artis. Ini dibandingkan dengan provinsi lain itu memang paling banyak Jawa Barat," ujar dia.
"Ada kecenderungan pemilih di Jabar itu memang melihat pada figur yang populer, termasuk yang punya latar belakang artis. Salah satunya karena pemilih di Jabar itu adalah pemilih tradisional. Mereka tidak terlalu mengedepankan soal punya kapasitas, skill politik, atau rekam jejak politik yang mumpuni. Mereka tidak punya cukup informasi untuk itu. Mereka hanya tau populer dan sering lihat di TV. Itu karakteristik, bagaimana pun harus diakui," lanjut Firman.
Ia juga menuturkan bahwa tak jarang suara pemilih lari ke nama tokoh yang terbilang baru di dunia politik, sebab berkurangnya kepercayaan pada tokoh lama.
"Kadang justru orang-orang luar (outsider) mendapat keuntungan. Kalau kita lihat sejauh ini misalnya partai politik ya termasuk orang yang sudah berkecimpung lama di dalamnya, itu kan sebetulnya citranya tidak terlalu bagus. Tingkat kepercayaan terhadap politik akhirnya rendah, sehingga ini memberikan keuntungan bagi political outsider, karena dianggap masih relatif bersih dan tidak terkontaminasi oleh praktek politik elit," ucapnya.
Firman pun berpendapat bahwa dikhawatirkan kebiasaan ini mempengaruhi sistem dalam politik. Diskusi dan gagasan yang bisa membangun negara, lambat laun bisa luntur.
"Cuma memang ada kritik terkait teman-teman berlatar belakang artis, dikhawatirkan politik substantif yang terbiasa bicara soal perdebatan, ide, gagasan, agenda kebijakan, bergeser menjadi politik superfisial yang hanya bicara luarnya saja soal pencitraan, soal penampilan, bahkan ini bicara soal physical appearance. Kan ini sebetulnya tidak baik," ujarnya.
"Kualitas pun akhirnya dipertanyakan, kemudian akhirnya terkonfirmasi setelah terpilih sebagian tidak bersuara, tidak tahu sikap politiknya seperti apa soal isu terkini, bagaimana menyampaikan aspirasi dengan debat publik meski memang tidak semuanya," tambah Firman.
Ia pun menyinggung salah satu kasus pejabat di Indramayu. Menurutnya, artis atau siapapun yang terjun ke dunia politik harus punya kemampuan negosiasi.
"Misalnya kasus kang Lucky Hakim, politisi itu harus punya kemampuan bernegosiasi dan berkompromi. Ketika kemampuan itu tidak dimiliki ya susah memang. Jadi akhirnya ya begitu kecewa bahkan kemudian ekstrim mengundurkan diri nah itu juga jadi catatan selebriti yang jadi politisi, walaupun saya katakan tidak bisa digeneralisir," ucap Firman.
Ia pun mengkritisi sistem kaderisasi dalam Partai Politik. Menurutnya, alangkah lebih baik jika rekrutmen kader dilakukan jauh-jauh sebelumnya kemudian menggodog kader agar dapat berkontribusi di Legislatif, sebelum akhirnya maju ke pemilihan.
"Boleh-boleh aja melakukan rekrutmen artis, nggak ada yang salah, itu hak politik. Tapi kalau mau ideal ya kaderisasi dari jauh-jauh hari, sehingga pada saat maju sudah siap dan sudah paham apa sih yang hendak diperjuangkan? Termasuk ideologi platform partai dan bagaimana berhadapan dengan publik. Kalau itu dilakukan seharusnya tidak ada masalah," ujarnya.
(aau/dir)