Selembar tiket menjual harapan dan khayalan dijual bebas di tahun 90-an. Tiket lotre berkedok Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) itu dijual dengan harga terjangkau kala itu, tidak dipungkiri korbannya mayoritas masyarakat bawah yang hidupnya pas-pasan.
Hal itu dialami Dede S, warga Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, kabupaten Sukabumi. Ia rela menyisihkan uang hasil kerja serabutannya untuk membeli berlembar-lembar tiket, ia menceritakan pengalaman yang ketika ia ingat saat ini membuat bergidik.
"Cari makam kuno, rela tidur dari malam sampai pagi di kuburan. Kalau mimpi besoknya diulik lagi, kadang ada juga sosok gaib yang langsung ngasih sederet nomor," kata Dede S, Rabu (12/4/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dede kemudian meramu nomor yang ia peroleh dari mimpi atau pemberian sosok gaib yang dia sebut. Nomor-nomor itu disusun sedemikian rupa, dikurang dan ditambah. Apakah pernah tembus?
"Pernah tembus, tapi terbalik penempatan nomornya. Kan itu juga dihitung menang tapi tidak maksimal, kalau beli Rp 1000 itu dapatnya Rp 30 ribuan kalau tidak salah. Tapi ya itu lebih banyak uang habis buat pasang dibandingkan nilai kemenangan," tuturnya.
![]() |
Dede juga menceritakan soal perburuan kodok, saat itu ramai disebut punggung kodok bila dikerok bisa memperlihatkan beberapa angka. Namun syaratnya kodok itu harus didapatkan di lokasi tertentu dan tengah malam.
"Rela basah-basahan nunggu kodok, begitu kodoknya keluar saya tangkap. Lalu saya kerok pakai kayu atau sendok, nanti disorot pakai senter, nah kalau yang ini saya pernah tembus tiga angka," kenangnya.
Dede mengaku menyesal bermain nomor lotre, namun menurutnya hal itu saat ini hanyalah kenangan yang mungkin tidak akan diulang. Buku-buku mimpi yang ia koleksi dahulu sudah ia bakar dan buang.
"Ya kalau dipikir sekarang jadi kayak orang gila, jadi semacam candu yang menjual penasaran karena diberi harapan. Itu kan rumusan judi, kalah menang tetap jadi penasaran, saukur nyieun bandarna beunghar (hanya membuat bandarnya kaya)," pungkas dia.
Sosiolog Universitas Padjajaran Ari Ganjar Herdiansyah mengatakan, SDSB dan PORKAS pada waktu itu membuat banyak warga di Tanah Air menjadi kecanduan. Bagaimana tidak, satu kupon judi tersebut pada saat itu sudah bisa dikantongi pemainnya hanya dengan harga seribu perak.
"Dampak negatifnya adalah turunan dari kecanduan lotere atau judi tersebut. Misalnya berimbas pada perekonomian keluarga dan kemudian hancurnya hubungan keluarga," kata Ari saat berbincang dengan detikJabar, Rabu (12/4/2023).
(sya/yum)