Tatey, tengah bersantai duduk di kursi samping warung milik anaknya. Teh hangat menjadi pelengkap. Tatey memang tak lagi muda. Namun, memorinya masih kuat tentang masa mudanya. Obrolan bersama Tatey sore itu membahas soal judi yang dilegalkan pemerintah pada tahun 1990-an.
Namanya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Program SDSB itu berdasarkan keputusan Menteri Sosoal Nomor 21/BSS/XII/1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengumpulan SDSB dan Keputusan Menteri Sosial Nomor BSS 16-11/1988 tentang Pemberian Izin Penyelenggaraan Pengumpulan SDSB kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS). Namun, usia judi lotre berkedok sumbangan itu tak bertahan lama.
"Memang waktu itu ada SDSB. Setelah Porkas, muncul SDSB. Terus dihilangkan lagi," ucap Tatey saat berbincang dengan detikJabar di kawasan Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Bandung, Kamis (2/3/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usia SDSB memang tak lama. SDSB akhirnya bisa berhenti pada 24 September 1994. Sejak kemunculannya hingga hilangnya SDSB, Tatey tak pernah sekali pun membeli kuponnya atau memasang.
Warga Bandung berusia 70 tahun itu mengaku enggan memasang lantaran merugikan. Tatey lebih memilih memakai uang hasil kerjanya untuk kebutuhan dan hiburan bersama keluarga.
"Saya dulu kerja masang baliho atau billboard gitu. Saya nggak pernah masang begitu, saya mah buat kebutuhan saja," kata Tatey sembari menggelengkan kepalanya, kemudian dilanjut menyeruput teh hangat yang disediakan anaknya.
![]() |
Menurut Tatey, lotre berkedok sumbangan itu bisa membuat masyarakat lupa soal masalah sosial atau lainnya.
"Saya yakin memasang SDSB waktu itu hanya merugikan. Tidak bisa membuat kita kaya," tutur Tatey sembari menaruh kembali gelas tehnya ke meja.
Demam SDSB
Saat demam SDSB melanda, Tatey masih menetap di kawasan Banceuy, Bandung. Ia mengingat betul tetangganya mabuk kupon SDSB. Setiap dua pekan sekali, kupon SDSB itu diundi. Selain SDSB, Tatey juga menyebut saat itu lotre lainnya marak beredar, seperti lotre toto.
"Ya tetangga banyak yang masang. Orang-orang pada masang, karena kan dibolehkan waktu itu ya," ucap Tatey.
"Ada yang menang beli barang-barang, ada yang beli motor. Tetangga saya ada yang menang, tapi kita tidak tahu kalahnya berapa ya. Kalau tidak salah itu masangnya Rp 1.000. Soalnya saya tidak pernah pasang," ucap Tatey menambahkan.
Senada dengan Tatey, Ade warga Rancasari juga mengaku merasakan saat Bandung dilanda demam SDSB. Ade mengingat tetangganya selalu sibuk mondar-mandir menuju lokasi pembelian kupon.
"Dulu ramai itu, karena legal. Jadi orang rasanya aman-aman saja. Waktu itu saya masih SMP," ucap Ade.
Ade tak begitu paham soal undian SDSB. Namun, ia ingat masyarakat begitu antusias mengikuti SDSB. Ade juga mengenang beberapa tayangan televisi yang mendapatkan dukungan dari SDBS.
"Itu ada seperti tayangan sepak bola didukung sama SDSB," tutur Ade.
Namun, Ade bercerita kala itu ada gelombang protes dari pada pemuka agama. Hingga akhirnya , SDSB tak lagi beredar. "Katanya dulu diprotes. Hilang itu SDSB, tapi tetap ada juga lotre-lotre gitu, kaya togel dan lainnya. Sekarang malah bergeser ke judi di handphone," ucap Ade.
(sud/yum)