Khusyuknya Suasana Ramadan di Palabuhanratu Era Kolonial

Lorong Waktu

Khusyuknya Suasana Ramadan di Palabuhanratu Era Kolonial

Syahdan Alamsyah - detikJabar
Senin, 27 Mar 2023 08:30 WIB
Suasana Ramadan di Palabuhanratu zaman dulu.
Suasana Ramadan di Palabuhanratu zaman dulu (Foto: Istimewa).
Sukabumi -

Sebagai kota teluk, mayoritas masyarakat terutama yang tinggal di pesisir Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi banyak yang berprofesi sebagai nelayan. Aktivitas keagamaan semakin kental sejak berdirinya Masjid Agung di pusat kota itu.

Konsep alun-alun tradisional pada masa itu berpola pada konsep macapat dimana wilayahnya dibagi sesuai arah mata angin dengan posisi tempat ibadah, masjid berada di sebelah barat alun-alun.

"Pada tahun 1926 mushola kemudian dibangun masjid agung awal atas hibah tanah dari masyarakat Pakauman. Seiring waktu masyarakat muslim kemudian menyebar ke sekitar pantai sesuai mata pencahariannya sebagai nelayan," kata Irman Firmansyah, penulis buku Soekabumi The Untold Story kepada detikJabar, belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aktivitas masyarakat pesisir tidak terbatas hanya sebagai nelayan, ada juga yang berniaga di sekitar Dermaga Palabuhanratu. Pada masa kolonial mereka yang bekerja di Dermaga Palabuhanratu membantu pengangkutan barang dari dan ke kapal besar yang disebut kuli oleh orang Belanda.

"Kondisi pekerjaan tersebut memang sangat berat karena para kuli harus membawa barang-barang tersebut melalui steiger (dermaga yang menjorok ke laut) dan kemudian dimasukan ke kapal dengan perahu kecil," ujar Irman.

ADVERTISEMENT

Ada cerita unik yang dikisahkan Irman, situasi terik yang memang biasa dirasakan oleh masyarakat pesisir pada masa itu membuat sejumlah kuli kesulitan beraktivitas. Pekerjaan mereka menjadi kurang maksimal.

"Para pekerja ini ingin fokus beribadah sampai pernah kejadian pada akhir Februari 1928 saat Kapal Uap 'Kidoel' milik perusahaan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) tiba di Palabuhanratu dengan maksud menurunkan barang serta menaikkan barang yang akan dibawa ke Tanjung Priok," ungkap Irman.

"Para kuli yang biasanya dengan sigap bekerja, tidak ada yang keluar dari rumah hingga kapal menunggu lama namun tidak ada tanda-tanda para kuli keluar. Selidik punya selidik ternyata mereka tidak mau bekerja karena bulan puasa. Mereka khawatir pekerjaan beratnya akan mengganggu kekhusyukan puasa, mereka lebih memilih memperbanyak ibadah," sambung Irman.

Akhirnya kala itu kru kapal uap pun mengalah. Dengan menggunakan awak kapal, mereka menaikkan dan menurunkan barang di dermaga.

Dalam kisah lain yang juga diceritakan Irman, kegiatan masyarakat di bulan puasa didukung oleh keberadaan masjid yang kemudian di pugar tahun 1945. Meskipun kondisi agak genting pasca proklamasi, masyarakat menggunakan alun-alun yang berdekatan dengan masjid untuk ngabuburit alias menunggu waktu berbuka.

"Banyak jajanan yang dijual di sekitar alun-alun yang bisa digunakan untuk berbuka, kemudian sesudah berbuka maka sebagian besar salat di masjid di masjid tersebut Kegentingan masa agresi Belanda tidaklah mengurangi rasa khusyuk beribadah puasa di Palabuhanratu," tuturnya.

Dalam laporan De Heerenveensche koerier 25 September 1948, pada masa pendudukan Belanda sempat dilakukan wawancara dengan Wedana Palabuhanratu mengenai suasana puasa dan Lebaran.

"Puasa dimulai sekitar setengah 5 pagi saat imsak berakhir, masyarakat berpuasa hingga waktu magrib dimana seorang haji akan mengumumkan buka puasa melalui menara masjid dengan lantunan berirama," ucap Irman.

Ada kepercayaan yang tidak kalah unik di masa itu, kata Irman. Selama bulan puasa tidak ada umat muslim yang keramas karena dianggap akan mengurangi nilai ibadah. Karena mendinginkan kepala dianggap mengurangi lapar dengan kesejukan.

"Para ibu-ibu sudah masak sejak sore hari dan membungkus nasi dengan daun pisang (timbel). Mereka berdiri depan rumah sambil menunggu pengumuman berbuka puasa, ketika waktu berbuka mulailah mereka bersantap. Sebelum waktu isya ditandai dengan gemuruh beduk, kemudian masyarakat berbondong-bondong menuju masjid untuk sholat isya, tarawih kemudian membaca Al-Quran," kisah Irman.

Kompeni Belanda saat itu menyebut momen membaca Al-Quran sebagai momen unik dan lucu karena masjid menjadi riuh dengan pembacaan lantunan ayat suci Al-Quran.

"Antara jam dua hingga jam tiga pagi ibu-ibu memasak untuk persiapan sahur, biasanya sekitar jam tiga pagi mereka makan sekeluarga. Kemudian pada tanggal-tanggal ganjil tertentu ibadah ditingkatkan karena merupakan tanggal sakral yang bisa mengampuni dosa," kata Irman.

Menjelang hari lebaran banyak masyarakat yang bekerja di luar Palabuhanratu pulang. Ada yang menggunakan mobil, gerobak, dan ada yang berjalan kaki sehingga jalan menuju Pelabuhanratu seringkali ramai.

Sementara di malam menjelang Lebaran anak-anak menyalakan petasan dan kembang api sehingga suasana malam tidak seperti biasanya. Pada hari Lebaran mereka berkumpul bersama keluarga, makan besar dan saling berkunjung.

"Sebagian kebiasaan ini masih ada dan dilakukan masyarakat hingga sekarang, apalagi semenjak Palabuhanratu menjadi ibukota Kabupaten Sukabumi maka kegiatan keagamaan difasilitasi sedemikian rupa sehingga masjid agung ramai dengan kegiatan keagamaan," pungkasnya.

(sya/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads