Bagi sebagian kalangan, menyekolahkan anak bukan perkara mudah. Butuh biaya yang tak murah. Variabel beban biaya sekolah bukan sekedar membayar kewajiban atau iuran ke pihak sekolah. Beban terberat biaya sekolah justru terletak pada kebutuhan harian anak untuk pergi ke sekolah. Mulai dari ongkos, uang jajan hingga perlengkapan mulai dari sepatu, seragam dan lainnya.
"Bukan tidak memperhatikan anak, tapi memang kami belum punya uang untuk membelikan kebutuhan Yandi bersekolah. Saya tahu sepatu dia sudah jebol, saya tahu uang jajan yang saya berikan kurang, seragam dia sudah belel (kusam)," kata Hasanah, uwak dari Yandi Maulana Ibrahim (14) siswa kelas 8 B SMP Negeri 3 Kota Tasikmalaya.
Sebagaimana diketahui, Yandi adalah siswa yang dibelikan sepatu oleh teman sekelasnya dengan cara urunan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasanah sendiri mengaku sempat kaget dan khawatir dia dituding orang tua wali yang tak bertanggung jawab, apalagi Yandi juga tercatat sebagai penerima bantuan PKH anak yatim. Dari pemerintah Yandi mendapat bantuan uang untuk membantu memenuhi kebutuhan sekolah.
"Yandi kan anak yatim, ibunya meninggal dunia. Dia dapat PKH, terakhir cair itu sekitar Desember atau Januari lalu, saya lupa persisnya. Nilainya Rp 600 ribu. Pas video ini viral aduh, saya jadi khawatir dipertanyakan soal bantuan ini," kata Hasanah.
Dia menjelaskan saat bantuan Rp 600 ribu itu cair, membeli perlengkapan sekolah Yandi langsung menjadi prioritas. "Saya langsung belikan seragam dulu, sisanya dipakai kebutuhan sekolah lain yang sama pentingnya. Nah membeli sepatu juga sempat terpikir, tapi uangnya kurang. Akhirnya ya sudah beli sepatunya nanti kalau bantuan cair lagi, terus nabung dulu. Yang penting pas naik kelas 9 nanti dia sudah beli sepatu baru, tidak lagi pakai sepatu jebol," papar Hasanah.
Keputusan memanfaatkan uang bantuan untuk membeli seragam terlebih dahulu, dilakukan bukan tanpa alasan. Hasanah tak tega, karena kerap kali Yandi pergi ke sekolah dengan memakai seragam yang basah.
"Seragam putih biru cuma punya satu, jadi dia sering pakai seragam basah ke sekolah. Sedih sekali melihatnya," kata Hasanah.
Di musim hujan ini, Yandi kerap kehujanan ketika pulang sekolah. Sehingga setelan seragamnya basah. Tak heran keesokan harinya dia harus memakai seragam basah itu lagi ke sekolah, karena tak punya seragam lain. Tentu saja termasuk memakai sepatu usangnya yang juga basah
"Sudah sering saya ingatkan kalau hujan berteduh dulu, jangan memaksa pulang hujan-hujanan. Besoknya kalau pakai seragam basah takut masuk angin," kata Hasanah.
Tapi masalah itu sekarang sudah terselesaikan, Yandi sudah punya seragam baru yang dia beli awal tahun lalu setelah dapat bantuan PKH. Meski bersekolah dan menjalani hari-hari dalam keterbatasan ekonomi, namun Yandi menjalaninya dengan semangat.
Iros (66), nenek Yandi berharap keprihatinan yang dialami cucunya itu diharapkan jadi motivasi. "Peurih sing jadi peurah (kepedihan semoga menjadi kekuatan). Dia anak yang rajin, sekolah selalu semangat, setiap waktu salat dia ke masjid," kata Iros.
Yandi juga diketahui seorang pejuang subuh, istilah bagi orang yang salat Subuh berjamaah di masjid. Rutinitasnya setelah salat Subuh dan mengaji adalah mengangkut air bersih untuk kebutuhan keluarga. "Habis Subuh dia sudah langsung mengambil air dari dekat kantor Kelurahan. Tugas rutin sudah tak usah disuruh lagi," kata Iros.
Dia menjelaskan sumber air di rumahnya tidak layak konsumsi. Airnya keruh atau berwarna kekuningan, sehingga hanya bisa dipakai untuk mandi saja. Untuk minum dan memasak adalah tugas Yandi mengangkutnya dari dekat Kantor Kelurahan Panglayungan. Jaraknya sekitar 400 meter dari rumah Iros.
"Mengambil air ke depan tiap pagi 3 atau 4 balik, setelah itu baru mandi, sarapan, pergi sekolah. Makanya saya jarang kesiangan ke sekolah," kata Yandi.
(mso/mso)