Wim LB Smet, pria asal Belgia, menjalani kisah kehidupan berliku untuk mendapatkan cinta dari perempuan di Kabupaten Pangandaran. Seperti apa kisahnya?
Tahun 1997, Wim untuk pertama kali datang ke Pangandaran untuk berwisata di Pantai Batukaras. Setahun kemudian, ia kembali datang ke kawasan Batukaras. Tapi kali tujuannya berbeda, ia mengantar adik perempuannya menikah dengan pria asal Pangandaran.
Saat itu, adiknya menikah dengan pria dari Dusun Mandala, Desa Batukaras, Kecamatan Cijulang. Ini bukan kali pertama keluarga Wim LB Smet menikah dengan orang Indonesia. Sebelumnya, kakaknya juga menikah dengan orang Medan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada satu momen, ia pernah menghadiri sebuah acara pernikahan saat berwisata. Dari situlah ia menemukan cinta. Ia bertemu seorang perempuan yang begitu memikat hatinya.
"Kalau saya ketemu istri saya saat pergi ke hajatan di (kawasan) Parigi. Pemandu wisata saya mengajak para rombongannya melihat acara hajatan," kata Wim kepada detikJabar belum lama ini.
Menurutnya saat itu bertemu perempuan bernama Han Dianingsih. Terpikat dengan pesonanya, ia lalu mencari informasi tentangnya. Pemandu wisata yang saat itu bersamanya pun jadi mak comblang.
"Langsung saya tanyakan ke pemandu dan mulai dihubungkan dengannya melalui pemandu," ucap Wim.
Singkat cerita, Wim LB Smet dan perempuan itu akhirnya punya hubungan dekat. Namun ia mengaku sempat ragu dan akan ditolak jika ingin mengajak sang kekasih ke jenjang yang lebih serius.
Apalagi Wim merupakan warga negara asing. Selain itu, jelas Wim akan sulit ditemui karena tinggal di Belgia.
Tekad dan cinta membuat Wim LB Smet benar-benar menerobos rintangan yang ada. Setelah sempat pulang ke Belgia, ia kembali ke Batukaras dengan misi lebih tinggi.
"Saya sempat pulang dulu ke Belgia selama lima bulan. Kemudian pulang lagi ke Batukaras untuk melamar Han," tuturnya.
Namun rintangan kemudian datang. Ia mengaku sempat ditolak keluarga Han karena dianggap sudah punya pasangan di Belgia. Perbedaan agama juga jadi kendala berikutnya.
"Saya mulai diterima oleh keluarga Han dan diberikan izin untuk tunangan. Namun saat itu saya mualaf dan memeluk agama islam," katanya.
Beruntung bagi Wim, keluarganya tak mempermasalahkan keputusan soal pindah agama tersebut, termasuk menikahi orang Pangandaran.
"Keluarga di Belgia mengizinkan saya mualaf dan untuk pertama kalinya saya syahadat di hadapan istri," katanya.
![]() |
Menurutnya syahadat dibantu oleh ustaz dan ulama di Desa Batukaras. Ia pun terus dipandu untuk mengikuti setiap ajaran dalam agama Islam.
Selain itu, di usianya saat itu yang sudah 27 tahun, Wim juga menjalani prosesi sunat. Ia mengaku sempat takut disunat karena mengaku ada teman yang juga disunat, tetapi lama pulih.
Akan tetapi ia memberanikan diri. Proses sunat pun dilakukan di negara asalnya. Sebab ia merasa lebih aman dan nyaman melakukannya di sana.
"Takut dulu karena lihat teman saya disunat juga malah tambah parah. Akhirnya saya memilih disunat di Belgia saja," kata Wim.
Berbeda dengan kecil yang umumnya memakai sarung usai disunat, Wim justru memakai celana jeans. Bahkan ia langsung beraktivitas.
"Kalau di sini kan pakai sarung, di sana saya langsung pake Levi's, lumayan sakit karena langsung kerja juga," ucapnya.
Sementara usai memeluk Islam, Wim mempunyai nama tambahan yaitu Wim Adam LB Smet. Singkat cerita, Wim pun akhirnya menikah dengan perempuan dambaannya pada 1999.
"Resmi menikah dengan istri saya tahun 1999, dan saat itu saya hanya memberikan mahar uang tunai Rp 1 juta rupiah," katanya.
Setelah menikah, Wim tinggal di kawasan wisata Batukaras. Ia menjalankan bisnis home stay. Yang uniknya, Wim piawai berbahasa Sunda yang ia pelajari secara otodidak.
Wim bahkan kerap berbicara menggunakan bahasa Sunda jika tamu yang datang ke tempatnya kebetulan orang Sunda. Hal itu dirasa membuat komunikasinya berjalan lebih lancar dan lebih mudah akrab.