Puluhan orang duduk bersila di halaman balai pertemuan warga, Selasa (21/2/2023). Pria berpakaian Sunda warna hitam dan ikat kepala menghadap ke kumpulan siswa sekolah dasar, mahasiswa, serta warga biasa.
Mengawali kegiatan dengan memanjatkan doa, seorang sesepuh Kampung Adat Cireundeu menceritakan tragedi kelam yang menewaskan 157 orang akibat gunungan sampah yang longsor pada tahun 2005 silam.
Tragedi itu menjadi catatan hitam bagi Pemerintah Kota Cimahi. Pengelolaan TPA Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi dianggap abai keselamatan dan kesehatan, sampai akhirnya memicu bencana kemanusiaan.
Sudah 18 tahun berlalu, setiap tahun warga Kampung Adat Cireundeu tak pernah absen memeringati kejadian itu. Penghormatan tertinggi bagi sanak saudara yang menjadi korban, hingga ditemukan dan ada juga yang terkubur tanpa pernah ditemukan jasadnya.
Dipimpin Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widiya, peserta peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) berjalan dari balai pertemuan warga ke tebing tempat tragedi longsor sampah terjadi.
Tanpa beralas kaki, ia nyaman menginjak panasnya permukaan jalan dan tajamnya benda-benda berserakan di tanah dan rerumputan. Di belakangnya berbaris orang-orang membawa ragam sesajian atau sajen yang akan dipersembahkan.
Abah Widi memegang senampan bunga bermacam warna. Di belakangnya masyarakat Kampung Adat Cireundeu ada yang membawa air dari mata air atau seke Gunung Pasir Panji. Mata air itu dulu tercemar sampah hingga air lindi, akhirnya tak bisa dipakai. Seiring berjalannya waktu, alam memulihkan diri sendiri.
Tiba di tepi tebing, terhampar lahan luas. Hijau rerumputan memanjakan mata. Berdampingan dengan permukiman warga. Lahan kosong yang sudah menghijau itu dulunya area TPA Cireundeu. Makin ke belakang, merupakan permukiman warga di dua kampung yang hilang dari peta akibat tertimbun longsor sampah.
"Sekarang lahannya sudah hijau lagi, padahal dulu kan ditimbun sampah. Artinya apa? Alam tidak perlu diobati manusia, mereka mengobati diri sendiri," ujar Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widiya di sela peringatan HPSN, Selasa (21/2/2023).
Prosesi ritual berlanjut pada memanjatkan doa di tebing. Diiringi oleh suara karinding yang dimainkan salah satu pemuda kampung. Embusan angin mengelus lembut, sinar matahari hangat di permukaan kulit.
Doa selesai dipanjatkan. Dimulai oleh Abah Widi, sesajen yang dibawa dipersembahkan sebagai manifestasi 'kainget' pada keluarga yang sudah tiada. Bunga ditaburkan, tersapu angin. Tapi mereka yakini wanginya sampai pada sosok yang disebutkan.
Air dikucurkan dari bilah bambu sebagai wadahnya. Kira-kira dua buku panjang bambu itu. Berisi air yang telah didoakan pula. Demi mendinginkan mereka yang ada di alam baka.
"Kami tidak akan pernah bisa lupa perihnya kehilangan keluarga dan saudara. Makanya tiap tahun akan selalu memperingati kejadian ini secara sederhana," kata Abah Widi.
Jangan Terulang di Tempat Lain. Simak di halaman selanjutnya.
(mso/orb)