Konsep 'Anjing Berak' Picu Tragedi Cireundeu yang Tewaskan 157 Orang

Konsep 'Anjing Berak' Picu Tragedi Cireundeu yang Tewaskan 157 Orang

Whisnu Pradana - detikJabar
Selasa, 21 Feb 2023 08:20 WIB
Warga Berdiri di Tebing Tempat Longsor Sampah Cireundeu Terjadi
Warga Berdiri di Tebing Tempat Longsor Sampah Cireundeu Terjadi (Foto: Whisnu Pradana/detikJabar)
Cimahi -

157 orang tewas dalam peristiwa longsor sampah di TPA Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi pada tahun 2005 silam. Lukanya belum sembuh sampai sekarang.

18 tahun berlalu, warga Kampung Adat Cireundeu yang kehilangan keluarganya dalam tragedi itu terus mengenang para korban, lewat doa hingga prosesi tabur bunga di tebing tempat longsor terjadi.

Ada fakta yang jarang disinggung, yakni soal konsep awal pembuangan sampah ke TPA Cireundeu tersebut. Sebab sepengetahuannya, pembuangan sampah juga memenuhi unsur-unsur kebersihan dan pengelolaan lingkungan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebetulnya dulu perjanjian lisan pemerintah itu, TPA Cireundeu kan 'kucing berak'. Kalau kucing berak itu kan ketika membuang kotoran lalu ditimbun dengan pasir atau tanah," ujar Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widiya kepada detikJabar, Senin (20/2/2023).

Namun fakta di lapangan pembuangan sampah yang dilakukan seperti 'anjing berak'. Dalam arti kotoran yang dibuang kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa ada tindaklanjutnya lagi.

ADVERTISEMENT

"Tapi kan yang terjadi justru anjing berak, jadi buang lalu lari, begitu buang akhirnya lari. Apa yang terjadi di Cireundeu jauh dari perjanjian," kata Abah Widi.

Beberapa faktor yang membuat pemerintah akhirnya hanya menumpuk sampah sampai menggunung dan berujung tragedi yakni kebingungan dan dalih anggaran.

"Misalnya tanah untuk mengurug sampah, mereka bingung mau datangkan darimana. Akhirnya ya ditimbun terus tapi dengan sampah lagi sampai akhirnya menggunung," ujar Abah Widi.

Hal itu juga terproyeksi dari konsep pengumpulan sampah di TPA Sarimukti. Lahan baru yang difungsikan pemerintah menggantikan peran dari TPA Cireundeu. Di TPA Sarimukti, sampah juga ditumpuk seperti yang terjadi zaman dulu di TPA Cireundeu.

"Ya harusnya kan tragedi di TPA Cireundeu itu jadi pelajaran karena pemerintah sudah mengalami. Jangan malah diulangi lagi di TPA Sarimukti. Cuma itu tadi, abah kira pemerintah ini bingung dan tidak punya solusi soal.sampah, akhirnya di setiap TPA kan gitu, konsepnya 'anjing berak'," kata Abah Widi.

Terapkan Pemilahan Sampah Sejak dari Rumah Tangga

Kepedihan yang dirasakan ia dan warga Kampung Adat Cireundeu lainnya, memantik kesadaran soal pentingnya membuang sampah setelah melalui pemilahan dari rumah tangga. Hal itu jadi upaya nyata mengurangi volume sampah yang dibuang.

"Sekarang kami sudah menerapkan pemilahan sampah dari rumah. Cuma memang bukan solusi meskipun lebih baik daripada membuang lagi seperti TPA Cireundeu," kata Abah Widi.

Hanya saja sampah yang tidak terpilah akhirnya tetap dibuang ke TPA Sarimukti. Namun hal itu ternyata terasa bertolak belakang dengan nurani karena akhirnya mengotori lahan di kampung orang lain.

"Memang sekarang sudah aman, tapi bukan solusi. Karena kelebihan dari yang tidak termanfaatkan dibuang ke Rajamandala (TPA Sarimukti). Pemilahan sampah kan tidak bisa sampai nol, akhirnya tetap mengotori daerah lain. Cuma setelah tragedi, kami sudah mengurangi sampah," tutur Abah Widi.

Konsep itu belakangan turut digaung-gaungkan oleh pemerintah di setiap daerah. Namun sayangnya, pemerintah tak sebenar-benarnya punya niat mewujudkan wacana tersebut.

"Nah pemerintah ini cuma wacana, tanpa realisasi. Jadi mengurangi sampah dari rumah tangga tapi tidak pernah dilakukan. Tetap saja akhirnya TPA kelebihan beban kan," ucap Abah Widi.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads