Dikutip dari detikHealth, Minggu (19/2/2023) para peneliti menyebut, penurunan harapan hidup ini merupakan peristiwa besar yang perlu diketahui lebih lanjut mengenai penyebab dan cara mengatasinya.
Salah satunya dikemukakan oleh pakar ekologi Nate Bear, dari data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kesehatan Dunia harapan hidup global menurun selama dua tahun berturut-turut.
Baca juga: Persib Bungkam RANS Nusantara 3-1 |
Hal ini pertama kalinya terjadi sejak tahun 1950-an. Padahal sebelumnya, harapan hidup global terus meningkat sejak tahun 1970-an, tanpa satu tahun pun terjadi penurunan pada waktu itu.
Sang ekolog itu memprediksi, data tahun 2022 menunjukkan penurunan yang ketiga kalinya secara berturut-turut.
"Ketika harapan hidup global turun seperti ini, itu berarti Anda berada dalam suatu peristiwa besar," tulisnya seperti dikutip dari Popular Mechanics.
"Ekonom suka berbicara tentang 'tren besar' yang menentukan masa depan. Mungkin kita juga bisa menyebut ini sebagai peristiwa besar," sambungnya.
Jika ditarik pada dua tahun kebelakang, penurunan harapan hidup global mungkin terjadi dikala pandemi COVID-19. Meski begitu, bukan berarti pandemi menjadi satu-satunya penyebab potensi penurunan yang terus berlanjut.
Mungkin akan ada lebih banyak penyakit yang mampu mencapai tingkat pandemi dan masih ada potensi dampak berkepanjangan dari pandemi terbaru.
Bear menerangkan, penurunan ini sebagai petunjuk ke masa depan yang menunjukkan bahwa badan pengatur kita belum memahami cara menangani virus dan penyakit yang makin meningkat. Lebih lanjut, dia mengklaim bahwa peningkatan kematian memiliki keterkaitan dengan ekonomi secara langsung.
"Ketika yang kaya semakin kaya, yang miskin mati lebih cepat. Dan ketika pemerintah mengeluarkan dana lebih banyak untuk mendukung orang miskin, mereka bisa hidup lebih lama. Pandemi menunjukkan ini kepada kita," jelas Bear.
Jika ditarik pada masa lalu, Bear mengungkapkan, penurunan harapan hidup selalu berarti bahwa sesuatu yang bersejarah sedang terjadi dan sering kali mengarah pada restrukturisasi masyarakat yang mendasar.
"Kami belum benar-benar tahu kekuatan destruktif atau kreatif apa yang digerakkan oleh pandemi. Tapi kita tahu efeknya akan meluas sepanjang waktu dan, karena bersinggungan dengan krisis iklim dan ekologi, akan menimbulkan pertanyaan tersulit yang harus dijawab oleh peradaban: mau ke mana kita," pungkasnya.
Artikel ini sudah tayang di detikInet, baca selengkapnya di sini. (wip/mso)