Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menguji materiil UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu Sistem Proporsional Terbuka, atau coblos langsung calon legislatif (caleg). Selain itu, usulan agar pemilu diubah menjadi proporsional tertutup atau coblos pun diusulkan.
Pengamat politik Unversitas Padjajaran (Unpad) Firman Manan menilai hal yang perlu disorot dan dikaji adalah soal mekanisme pemilu terbuka yang saat ini diterapkan. Apapun sistem yang diterapkan, lanjut Firman Manan, jika dalam mekanisme banyak aturan yang tak ditegakan, maka sistem tersebut tetaplah rapuh.
"Mekanisme di dalam sistem itu dulu yang harus diperbaiki. Misalnya, soal politik uang. Ini kan kalau pun misalnya berubah menjadi proporsional tertutup. Apakah akan hilang? Belum tentu. Cuma mungkin berubah saja modusnya," kata Firman saat berbincang dengan detikJabar, Senin (13/2/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Firman menerangkan dalam sistem proporsional terbuka, peluang praktik politik uang terjadi antara pemilih dan kandidat. Namun, pada sistem tertutup tidak menutup kemungkinan terjadi politik transaksional antara partai dan kandidat yang ingin maju jadi caleg.
"Bisa saja terjadi dalam proses seleksi partai. Sehingga, menurut saya kalau dalam konteks politik uang ini memang yang harus diperbaiki adalah mekanismenya," ucap Firman.
Lebih lanjut, Firman juga menyoroti soal pengawasan Pemilu yang ada di Indonesia. Ia menilai pengawasan dan penindakan pelanggaran Pemilu masih belum ditegakan di Indonesia. Kondisi inilah yang harus disoroti lebih dulu ketimbang mengusulkan perubahan sistem.
"Bawaslu misalnya punya kewenangan terbatas. Untuk kemudian masuk bahkan bertindak lebih jauh dalam hal-hal terkait penindakan politik uang. Kalau itu dulu diperbaiki. Soal hukum pemilunya, termasuk soal tindak pidana pemilu dipertegas. Penegakkan hukum dipertegas, saya pikir dalam sistem proporsional terbuka sekarang sekalipun, soal praktik politik uang ini bisa dicegah atau diminimalisir," kata Firman.
Firman menerangkan sistem proporsional tertutup jika tak dibarengi dengan mekanisme yang diatur, maka bisa memunculkan masalah baru. Bahkan, lanjut dia, bisa memuluskan oligarki.
"Itu kan bisa juga jadi masalah. Yang muncul oligarki partai. Karena elit-elit partai akan menentukan siapa yang akan diusung. Jadi, mesti ada bagian proses seleksi di dalam partai itu dilakukan secara demokratis. Transparan dan akuntabel. Sah-sah saja kalau bicara soal mengubah sistem. Karena memang tidak ada sistem sempurna," ucap Firman.
Firman juga khawatir sistem proporsional tertutup hanya memunculkan kandidat yang hanya punya kedekatan dengan elit parpol. Bukan kandidat wakil rakyat yang berkualitas. Ia mendesak harus ada kajian mendalam jika perubahan sistem ini dilakukan.
"Ya itu, apakah ada jaminan bahwa ini tidak mengembalikan ke sistem yang tidak demokratis. Makanya perlu waktu," ucap Firman.
"Kalau menurut saya, pada akhirnya pemilih tidak peduli sistem apa yang digunakan. Yang mereka pedulikan adalah apapun sistem yang digunakan maka Pemilu itu berintegritas. Pemerintah yang terpilih adalah akuntabel. Jadi perdebatan di pemilih, terserah sistem apa. Ada jaminan pemilu yang baik. Pemilu yang bebas, fair dan adil," kata Firman menambahkan.
Firman mengaku sepakat harus ada evaluasi dalam sistem Pemilu di Indonesia. Namun, ia tak sepakat jika wacana ini digulirkan saat masuk dalam tahapan Pemilu.
"Ini hanya memunculkan komplikasi-komplikasi. Jadi, sebaiknya mengevaluasi sistem pemilihan itu adalah setelah periode pemilihan," tutur Firman.
Ia juga mengatakan semua sistem Pemilu memiliki kelebihan dan kekurangan. Ia menegaskan yang lebih utama adalah mengevaluasi mekanismenya terlebih dahulu ketimbang mengusulkan perubahan sistem di waktu yang tidak tepat.
(sud/dir)